Selasa, 20 September 2011

POTENSI DAN PENGGUNAAN ASAS MASLAHAH DALAM UPAYA KRIMINALISASI PERBUATAN PIDANA

Oleh : Iwan Zainul Fuad, SH. MH.[*]

(dimuat dlm Jurnal Hukum Islam, Vol. 6, No 1, April 2008)
Abstraksi
Asas maslahah dengan hukum pidana mempunyai tujuan yang identik bila berbicara tentang kemaslahatan. Asas maslahah memandang tujuan hukum suatu peraturan (maqashid al-syariah) adalah kemaslahatan terhadap lima hal (al-kulliyyah al-khamsah), yakni agama, jiwa, akal, nasab (keturunan) dan harta benda. Sedang hukum pidana sebagai hukum publik selain bertujuan untuk melindungi kepentingan umum baik individu dan masyarakat juga untuk menjaga ketertiban umum. Perlindungan terhadap kepentingan-kepentingan umum oleh asas maslahah diterjemahkan dengan tercapainya kemaslahatan pada 5 kepentingan tersebut diatas (al-kulliyyah al-khamsah). Dalam upaya mewujudkan tujuannya, hukum pidana harus menetapkan setidaknya dua hal yaitu pidana (pemidanaan) itu sendiri dan kriminalisasi perbuatan. Kriminalisasi perbuatan pidana ini bertujuan menetapkan dan mengkualifikasi perbuatan-perbuatan apa saja yang dapat dipidana (delik), sehingga seluruh kemaslahatan yang dituju oleh suatu masyarakat/negara dapat terlindungi. Untuk itu eksploitasi dan elaborasi terhadap asas maslahah perlu dilakukan dalam rangka memperkuat basis teori hukum pidana khususnya tentang kriminalisasi perbuatan pidana (delik).
Kata Kunvi:
Asas maslahah, kriminalisasi, perbuatan pidana (delik).

A.     Pendahuluan
            Perbuatan jahat (crime) sebagai gejala sosial yang terjadi di masyarakat, dipandang sebagai penyakit sosial yang harus diobati. Masyarakat dalam upaya pengobatannya menggunakan lembaga sanksi --yang secara yuridis disebut pidana-- untuk mencegah atau meminimalisir (mengkontrol) terjadinya perbuatan kriminal (perbuatan pidana/tindak pidana).
Selain sebagai pembasmi kejahatan. keberadaan lembaga pidana dalam masyarakat juga dipandang sebagai upaya paksa dari masyarakat kepada individu atau anggota kelompok sosialnya agar mentaati norma-norma yang telah ditetapkan masyarakat itu sendiri. Dari sini terlihat adanya hubungan yang erat antara perbuatan jahat (crime) dengan norma (aturan).
Secara kriminologis-sosiologis, perbuatan jahat dianggap merupakan bentuk deviasi tingkah laku dari pedoman tingkah laku yang telah ditetapkan masyarakat dalam norma. Pencurian dipandang sebagai deviasi karena merupakan penyimpangan dari norma tingkah laku masyarakat yang menetapkan usaha-usaha untuk menguasai harta benda secara halal.
Selanjutnya pembahasan kriminalisasi dalam makalah ini tidak difokuskan pada upaya penanganan perbuatan kriminal secara sosiologis melainkan dalam upaya yuridis untuk menentukan perbuatan-perbuatan mana yang dapat dipidana, sehingga memberi wacana baru bagi keilmuan hukum pidana secara teoritis ilmiah dalam pembentukan peraturan perundang-undangan khususnya dalam upaya menjerat perbuatan-perbuatan jahat yang semakin berkembang dan bervariasi bentuk, motif, corak dan modus operandinya seiring dengan semakin kompleknya masyarakat dan berkembangan teknologi maupun invention lainnya. Untuk itu ilmu hukum pidana perlu memperkuat basis teorinya, sehingga diharapkan mampu mengawal berbagai perubahan-perubahan apapun yang mungkin terjadi dalam masyarakat.
Maslahah sebagai salah satu asas yang semakin diakui eksistensinya oleh kalangan sarjana hukum Islam (fuqaha) dalam melakukan istinbat al-hukm-nya (rechtvinding), penulis pandang layak digunakan untuk menambah wacana keilmuan hukum pidana, khususnya dalam hal upaya kriminalisasi perbuatan pidana. Pertimbangannya, tujuan penggunaan asas maslahah bertumpu pada lima kepentingan dasar (al-kuliyyah al-khamsah) yakni perlindungan atas agama, jiwa, akal, keturunan dan harta benda, dimana hal-hal tersebut juga merupakan kepentingan-kepentingan yang dilindungi oleh norma hukum, sehingga seluruh kemaslahatan itupun juga menjadi tujuan yang ingin dicapai oleh hukum pidana.

B.     Cara Penggunaan Asas Maslahah dalam Proses Kriminalisasi
Maslahah sama dengan juga manfaat, baik dari segi lafal maupun makna. Maslahah juga berarti suatu pekerjaan yang mengandung manfaat. Apabila dikatakan bahwa perdagangan itu suatu kemaslahatan dan menuntut ilmu adalah suatu kemaslahatan, maka hal tersebut berarti bahwa perdagangan dan menuntut ilmu itu penyebab diperolehnya manfaat lahir dan batin. (Khusein Hamid Hasan : 1971)
Kemaslahatan diperoleh dengan dua cara yaitu;
1.      Mewujudkan manfaat, kebaikan dan kesenangan untuk manusia yang disebut jalbu al-manafi’ (membawa manfaat). Kebaikan dan kesenangan itu ada yang langsung dirasakan oleh yang melakukan saat melakukan perbuatan yang disuruh itu. Ada juga yang dirasakan kemudian hari, sedangkan pada waktu melaksanakannya, tidak dirasakan sebagai suatu kenikmatan.
2.      Menghindari umat manusia dari kerusakan dan keburukan yang disebut dar’u al-mafasid (menolak kerusakan). Kerusakan itu juga adakalanya dapat dirasakan secara langsung atau tidak langsung. Pembunuhan dapat dirasakan sebagai  perbuatan yang secara langsung merusak kemaslahatan jiwa, sedangkan pemakaian narkoba tidak serta merta merusak suatu kemaslahatan pemakainya, melainkan melalui proses yang relatif lama.

Kriminalisasi merupakan kata serapan dari kata “crime” yang berarti kejahatan (Wojowarsito : 1982). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kriminalisasi adalah proses yang memperlihatkan perilaku yang semula tidak dianggap sebagai peristiwa pidana, tetapi kemudian digolongkan sebagai peristiwa pidana oleh masyarakat. (KBBI : 1994) Berdasarkan pengertian diatas, maka dapat diartikan bahwa kriminalisasi adalah proses atau cara negara dalam memberikan cap jahat (sebagai perbuatan pidana) atas suatu perbuatan yang pada mulanya tidak dianggap sebagai kejahatan. Misalnya: peng-copy-an hasil cipta karya seseorang tanpa ijin. Pada awalnya perbuatan ini dianggap bukan merupakan kejahatan, namun mengingat perbuatan ini dapat membayakan perindustrian dan dinilai merugikan hak creator-nya, maka perbuatan tersebut dikriminalisasikan sebagai kejahatan dalam hal ini sebagai delik pembajakan.

Adanya proses kriminalisasi ditujukan untuk melindungi kepentingan hukum negara dan warga negaranya dari segala perbuatan atau tindakan yang merusaknya. Kepentingan-kepentingan tersebut terwujud dalam berbagai bentuk seperti Hak Asasi Manusia, Hak Negara atas warganya, dimana semua hak tersebut bertumpu pada kepentingan-kepentingan yang dilindungi. Oleh karena itu apabila dilihat dari cara memperoleh maslahatnya, kriminalisasi termasuk cara yang kedua, yaitu menghindari manusia dari kerusakan dan keburukan (dar’ul mafasid).


C.     Ukuran-Ukuran Kemaslahatan
Dalam mengkriminalisasi perbuatan diperlukan suatu kriteria dan ukuran-ukuran tertentu untuk mengetahui sejauh mana suatu perbuatan dinilai/diduga merusak atau mereduksi kepentingan-kepentingan hukum tersebut diatas (al-kuliyyah al-khamsah). Ukuran-ukuran tersebut akan sangat berguna untuk menentukan kemaslahatan.
Al Buti (al-Buti : 1986) dalam menentukan kemaslahatan menetapkan ukuran-ukuran sebagai berikut :
1). Memandang nilai kemaslahatan dari segi dzatnya. Pandangan ini berpedoman pada lima tujuan syara’, yaitu memelihara agama, jiwa (hidup), akal, keturunan, dan harta benda. Tujuan syara’ tersebut menurut urutan penyebutannya mempunyai urutan prioritas yang preferen. Kemaslahatan dalam rangka memelihara agama (hifdz al-diin) harus didahulukan dari pada kemaslahatan dalam rangka memelihara jiwa (hidup) apabila dalam satu masalah (kasus) terhadap ta’arudl (himpitan) dua kemaslahatan tersebut, demikian seterusnya. Demikian pula dipandang dari segi dlaruriyat, hajjiyat dan tahsiniyat, maka dlaruriyat harus didahulukan (preferenced).
2) Memandang kemaslahatan dari segi cakupannya. Jika peringkat kemaslahatannya itu terdapat pada satu aspek saja, misalnya memelihara keturunan (hifdz al-nasl) saja, ketentuan peringkatnya beralih pada seberapa jauh cakupan suatu peringkat itu ada pada satu aspek. Apakah mencakup kepentingan individu atau masyarakat, kepentingan umum atau golongan. Dilihat dari cakupannya perlindungan hukum atas kepentingan masyarakat lebih luas dari pada perlindungan hukum atas kepentingan individu. Untuk itu kemaslahatan umum lebih diutamakan dari pada kemaslahatan pribadi atau golongan.
3) Memandang kemaslahatan dari segi akibatnya. Pertimbangan ini berkaitan dengan apakah suatu perbuatan yang semula dipandang maslahat itu berakibat juga pada kemaslahatan pihak lain. Jika suatu perbuatan (hukum) yang semula dipandang maslahat untuk diperbuat, tetapi akibatnya (diduga keras) menimbulkan mafsadat (kerusakan) atau memberi peluang untuk munculnya kemaksiatan, maka perbuatan yang semula dianggap maslahat itu lebih “maslahat” lagi untuk tidak dilakukan. Misalnya menjual anggur (bahan minuman keras) kepada orang yang biasa membuat minuman keras (khamr). Jual-beli anggur hukumnya halal dan merupakan kemaslahatan, namun karena menjualnya kepada produsen minuman keras, maka perbuatan hukum tersebut (menjual anggur) dianggap tidak maslahat lagi.
Namun yang perlu dicermati di sini adalah cara pandang asas maslahah di atas adalah cara pandang dalam hukum Islam. Dari sisi urutan kemaslahatan yang dilindungi dalam hukum islam adalah hifdz al-Din, al-jism, al-‘aql, al-nasl, dan al-maal. Namun agar asas maslahah dapat diterapkan dalam berbagai sistem-sistem hukum yang ada yang ada di suatu negara, harus diperhatikan tingkat prioritas negara tersebut dalam memandang kemaslahatan yang dilindunginya. Misalnya negara tersebut meletakkan prioritas hifdz al-diin dibawah kemaslahatan-kemaslahatan lainnya atau bahkan tidak meletakkannya sama sekali dalam daftar prioritas, maka bisa jadi kriminalisasi perbuatan yang bertentangan kemaslahatan agama diabaikan.
Selain itu mengingat seiring dengan semakin cepatnya perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat, semakin kompleknya struktur suatu masyarakat atau semakin berkembangnya teknologi dan penemuan-penemuan (invention), sangat dimungkinkan akan terjadi perubahan terhadap jenis-jenis kemaslahatan yang dilindungi negara atau kemungkinan lain setiap jenis kemaslahatan akan mengembangkan sub-sub item kemaslahatannya. Misal : eksistensi negara dipandang sangat penting untuk menjaga seluruh kepentingan masyarakat didalamnya, maka negara dapat menempatkan kemaslahatan negara ke dalam kemaslahatan yang ingin dicapainya. Walhasil perbuatan-perbuatan yang merongrong eksistensi negara seperti rebelletion (pemberontakan) atau makar (coup de’tat), dapar dikualifikasi sebagai kejahatan.

D.    Kriminalisasi Perbuatan yang Bertentangan dengan Kemaslahatan dari Segi Kualitasnya
Selanjutnya dalam memandang kemaslahatan dari segi kualitasnya dapat dibedakan antara maslahat dlaruriyat, maslahat hajjiyat dan dengan maslahat tahsiniyat. Pada hakikatnya, baik kelompok dlaruriyat, hajjiyat maupun tahsiniyat bertujuan untuk memelihara kelima hal pokok yaitu agama, jiwa, akal, keturunan dan harta benda. Hanya saja peringkat kepentingannya berbeda satu sama lain. Kebutuhan dalam kelompok pertama (dlaruriyat) dapat dikatakan sebagai kebutuhan primer kalau kelima hal pokok itu diabaikan akan berakibat terancamnya keberadaan kelima hal pokok itu. Kebutuhan dalam kelompok kedua (hajjiyat) dapat disebut sebagai kebutuhan sekunder. Artinya, jika kelima hal pokok dalam kelompok ini diabaikan tiada mengancam keberadaannya, melainkan akan mempersulit dan mempersempit kehidupan manusia. Sedangkan kebutuhan dalam kelompok ketiga (tahsiniyat) erat kaitannya dengan upaya untuk menjaga etika sesuai dengan kepatutan, dan tidak akan mempersulit, apalagi mengancam eksistensi kelima hal pokok itu. Dengan kata lain, bahwa kebutuhan dalam kelompok ketiga bersifat komplementer. (Fathurrahman Djamil : Tanpa Tahun)
Pembagian asas maslahah menurut peringkat atau kualitas kemaslahatannya tersebut di atas (maslahat dlaruriyat, hajjiyat dan tahsiniyat) mempunyai implikasi terhadap pembagian jenis tindak pidana (delik/jarimah) menurut kualitasnya yaitu kejahatan (rechtdelicten) dan pelanggaran (wetsdelicten). Dalam literatur hukum positif pembagian delik seperti ini didasarkan pada kualitasnya sebagaimana terlihat dalam pendapat Sudarto (Sudarto : 19 ....) berikut ini :
Ada yang mengatakan bahwa kedua jenis delik itu ada perbedaan yang bersifat kwalitatif. Dengan ukuran ini lalu didapati 2 jenis delik, ialah 1. rechtdelicten dan 2. wetsdelicten”.

Mashlahah dlaruriyat, yaitu kemaslahatan yang berhubungan dengan kemaslahatan pokok manusia di dunia dan akhirat. Termasuk di dalamnya al-mashalih al-khamsah yaitu agama, jiwa, akal, kehormatan/keturunan, dan harta benda. Maslahah hajjiyat, yaitu kemaslahatan yang dibutuhkan dalam menyempurnakan kemaslahatan pokok tersebut yang berbentuk keringanan untuk mempertahankan dan memelihara kebutuhan mendasar manusia. Maslahah at-Tahsiniyyah, yaitu kemaslahatan yang sifatnya pelengkap tersier, berupa keleluasaan yang dapat melengkapi kemaslahatan sebelumnya (kemaslahatan hajjiyat) (al-Syathibi : 1975). Yang menjadi masalah ialah apakah kriminalisasi dapat dilakukan di semua tingkat kemaslahatan ataukah hanya dapat dilakukan terhadap tingkat kemaslahatan tertentu saja ?
Menurut hemat penulis pengaturan Hukum Pidana sebaiknya hanya mengatur kriteria dlaruriyat (primer) sampai tingkat hajjiyat (sekunder) saja. Pengaturan hukum pidana dalam tingkat tahsiniyat (tersier) dalam prakteknya tidak dimungkinkan, karena hukum (positif) tidak dimungkinkan untuk mengatur etika, norma, sopan santun, namun hanya terbatas pada perbuatan hukum (pidana). Barda Nawawi Arief menolak kriminalisasi terhadap kemaslahatan tahsiniyat dengan alasan bahwa kriminalisasi tersebut tidak praktis dan efisien serta akan berakibat terlalu membebani keuangan negara. Selanjutnya ia (Barda Nawawi : Wawancara) menambahkan :
“Hukum itu mengandung etika dan norma, namun tidak semua etika atau norma dapat dijadikan hukum”.

Kriminalisasi terhadap kemaslahatan dlaruriyat tidak berbeda dengan kriminalisasi untuk menjaga kemaslahatan menurut bentuk atau zatnya, yaitu kemaslahatan agama, kemaslahatan jiwa, kemaslahatan akal, kemaslahatan kehormatan/keturunan dan kemaslahatan harta. Kriminalisasi ini dilakukan terhadap perbuatan yang melanggar nilai-nilai keadilan (rechtdelict) sekaligus mengancam eksistensi lima kemaslahatan tersebut (al-mashalih al-khamsah). Sehingga produk yang dihasilkan adalah kualifikasi-kualifikasi tentang tindak pidana, jarimah atau kejahatan.
Kemaslahatan hajjiyat ditujukan untuk melengkapi kemaslahatan pokok tersebut (kemaslahatan menurut bentuk/zatnya). Sarana atau perangkat perlengkapan kemaslahatan pokok (kemaslahatan sekunder) berfungsi untuk memenuhi keamanan dan ketertiban di seluruh aspek kehidupan masyarakat baik di bidang sosial, politik, ekonomi, hukum dan lain sebagainya. Di bidang hukum sarana atau perangkat ini di antaranya berupa peraturan perundang-undangan seperti Undang-undang Lalu Lintas, Peraturan Daerah tentang Pembuangan Sampah dan lain sebagainya. Apabila kelengkapan kemaslahatan pokok tersebut dilanggar, maka kemaslahatan sekunder yang akan terganggu, meskipun tidak mengganggu eksistensi kemaslahatan pokok. Sehingga produk kriminalisasi perbuatan dilihat dari tingkat atau kualitas kemaslahatannya, yaitu kualifikasi-kualifikasi tentang pelanggaran (wetsdelict).
Misalnya : peraturan tentang lalu lintas kendaraan bermotor diciptakan sebagai salah satu sarana pelengkap (sekunder) untuk menjaga kemaslahatan jiwa, supaya tidak terjadi kecelakaan. Kecelakaan merupakan hal yang merusak eksistensi kemaslahatan pokok, dalam hal ini kemaslahatan jiwa/badan. Apabila seseorang melanggar peraturan lalu lintas, maka telah terjadi pelanggaran (wetsdelict), meskipun ia tidak menyebabkan kecelakaan (rechtdelict).
Penelitian kriminalisasi kejahatan dan kriminalisasi pelanggaran secara lebih spesifik dapat dilakukan dengan melihat ancaman dan kerugian yang ditimbulkan dari tindak pidana tersebut terhadap bentuk-bentuk kemaslahatan yang dilindungi dalam hukum pidana yang setidaknya terdiri dari kemaslahatan agama, kemaslahatan jiwa, kemaslahatan akal, kemaslahatan kehormatan/keturunan dan kemaslahatan harta benda. Mengingat perubahan-perubahan yang ada dimasyarakat, kemaslahatan tersebut diatas dapat ditambah misalnya dengan menempatkan berbagai kemasalahatan berikut sebagai perbuatan-perbuatan yang dapat dipidana dalam hukum pidana, diantaranya : kemaslahatan negara, kemaslahatan kepemilikan atas hak cipta, penemuan, kemaslahatan ketertiban umum dan lain sebagainya.
Berdasarkan bentuk-bentuk kemaslahatan di atas, maka secara negatif dapat disimpulkan bahwa perbuatan yang dapat dikriminalisasi menurut asas mashlahah, yaitu sebagai berikut : 
  1. Pelanggaran terhadap kemaslahatan agama;
  2. Pelanggaran terhadap kemaslahatan jiwa/nyawa/badan;
  3. Pelanggaran terhadap kemaslahatan akal;
  4. Pelanggaran terhadap kemaslahatan keturunan/kehormatan;
  5. Pelanggaran terhadap kemaslahatan harta benda,
selain itu bisa ditambahkan dengan contoh tambahan kemaslahatan di atas, tergantung oleh kemaslahatan apa saja yang dituju oleh suatu negara.

Perlu digaris bawahi bahwa penggunaan istilah “pelanggaran” diatas bukan untuk mengartikan pelanggaran sebagai tindak pidana (wetdelicten), namun untuk mengkualifikasi seluruh perbuatan yang secara umum bertentangan dengan nilai-nilai kemaslahatan diatas baik yang berupa kejahatan (rechtdelicten) maupun pelanggaran dalam arti wetsdelicten.

 Berdasarkan paparan diatas, penulis memandang perlu untuk dilakukan elaborasi dan eksploitasi lebih lanjut tentang kriminalisasi terhadap perbuatan yang bertentangan dengan bentuk-bentuk kemaslahatan diatas, sehingga diharapkan akan didapat bentuk-bentuk delik (perbuatan pidana) yang lebih siap guna bagi perumusan perundang-undangan pidana. Untuk itu perlu ditetapkan kriteria-kriteria delik yang merusak kelima kepentingan kemaslahatan tersebut diatas. Berikut ini contoh-contoh delik yang dapat dijadikan acuan kriminalisasi dari segi kepentingan hukum yang dilanggarnya, diantaranya:

1.      Kriteria pelanggaran terhadap kemaslahatan agama, yaitu :
a.        delik tersebut merusak aqidah/keimanan.
b.       delik tersebut merusak syariat (perintah dan larangan Allah)..
c.        delik tersebut merusak/mengganggu sarana peribadatan.
d.       delik tersebut merusak kehormatan/kesucian simbol-simbol agama.
e.        delik tersebut merusak/mengganggu dakwah agama
2.      Kriteria pelanggaran terhadap Kemaslahatan jiwa/badan :
a.        delik tersebut merusak/menghilangkan nyawa.
b.       delik tersebut merusak kesehatan korban.
c.        delik tersebut merusak/menghilangkan anggota tubuh korban.
3.      Kriteria pelanggaran terhadap kemaslahatan akal :
a.        delik tersebut merusak kesehatan mental.
b.       delik tersebut merusak kemampuan berpikir.
c.        delik tersebut merusak/mengganggu kebebasan berpikir.
d.       delik tersebut merusak kesadaran untuk berpikir.
e.        delik tersebut dapat menimbulkan pemikiran yang merusak ketaatan terhadap syariat.
4.      Kriteria pelanggaran terhadap kemaslahatan kehormatan/keturunan :
a.        delik tersebut merusak nasab keturunan.
b.       delik tersebut berhubungan dengan kemaluan/merusak kesucian/kehormatan diri.
c.        delik tersebut merusak/mengganggu nama baik seseorang dalam masyarakat.
5.      Kriteria pelanggaran terhadap kemaslahatan harta benda :
a.        delik tersebut merusak/menghilangkan nilai manfaat suatu benda.
b.       delik tersebut merusak/menghilangkan/mengurangi harta dalam arti bentuk, rupa maupun jumlahnya.
c.        delik tersebut menghilangkan/merusak hak pemilik atas harta tersebut.
Secara umum kualifikasi perbuatan yang bertentangan dengan kemaslahatan dari segi dzat-nya dapat dilakukan pembedaan, mana yang masuk dalam kualifikasi delik kejahatan (rechtsdelicten) dan mana yang masuk kualifikasi pelanggaran (wetsdelicten). Untuk melakukannya (kualifikasi) harus dilihat terlebih dahulu delik mana yang merusak kemaslahatan primer (dlaruriyat) dan mana delik yang merusak kemaslahatan sekunder (hajjiyat). Untuk menentukannya kita berpatokan pada mana yang menjadi inti atau pokok dalam bentuk-bentuk kemaslahatan tersebut.
Dalam kemaslahatan agama, inti kemaslahatan terletak pada aqidah dan syariah[†] (aturan agama). Hal ini terlihat dari pendapat Joseph Schacht (Schacht : 1971) berikut :
“Syariah merupakan inti paling sentral dari ajaran Islam dan tidak mungkin memahami kebudayaan, sejarah, sosial dan tatanan masyarakat Islam tanpa memahami syari’ah.”

Kemudian pendapat Jospeh Schacht ini ditanggapi oleh Zarkasyi Abdussalam dan Syamsul Anwar sebagai berikut :
“ Walaupun begitu, hukum dalam Islam tidaklah berdiri sendiri. Hukum Islam tegak di atas landasan teologis yang sangat dalam. Sebagai diakui oleh para ahli fiqh dan ushul fiqh bahwa hukum Islam itu istimdadnya adalah ilmu kalam (teologi/aqidah)”.

Jadi jelas bahwa aqidah merupakan kepercayaan dasar atau keyakinan yang menjadi landasan sendi-sendi kehidupan pemeluknya. Sedangkan aturan-aturan agama (syariat) yang menjadi sendi-sendi kehidupannya. Selain kedua hal tersebut, kemaslahatannya hanya merupakan sarana pelengkap saja, seperti dakwah, tempat ibadah dan lain sebagainya.
Sehingga kriminalisasi terhadap kejahatan agama menghasilkan delik yang mempunyai kriteria berikut :
a.        delik tersebut merusak aqidah/keimanan.
b.       delik tersebut merusak syariat (perintah dan larangan Tuhan)..
Sedangkan kriminalisasi terhadap pelanggaran agama menghasilkan delik yang mempunyai kriteria selain dari keduanya, seperti delik perusakan atau gangguan terhadap simbol-simbol agama, tempat ibadah, dakwah dan lain sebagainya.
Dalam kemaslahatan jiwa/badan, yang menjadi inti adalah tidak rusaknya eksistensi jiwa/badan atau sehat lahir-batin. Amir Mu’allim dan Yusdani (Amir Mu’allim dan Yusdani  : 2001) mencontohkan pemeliharaan jiwa/badan ini sebagai berikut :
“Memelihara jiwa dalam peringkat dlaruriyat, seperti memenuhi kebutuhan pokok berupa makanan untuk mempertahankan hidup. Kalau kebutuhan pokok itu diabaikan akan berakibat terancamnya eksistensi jiwa manusia”.

Apabila delik itu merugikan kemaslahatan jiwa/badan namun tidak sampai merusak eksistensi jiwa/badan, maka delik itu digolongkan sebagai pelanggaran. Dapat dimisalkan seperti penyanderaan, pemasungan, sabotase distribusi bahan makanan pokok, penimbunan dan lain sebagainya.
Dalam kemaslahatan akal, intinya adalah eksistensi kemampuan berfikir manusia secara sadar dan yang mempunyai kehendak bebas (tidak terpaksa). Perusakan eksistensi kemampuan berfikir tersebut dikategorikan sebagai kejahatan, seperti minum khamr, narkoba, guna-guna dan lain sebagainya. Sedangkan pelanggaran terhadap kemaslahatan akal, hanya bersifat gangguan yang tidak sampai merusak kemampuan berpikir seseorang. Jadi pelanggaran dalam delik kemaslahatan akal tersebut mempunyai kriteria berikut :
a.        delik tersebut merusak kemampuan berpikir.
b.       delik tersebut merusak/mengganggu kebebasan berpikir.
c.        delik tersebut dapat menimbulkan pemikiran yang merusak ketaatan terhadap syariat.
Dalam kemaslahatan kehormatan/keturunan, yang menjadi inti kemaslahatan yaitu eksistensi kehormatan/harga diri dan kejelasan nasab keturunan. Sehingga kriminalisasi kejahatan terhadap kemaslahatan kehormatan/keturunan dapat ditentukan kriterianya, di antaranya sebagai berikut :
a.        delik tersebut merusak nasab keturunan.
b.       delik tersebut berhubungan dengan kemaluan/merusak kesucian/kehormatan diri.
c.        delik tersebut merusak/mengganggu nama baik seseorang dalam masyarakat.
Pelanggaran dalam delik tersebut adalah yang mengganggu kemaslahatan kehormatan/keturunan, tapi tidak sampai menghilangkan eksistensinya, seperti pelecehan, makian, perlakuan tidak menyenangkan dan lain sebagainya.
Dalam kemaslahatan harta benda, inti kemaslahatannya terletak pada ketetapan bentuk, nilai guna dan kepemilikan harta terhadap pemiliknya. Perusakan terhadap hal tersebut merupakan kejahatan, seperti; pencurian, penggelapan, perusakan, penipuan dan lain sebagainya. Sedangkan pelanggaran terhadap kemaslahatan harta benda tidak sampai merusak inti kemaslahatannya, dicontohkan seperti; monopoli, peng-ghoshob-an (peminjaman tanpa ijin), dan sebagainya. 

E.     Kriminalisasi Perbuatan yang Bertentangan dengan Kemaslahatan dari Segi Cakupannya
Dari segi cakupannya, kriminalisasi dapat digunakan dalam dua aspek, yakni aspek korban dan aspek pelaku.
Dari aspek korban, kriminalisasi terhadap perbuatan didasarkan pada seberapa luas cakupan pihak yang menjadi korban -- apakah individu, kelompok atau masyarakat luas, bisa pula dengan memakai ukuran lain seperti lokal, nasional atau internasional. Kriminalisasi dari aspek ini sangat diperlukan untuk menjaring perbuatan yang secara tidak langsung dapat merugikan individu dan masyarakat. Dalam perbuatan perusakan lingkungan misalnya, terdapat permasalahan dalam sisi penuntutannya. Si pembuat (pelaku) tidak dapat dilaporkan melakukan tindak pidana oleh si korban secara individual kepada penyidik, mengingat korban secara langsung tidak dirugikan oleh pelaku. Tindakan perusakan lingkungan ini hanya dapat dilaporkan secara class action oleh masyarakat secara individu, melainkan terorganisir seperti LSM.
Sedang dari aspek pelaku, dapat dikembangkan ukuran-ukuran cakupannya. Hal ini dilakukan untuk memperjelas addressat hukumnya (subyek hukum) perbuatan pidana yang dilakukan, sehingga akan nampak siapa-siapa saja yang dapat dipidana dalam perbuatan pidana tersebut. Addressat hukum perbuatan pidana ditentukan berdasarkan siapa yang bertanggung jawab terhadap perbuatan pidana tersebut.
Dalam perkembangannya penentuan addressat hukum perbuatan tersebut tidaklah mudah, mengingat pelaku kejahatan tidak hanya terbatas pada manusia secara perorangan. Selain orang yang dapat melakukan kejahatan ada juga badan hukum -- seperti korporasi (PT, CV, Fa., yayasan, dll.) dan lembaga (institusi).  Mengingat korporasi dan institusi itu bukan orang, tentu negara akan kesulitan dalam memberikan pidana terhadapnya. Sebab korporasi dan institusi tidak dapat dipenjara atau dihukum mati.
Mengingat hal tersebut, sasaran kriminalisasi terhadap pelaku yang berwujud badan hukum ini kemudian diarahkan pada orang-orang yang bekerja di dalam korporasi atau institusi tersebut. Jika demikian halnya yang menjadi pertanyaan adalah apakah semua orang yang bekerja dalam korporasi atau institusi tersebut dapat dikenakan pidana? Jika ya, maka penerapan kriminalisasi tersebut akan dirasa tidak adil, dikarenakan hal tersebut memungkinkan dipidananya orang yang tidak tahu menahu tentang perbuatan pidana yang dilakukan badan hukumnya. Untuk itu harus dilakukan pengkualifikasian-pengkualifikasian tertentu terhadap  pelaku yang bekerja dalam badan hukum yang melakukan perbuatan pidana tersebut.
Mengingat korporasi merupakan suatu lembaga fungsi, dimana seluruh organnya bekerja berdasarkan fungsi dan tanggung jawab masing-masing, maka lebih tepat kiranya bila kualifikasi pelaku perbuatan yang bekerja dalam korporasi jahat ini dilakukan berdasarkan fungsi dan tanggung jawabnya. Misalkan dalam Perusahaan A yang melakukan fungsi eksekutif perusahaan dan pertanggung jawab atas kinerja perusahaan adalah Dewan Direksi, maka bila Perusahaan A melakukan tindak pidana, maka yang dapat dikenakan pidana terhadap perbuatan tersebut adalah Dewan Direksi-nya.
Dalam praktek di negara kita, KUHP Indonesia sudah menerapkan kriminalisasi terhadap pelaku yang bekerja dalam korporasi jahat. Pasal 59 KUHP (KUHP : 1978) menyatakan :
"Dalam hal-hal dimana karena pelanggaran ditentukan pidana terhadap pengurus, anggota badan pengurus atau komisaris-komisaris, maka pengurus, anggota badan pengurus atau komisaris-komisaris yang ternyata tidak ikut campur melakukan pelanggaran tidak dipidana".

Soedarto (Sudarto : 1990) mengomentari dan mengambil kesimpulan atas pasal 59 KUHP tersebut sebagai berikut :
“Fasal ini tidak menunjuk ke arah dapat dipidananya suatu ba­dan hukum. suatu perkumpulan atau badan (koperasi) lain. Menurut fasal ini yang dapat dipidana adalah orang yang melakukan sesuatu funksi dalam sesuatu korporasi. Seorang anggota pengurus”.

F.     Kriminalisasi Perbuatan yang Bertentangan dengan Kemaslahatan dari Segi Akibatnya
Selain memandang kemaslahatan dari segi bentuk/zatnya, Al-Buti juga memandang kemaslahatan dari segi akibatnya. Pertimbangan ini berkaitan dengan apakah suatu perbuatan yang semula dipandang maslahat itu berakibat juga pada kemaslahatan pihak lain. Jika suatu perbuatan (hukum) yang semula dipandang maslahat untuk diperbuat, tetapi akibatnya (diduga keras) menimbulkan mafsadat (kerusakan) atau memberi peluang untuk munculnya perbuatan jahat (delik), maka perbuatan yang semula dianggap maslahat itu lebih “maslahat” lagi untuk tidak dilakukan. Misalnya menjual anggur (bahan minuman keras) kepada orang yang biasa membuat minuman keras (khamr). Jual-beli anggur hukumnya halal dan merupakan kemaslahatan, namun karena menjualnya kepada produsen minuman keras, maka perbuatan hukum tersebut (menjual anggur) dianggap tidak maslahat lagi. (Ahmad Hanafi : 1993)
Hukum sebab-akibatnya sangat penting dalam delik materiil, karena akibat merupakan suatu essentialia dalam delik materiil, Sudarto menjelaskan mengenai hukum sebab-akibat sebagai berikut :  (Sudarto : 1990)
......pada delik materiil akibat itu merupakan essentalia dari delik tersebut, sebab di sini tidak terjadi akibat yang dilarang dalam delik itu, maka delik (materiil) itu tidak ada, paling banyak ada percobaan.

Selanjutnya ia (Sudarto : 1990) mengatakan :
“Persoalan hubungan sebab akibat (causalitertsvraagstuk) ini penting dalam delik materiil. Selain itu juga merupakan persoalan pada delik-delik yang dikwalifikasi oleh akibatnya......”

Jadi, dalam memandang maslahat dari segi akibatnya ini berhubungan erat dengan kualifikasi delik materiil, yaitu apabila terjadi  suatu perbuatan yang dari segi akibatnya menimbulkan mafsadat (bertentangan dengan maslahat) meskipun perbuatan tersebut asalnya maslahat, maka perbuatan tersebut sebaiknya dikriminalisasi daripada tidak.
Sudarto (Sudarto : 1990) mengatakan :
Delik materiil itu adalah delik yang perumusannya dititikberatkan kepada akibat yang tidak dikehendaki (dilarang). Delik ini baru selesai apabila akibat yang tidak dikehendaki itu telah terjadi.

Jika akibat yang dilarang itu tak terbukti, perlu dilakukan investigasi terhadap si pembuat (pelaku), apakah perbuatan si pembuat itu memenuhi unsur-unsur percobaan atau tidak. Dalam keilmuan Hukum Pidana suatu perbuatan akan dipandang sebagai percobaan (Pasal 53 (1) KUHP 1978) apabila ada; niat, permulaan pelaksanaan dan pelaksanaan tidak selesai bukan karena kehendak si pembuat.
Misalnya seseorang akan dikenakan hukuman atas tindak pidana pembunuhan, apabila ia dalam usahanya telah berhasil menghilangkan nyawa si korban (delik materiil). Namun ia tidak dianggap melakukan tindak pidana pembunuhan apabila dalam usahanya membunuh itu, nyawa si korban dapat diselamatkan, oleh karena itu ia dapat dikenai delik percobaan.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa kriminalisasi perbuatan dari segi akibatnya, diperoleh kriteria-kriteria kualifikasi delik menurut akibat yang ditimbulkannya yakni:
1.      delik materiil (perbuatan yang dapat mengakibatkan kerusakan yang bertentangan dengan al-mashalih al-khamsah) dan;
2.      delik percobaan (delik kejahatan yang tidak selesai).

G.    Penutup
Berdasarkan paparan diatas kita dapat melihat bahwa proses Kriminalisasi (pemberian cap jahat) pada suatu perbuatan pasti berhubungan dengan tujuan kemaslahatan yang ingin dicapai oleh suatu negara.
Asas maslahah yang menekankan pada tujuan kemaslahatan (al-maqashid al-syari’ah) yang semakin diakui eksistensinya dalam Hukum Islam mempunyai potensi untuk dikembangkan lebih lanjut dalam mendukung dan memperkuat basis teori kriminalisasi perbuatan. Dalam melakukan eksploitasi dan elaborasi terhadap asas maslahah tersebut, perlu diperhatikan tujuan-tujuan kemaslahatan yang ingin dicapai oleh suatu negara. Selain itu hal tersebut juga dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti, kompleksitas sosial, ekonomi, ideologi dan kultur masyarakat, perkembangan teknologi dan invention.
Basis teori kriminalisasi perbuatan tersebut nantinya akan berguna untuk memperoleh rumusan perundang-undangan pidana yang tepat dalam membantu terlindunginya kepentingan dan ketertiban masyarakat.




Daftar Pustaka

Khusein Hamid Hasan, Nazariyyah al-Mashlahah fi al-Fiqh al-Islami, (Kairo: Dar an-Nahdhah al-Arabiyyah,1971).
Wojowarsito, Kamus Bahasa Inggris-Indonesia, (Malang: CV Pengarang, 1982)
Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1994), Ed. II.
Muhammad Sa’id Ramdan al-Buti, Dawabit al-Maslahah fi al-Syari’ah al Islamiyah (Beirut: Muassasah al-Risalah, 1986).
Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammadiyah, (Jakarta: Logos Publishing House).
Sudarto, Hukum Pidana I, (Semarang: Yayasan Sudarto, 1990), Cetakan ke II.
Abu Ishaq al-Syathibi, al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1975),
Barda Nawawi Arief, Wawancara Terbuka, tanggal 10 Mei 2002.
John Schacht, An Introduction to Islamic Law (London: Oxford at the Clarrendon Press, 1971)
Amir Mu’allim dan Yusdani, Konfigurasi Pemikiran Hukum Islam, (Yogyakarta: UII Press, 2001)
Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1993)
KUHP, terjemahan Moeljatno (Yogyakarta: tanpa penerbit, 1978), halaman 50.


DAFTAR RIWAYAT HIDUP PENELITI

Nama                            : Iwan Zaenul fuad, SH. MH
NIP                               : 197706072006041003
Tempat Tanggal Lahir  : Semarang, 7 Juni 1977
Jabatan Fungsional       : Asisten Ahli
Bidang Keahlian           : Hukum, Ilmu Hukum dan Ilmu Sosial
Alamat                          : Jl. Baterman Besar No. 40 Semarang
Phone                            : (024) 3516836
Mobile                          : 081-3290908480
E-Mai                            : fuadfile@yahoo.com
Riwayat Pendidikan     : S1 Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang, lulus tahun 2002
                                       S2 Magister Hukum Ekonomi dan Teknologi Universitas Diponegoro, lulus Tahun 2010.



[*] HP. 0813290908480
[†] Dalam Hal ini penulis membahas kemaslahatan dalam agama Islam, namun demikian dapat digeneralisir terhadap agama lain, mengingat agama lain juga punya unsur yang sama – hanya berbeda istilahnya saja --, misalnya aqidah bisa digeneralisir menjadi kepercayaan (belief) sedangkan syariah dapat diterjemahkan sebagai aturan agama 

0 comments:

Posting Komentar