Ringkasan Hasil Penelitian
taubat Kiai mantan preman:
Studi Kasus Transformasi Kepribadian Yono Menyan dari
Semarang dalam Perspektif Psikologi Islami
Abstract: Dalam
transformasi atribut sosial dari preman menjadi kiai, terkandung di dalamnya
transformasi kepribadian. Dengan kata lain, orang tidak bisa merubah atribut
sosialnya, apabila pelaku tidak melakukan perubahan kepribadian yang selaras.
Penelitian kualitatif ini merupakan field research dengan
pendekatan studi kasus (case study) yang menekankan data primer (wawancara)
sebagai bahan kajiannya dan menggunakan sudut pandang psikologi islami sebagai
pisau analisisnya untuk mengolah autobiografinya.
Transformasi kepribadian yang dilakukan Yono Menyan dalam
kaca mata Psikologi Islami tidak berjalan secara gradual, melainkan radikal. Perubahan
yang ia jalani adalah ”loncatan transformasi”. Psikologi Islami hanya mengenal tiga
tipologi kepribadian, yakni kepribadian ammârah, lawwâmah dan muthmainnah, yang
umumnya dilalui secara gradual. Dalam transformasi kepribadiannya, ia secara radikal
merubah kepribadian ammârah-nya
menjadi kepribadian muthmainnah. Hal tersebut dikarenakan desakan unsolved
problems yang menghimpit hidupnya, sehingga fungsi akalnya tidak mampu lagi
menyelesaikan masalah. Keadaan tersebut secara radikal menggiringnya untuk
menemukan kesadaran kalbunya untuk kembali (taubat) dan terus berlari menuju
Tuhannya. Melalui institusi taubat inilah, transformasi kepribadian Yono Menyan
berlangsung.
Langkah taubat (psikoterapi) yang dilakukan, yakni dengan
mujâhadah yang menekankan pada penguatan iman tauhid, proses istighfâr dan
ditindaklanjuti dengan laku kebajikan (amal sholeh), terutama shadaqah. Ia
percaya mekanisme transformasi tersebut dapat bekerja dengan baik (berhasil).
Kepercayaannya tersebut didasari pada dua pendekatan, yakni: pertama, percaya
bahwa mekanisme taubat sebagaimana tersurat dalam al-Qur'an tersebut, sebagai
kebenaran dari Tuhannya; dan kedua, ia sendiri membuktikan bagaimana hidupnya
telah mengalami banyak perubahan positif dengan mengamalkan ritual dalam
al-Qur'an tersebut. Perbaikan tersebut terjadi baik dalam transformasi
kepribadiannya dan membawa kesejahteraan dalam hidupnya. Pendekatan seperti ini
dikenal sebagai pendekatan hikmah, yang menjadi daya tarik bagi orang-orang di
sekitarnya dan mempunyai masa lalu sama untuk mengikuti jejaknya. Praktik Psikoterapi
taubat tersebut lebih banyak ia lakukan secara personal. Bimbingan guru hanya
menjadi penghantar bagi dirinya untuk mengeksplorasi lembaga taubat tersebut
secara mandiri (self-therapy).
Keywords: taubat, transformasi kepribadian, preman, kiai,
dan Psikologi Islami.
Pendahuluan
Transformasi atribut sosial dari preman menjadi kiai
diasumsikan sebagai perubahan yang sulit, dikarenakan perubahan tersebut bukan
sekedar perubahan atribut sosial, melainkan menyangkut perubahan kepribadian.
Kesulitan peralihan kepribadian dan atribut sosial tersebut terlihat pada 2
(dua) hal. Pertama, anggapan klasik yang menganggap kepribadian
cenderung bersifat menetap atau stabil. Kedua, tampak pada penelitian
yang dilakukan oleh Iwan Fuad dkk (2010), yang mengungkapkan masih kuatnya
resistensi penerimaan masyarakat terhadap ulama’ yang mempunyai track
record masa lalu yang kelam (pemabuk, pezina, perampok, penganiaya, dsb).
Namun resistensi tersebut terdapat pengecualian, yakni dengan syarat pelaku
telah bertaubat. Lembaga taubat inilah yang menurut hipotesa peneliti dapat
menjadi pintu masuk terjadinya transformasi kepribadian dan atribut sosial.
Pembentukan karakter dirinya menjadi preman mulai terbentuk
sejak masa remaja, ketika ia melawan dan menghajar tiga orang kakak kelasnya
yang melakukan pemalakan dan pengeroyokan atas dirinya. “Kebolehannya” tersebut
menghantarkan dirinya ke dalam berbagai kasus kekerasan lain dalam dunia
preman, bahkan berulang kali ia berada dalam tahanan kepolisian. Sebagaimana
preman lainnya, Yono Menyan juga terlibat aksi kenakalan remaja, seperti: ”nge-gang”,
perkelahian, pesta minuman keras, pemalakan, perjudian dan sex luar
nikah.
Pada tahun 1987 ia bersama teman-temannya mendirikan ”Gang
Manfrus”, oleh karena itu pula ia mempunyai julukan lain sebagai ”Yono Manfrus”.
Meskipun demikian dalam menjalankan aksi premannya, Yono Menyan sering
’beroperasi’ seorang diri dan malang melintang bersama gang-gang lain di
Semarang. Aksi solitaire yang dilakukannya tersebut tentu saja membutuhkan
nyali yang tinggi, sehingga sangat disegani oleh kawan maupun lawan. Belum lagi
dengan luasnya pertemanan dengan berbagai
gang yang seringkali meminta bantuannya, menambah namanya banyak dikenal
dalam dunia perpremanan di Semarang. Sebagai preman yang senantiasa berhadapan
dengan kekerasan, ia melambari dirinya dengan kemampuan magis ’jadugan’
seperti kekebalan, dan pukulan menjatuhkan lawan, dan lain sebagainya.
Perjalanannya sebagai preman mengalami titik balik ketika
ia menjadi buronan pihak kepolisian karena membacok teman sejawatnya. Dari
menjadi buronan ini masalah berkembang dengan di-PHK-nya dirinya, sehingga
kesulitan untuk memberi nafkah anak istrinya. Ketika sedang dirundung masalah
dan tidak menemukan penyelesaiannya, ia berpaling kepada Tuhannya. Dari sanalah
proses transformasi kepribadian dirinya dimulai hingga membentuk dirinya yang
sekarang, yakni menjadi kiai yang menjadi anutan bagi pengikutnya.
Di banding Jhony Indo, Anton Medan, ataupun Jefri
Al-Bukhori, sosok Yono Menyan dipandang kurang ’beken’ dari ketiga nama di atas
yang juga sama-sama telah melakukan transformasi atribut sosial sekaligus
kepribadian dari preman atau pecandu yang mempunyai masa lalu kelam berubah
menjadi kiai. Namun pilihan untuk memilih sosok Yono Menyan sebagai subjek
penelitian ini didasari keunikan sebagai berikut: (a) taubat yang dilakukannya melalui
dimensi spiritual tasawuf; (b) latar belakang diri dan keluarganya berasal dari
kalangan ”Islam Abangan”; (c) karakter premannya, dikenal akan keberanian,
kesantunan dan rasa solidaritas yang tinggi dengan temannya; dan (d) ketika
menjadi kiai ia sangat memperhatikan kesejahteraan jamaahnya meski kondisi diri
dan keluarganya sendiri masih kekurangan.
Penelitian ini berusaha menguak peran institusi taubat
dalam Islam berikut perjalanan taubat yang dialami oleh sosok Yono Menyan, yang
menghantarkan dirinya dalam perubahan atribut sosial dan kepribadian. Elaborasi
atas institusi taubat tersebut sangat penting, mengingat institusi taubat
merupakan pintu masuk terjadinya transformasi kepribadian.
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka peneliti
ingin mengangkat rumusan masalah sebagai berikut: Pertama, Siapa
dan bagaimanakah sosok Yono Menyan? Kedua, perubahan kepribadian seperti
apa yang dilakukan subjek penelitian? transformasi kepribadiannya ini akan
dilihat dari sudut pandang Psikologi Islami. Selanjutnya ketiga, bagaimana
mekanisme taubat (Psikoterapi Islami) yang dijalankannya?
Realitas Subjek
Penlitian (Yono Menyan: A-Z)
Seperti yang digambarkan Esbensen, Juzinga, dan Weiher
(1993), yang menyimpulkan bahwa latar belakang keluarga dan lingkungan yang
telah termarginalkan menjadi faktor penting yang menyebabkan seseorang bereaksi
secara moral dengan membentuk sikap dan tindakan yang anti sosial. Selanjutnya
kondisi inilah yang diduga sebagai biang terjadinya aksi premanisme ataupun
gangster (.....et.al 20...).
Yono menyan tumbuh dan besar di wilayah Kelurahan
Krobokan, daerah di tengah kota yang relatif miskin, terisolasi dan minim
pembangunan. Dengan kondisi wilayah seperti ini merupakan lingkungan ideal
sebagai tempat tumbuhnya kejahatan (Esbensen, Juzinga, dan Weiher, 1993). Dari wilayah Krobokan tumbuh preman dan
penjahat secara turun temurun dari generasi-generasi. Tingginya angka kejahatan
dari wilayah tersebut ditambah dengan minimnya kegiatan religius yang dilakukan
penduduknya. Mengingat background wilayah tersebut, tidak mengherankan
bila menghasilkan preman-preman seperti halnya Yono Menyan.
Yono Menyan sendiri, secara pribadi mempunyai
personalitas yang unik. Sifat aslinya dan yang menjadi bawaan kepribadianya
adalah pintar, pendiam, santun, jujur, setia, berorientasi pada solusi, suka berpetualang
dan mempunyai jiwa sosial atau solidaritas yang tinggi. Watak dasar ini sempat
terwarnai oleh lingkungan tempat tinggal dan sekolahnya yang membentuk dirinya
mempunyai atribut sosial sebagai seorang preman: suka mabuk-mabukan, terlibat
dengan aksi kekerasan, pemalakan, dan berperilaku yang dianggap menyimpang
secara sosial dan agama. Bisa dikatakan bahwa faktor yang melatarbelakanginya
terjun di dunia preman, adalah latar belakang sosialnya yang sarat dengan
aksi-aksi kekerasan dan terobsesi oleh sosok lakon Jaka Dilaga dalam sandiwara
radio fiksi ”Jaka Dilaga”. Campuran dari faktor eksternal dan internal tersebut
membawanya menjadi pribadi sosok preman yang jagoan namun rendah hati, seperti
yang pernah dilakoninya. Hal tersebut ditambah dengan pengetahuan dan
pengalaman hidupnya yang jauh dari religiusitas.
Lepas lulus pendidikan SMA ia bersama teman-teman
sekolahnya membentuk gang Manfrus, gang yang sempat berkibar di Semarang
pada era 1990-an. Meskipun mampu bergerak secara massif dengan mengerahkan
sekitar 1500-an anak buah, Yono Menyan lebih cenderung menyelesaikan
masalah-masalah gangster dengan cara solitaire (dihadapinya secara
sendirian). Keberaniannya menghadapi banyaknya musuh seorang diri ini menambah
segan baik kawan maupun lawan. Dengan cara ini banyak kelompok-kelompok
gangster maupun preman menundukkan diri dalam perlindungan Yono Menyan dari
pada gang Manfrus yang menjadi
naungannya. Selanjutnya ia lebih banyak bergaul secara berpindah tempat (nomade)
dari kelompok gang ke kelompok gang lain di berbagai wilayah atau
kampung di Kota Semarang.
Hidup sebagai preman, ia rasakan sarat dengan masalah.
Masalah datang tidak saja menimpa dirinya, namun juga keluarganya dan
teman-teman preman yang sudah ia anggap sebagai saudara. Sudah berulang kali
(sering) ia ditangkap polisi karena aksi-aksi kekerasannya --menganiaya orang
dan meninggalkan luka bacokan pada korbannya. Kehidupan dunia preman dan
gangster membawanya pada kebiasaan-kebiasaan negatif, seperti: minum-minuman
keras (bahkan hingga kecanduan), bergadang, memalak, berzina, melakukan aksi
kekerasan, dan berjudi. Meskipun ia hampir melakukan aksi molimo, ada
perbuatan yang menjadi pantangannya, yakni mencuri. Selain kebiasaan yang
mendapat pengaruh eksternal di atas ia juga mempunyai kebiasaan melakukan
ritual-ritual mistis atau perdukunan dalam menyelesaikan masalah.
Lelah dengan kehidupan preman dan dunia gangster yang
banyak masalah, ia mencoba melepaskan diri dari masalah-masalah tersebut dengan
cara bekerja. Apalagi pada waktu itu ia sudah berkeluarga (mempunyai anak
istri), dan membutuhkan nafkah dalam menghidupi anggota keluarganya. Ia sempat
3 kali beralih profesi menjadi buruh, kondektur bus dan terakhir adalah Satpam.
Rupanya beralih profesi dari preman menjadi tenaga
profesional tidak membuat dirinya lepas dari masalah. Hal tersebut karena
lingkungan yang tidak kondusif untuk berubah dan perilakunya masih jauhnya dari
nilai-nilai agama, seperti mabuk-mabukan, berzina, aksi-aksi kekerasan masih
mendominasi perilakunya. Rangkaian kebiasaan yang jauh dari norma agama
tersebut, tentu masih menyisakan masalah-masalah yang tetap akan ia hadapi
dalam perjalanan hidupnya.
Peristiwa yang menjadi titik balik dalam perjalanan
hidupnya adalah ketika terakhir kali ia menjadi buronan polisi karena
menganiaya teman Satpam-nya. Dari peristiwa tersebut selain menjadi buron ia
juga kehilangan mata pencahariannya (sebagai Satpam). Kondisi tersebut
menghimpit kehidupannya, sehingga sulit bagi dirinya lepas dari masalah. Selain
terus menghindar dari kejaran polisi, ia juga membutuhkan nafkah bagi
anak-istrinya. Kedua masalah tersebut membuat dirinya tidak berkutik. Bila
sebelumnya ia mempunyai backing oknum TNI bila ia berurusan dengan
polisi, ternyata bantuan tersebut sudah tidak ada. Demikian juga dengan
teman-teman premannya, mereka mulai menjauhi dirinya.
Dalam kondisi demikian, ia tidak menemukan satu
perlindungan pun kecuali satu-satunya harapan, yakni Tuhan dan agama. Hal
tersebut ia rasakan janggal mengingat selama ini ia merasa jauh dari agama dan
kehidupan religius. Ia hanya melakukan ibadah jika ia terkena masalah saja,
selebihnya kembali pada kebiasaan lama. Namun dengan adanya peristiwa tersebut,
ia ibarat dalam posisi buntu untuk menyelesaikan masalah. Lalu mulailah ia
memperbanyak ibadah dan doa, meninggalkan kebiasaan mabuk-mabukan dan kebiasaan
buruk lainnya dalam ajaran agama. Dari ritual-ritual yang ia jalani, mulai
menemukan kesadaran dirinya, melakukan review atas perjalanan hidupnya,
sehingga muncul penyesalan. Faktor-faktor inilah yang menurutnya membawa
dirinya pada pintu taubat. Untuk mendukung upaya taubatnya, ia mencari sosok
kiai yang mampu menyokong upaya taubatnya. Apabila dalam kehidupan masa lalunya
ia mencari kiai (yang di kemudian hari difahaminya sebagai dukun bersorban),
kini ia mencari kiai dengan sosok berbeda dan tujuan yang berbeda. Taubat.
Perjalanan hidupnya menghantarkannya bertemu dengan Kiai
Yusak dan kemudian kepada Abah Hamid (gurunya Kiai Yusak). Oleh Kiai Yusak, ia
diajak untuk ber-istighfâr dan ber-mujâhadah, meskipun Kyai Yusak tidak
pernah ia beritahu akan statusnya sebagai buron kepolisian. Meskipun telah
menemukan kelompok baru yang bisa dijadikan pengayom dirinya, jiwa solitaire
pada diri Yono Menyan masih tetap ia jaga. Ia ingin menyelesaikan masalah tersebut
tanpa melibatkan orang lain, tapi tetap melibatkan tuhannya, Allah. Selain
dzikir dan mujahadai, dari Kyai Yusak ia memperoleh banyak pengetahuan
ketuhanan dan bagaimana bersikap bijak dalam menghadapi berbagai permasalahan.
Termotivasi oleh ajaran dari Kyai Yusak untuk
menggantungkan semua masalah hanya kepada Tuhannya, ia rajin melakukan berbagai
kegiatan ritual seperti dzikir dan mujâhadah
bahkan secara mandiri dan setiap hari. Malam-malamnya ia hiasi dengan dzikir, istighfâr dan ber-mujâhadah sendirian. Kali ini orientasi ibadahnya pun --dibandingkan
dengan masa lalunya-- juga mengalami pergeseran. Jika sebelumnya ia beribadah
dan berdoa agar terlepas dari masalah, kini untuk satu tujuan, yakni taubat
agar Allah berkenan menghapus dosa-dosa masa lalunya dan memperbaiki
perilakunya.
Berkaitan dengan situasi
dan kondisi masalah yang sedang dialaminya -- status buron kepolisian,
permohonan doa yang ia panjatkan adalah bila nanti ia tertangkap, ia mohon
ditangkap dalam keadaan terampuni dosa-dosanya berkaitan masalah penganiayaan
tersebut. Permohonan tersebut ia sampaikan di sela-sela ibadah dan munajatnya. Setelah
melalui beberapa kali pengejaran, akhirnya ia tertangkap juga. Ketika dibawa ke
Polsek setempat ternyata polisi yang menginterogasi dirinya telah memahami
masalahnya dan latar belakang perbuatannya, sehingga tidak menyalahkan
perbuatannya. Oleh karena itu meskipun ia ditangani polisi yang terkenal kejam
dalam menangani penjahat, ia diperlakukan baik olehnya. Akhirnya proses hukum
masalah penganiayaan tersebut dapat dilakukan dengan perdamaian dan terhadapnya
tidak dilakukan penahanan.
Kejadian tersebut semakin memperkuat keimanannya, bahwa
Allah benar-benar Penyelesai Masalah yang sangat handal dan Allah tidak akan
meninggalkan hamba-Nya, selama hamba berlaku setia. Kejadian yang bagaikan
mu’jizat tersebut terulang kembali dalam kasusnya yang lain. Dalam kondisi
lemah karena kambuhnya penyakit batu ginjal yang ia derita, ia mendapatkan ’operasi
ghaib’ yang di luar logika. Dalam menghadapi penyakit batu ginjal tersebut, ia
mengulangi lagi permohonannya agar diampuni dosa-dosa zinanya di masa lalu.
Dalam keadaan setengah sadar, ia merasa berada di alam lain. Makhluk-makhluk
berpakaian putih-putih memapahnya ke semacam dipan rumah sakit. Dibawanya ia ke
ruang operasi untuk mengeluarkan batu ginjal penyebab sakitnya. Setelah operasi
selesai, ia mendapati dirinya masih duduk bersila di depan pintu rumah, seiring
adzab subuh berkumandang. Puji syukur ia panjatkan dalam sholatnya dan juga
setelahnya. Rangkaian peristiwa-peristiwa tersebut semakin menambah kekuatan
imannya untuk selalu bersikap menggantungkan diri kepada Tuhannya (tawakkal)
dan selalu mendekatkan diri kepada-Nya.
Menjadi Kyai
Bagaimanapun menjadi kyai, bukanlah cita-cita atau tujuan
hidupnya. Tidak terlintas di benaknya sedikitpun untuk berangan-angan menjadi
kyai. Semuanya datang, terjadi dan mengalir dengan sendirinya, tidak ada
rencana. Semuanya berawal dari keinginannya dan amal perbuatannya yang selalu
menuju pada kebajikan (amal sholeh).
Fase-fase perjalanan hidupnya sebagai kiai, diawali dari
karir sosialnya sebagai pemijat, dan mediator kesembuhan. Selanjutnya menerima
tamu yang mengkonsultasikan masalahnya, baik masalah keluarga, ekonomi dan
spiritual. Dari tamu-tamunya tersebut sebagian berinisiatif membuat kelompok
pengajian untuk menimba ilmu dari narasumber dan terbina kehidupan dunia dan
akhiratnya masing-masing. Demikianlah profil ke-kiai-an sosok Yono
Menyan (narasumber). Fase-fase tersebut dilaluinya tanpa perencanaan, dan
sepertinya, menyesuaikan dengan perjalanan hidupnya. Dalam hal perpindahan
fasenya tersebut tidak dilakukan secara drastis, melainkan berangsur-angsur
mengikuti apapun yang diamanahkan Allah kepadanya.
Pengajian yang ia pimpin telah berlangsung selama lima
tahun lebih (dimulai sejak tahun 2006). Setiap malam minggu dan malam Rabu, biasanya
diadakan kumpulan pengajian dan mujâhadah
minimal dua kali. Di antara jamaah ada yang berhenti mengikuti pengajian karena
tidak kuatnya ujian dan cobaan yang harus dilalui. Namun ada belasan anggota
jamaah lain yang tetap mengikuti perjuangannya hingga kini. Anggota jamaah yang
dahulunya cuma 3 orang, kini telah berkembang hingga 30-an jamaah. Dalam
pengamatan dan asumsi penulis pengajian tersebut tidak mungkin berlangsung
secara kontinyu atau berkelanjutan --
dengan intensitas lumayan tinggi (dua kali dalam seminggu) dan dalam kurun
waktu yang lama (lima tahun), apabila tidak dirasakan manfaatnya pada anggota
jamaahnya.
Dalam menjalankan ajarannya, ia selalu menekankan pada
al-Qur'an dan hadist yang didukung oleh hikmah atau pelajaran kehidupan. Dalam
mengajarkan hikmah, ini ia banyak berpatokan pada hasil pengalaman masa lalunya
yang suram dan pengalaman transformasi taubatnya. Racikan pengajarannya ini
relatif cocok dirasakan oleh jamaahnya, mengingat latar belakang kehidupan
jamaahnya relatif sama dengan masa lalu Yono Menyan. Dalam pengajarannya Yono
Menyan tidak melakukannya secara ekspansif (merekrut sebanyak-banyaknya jamaah)
dan penyampaiannya pun dilakukan dengan cara yang baik (mau’idhoh hasanah).
Psikologi Islami: kerangka Teori penelitian
Semenjak ribuan tahun yang lalu konsep tentang manusia
banyak dirumuskan oleh para ahli dari mulai filsuf, ilmuwan dan agamawan.
Manusia moncoba untuk mengetahui hakikat atau esensi dirinya. Seiring
berjalannya waktu sejarah mencatat bahwa teori-teori mengenai hakikat atau
esensi manusia terus berkembang. Hal inilah yang kemudian memicu lahirnya
berbagai disiplin ilmu dengan manusia sebagai subjek dan atau objek kajiannya,
dan psikologi adalah salah-satu disiplin ilmu yang termasuk di dalamnya.
Secara umum disiplin ilmu psikologi yang selama ini
berkembang memiliki tiga fungsi utama, yaitu; menerangkan (explanation),
memprediksi (prediction) dan mengontrol (controlling) perilaku
manusia. Di dalam aplikasinya, salah-satunya terdapat apa yang dinamakan dengan
Psikoterapi. Istilah Psikoterapi (dan konseling) sendiri memiliki pengertian sebagai
suatu cara yang dilakukan oleh para profesional (psikolog, psikiater, konselor,
dokter, guru, dsb.) dengan tujuan untuk menolong klien yang mengalami
problematika psikologis (Prawitasari, 1993, dalam Subandi, 2000).
Konsep Psikologi Islami lahir dari dua pendekatan: Pertama,
Psikologi Islami diartikan sebagai perspektif Islam terhadap psikologi modern
dengan membuang konsep yang tidak sesuai dan bertentangan dengan konsep Islam.
Kedua, Psikologi yang bersumber dari ajaran-ajaran Islam (al-Qur'an dan sunnah)
tersebut tetap memperhatikan pula syarat-syarat ilmiah seperti lazimnya dalam
bahasan metodologik suatu konsep teori.
Dalam mengkaji ruang lingkup kajian dalam studi Psikologi
Islami Djamaludin Ancok dan Fuat Nashori (2004) memberikan dua catatan utama,
yang pertama bahwa kajian mengenai manusia bukanlah kajian yang berdiri
sendiri, tetapi digunakan untuk menuju Allah (Abdul Hamid al-Hashimi, 1991),
yang kedua adalah untuk mengenal siapa manusia kita tidak semata-mata
menggunakan teks Al-Quran (ayat qauliyah), tapi juga dengan menggunakan,
memikirkan dan merefleksikan kejadian-kejadian di alam semesta (ayat kauniyah)
dengan akal pikiran, indra dan intuisi. Catatan terakhir kita harus membedakan
kebenaran Al-Quran dan kebenaran penafsiran Al-Quran.
Penjelasan mengenai konsep manusia menurut psikologi
Islami banyak dipengaruhi oleh konsep manusia menurut pandangan ilmu tasawuf,
yang secara umum dapat kita temukan dengan melihat beberapa aspek, diantaranya jismiyah
(jasad), nafsiyah (pribadi) dan ruĥiyah. Untuk mengelaborasi
kasus transformasi kepribadian pada Yono Menyan, selanjutnya penelitian ini
lebih memfokuskan pada aspek nafsiyah (kepribadian) yang ada pada diri Yono
Menyan.
Kritik psikologi islam terharap teori-teori psikologi
yang sudah ada, pada umumnya terlalu berorientasi pada manusia atau antroposentris
(Bastaman, 1995 dalam Subandi, 2000), sehingga ukuran kebenarannya juga dari
kacamata manusiawi. Sedangkan dalam perspektif psikologi Islami dalam hal ini Psikoterapi
Islam kebenarannya harus dikembalikan kepada Al-Quran dan sunnah (Al-Hadis).
Pada kenyataannya teknik Psikoterapi sendiri cukup
beragam dan hal ini tidak terlepas dari konsep teori psikologi mana yang
menjadi landasannya. Di dalam makalah ini penulis mencoba untuk menelaah lebih
dalam mengenai Psikoterapi yang berwawasan Islam, namun tentu saja sebelum
menginjak kepada pembahasan mengenai Psikoterapi yang berwawasan Islam kita
harus terlebih dahulu membahas mengenai konsep Psikologi Islami sebagai pijakan
dan konsep dasar yang menjadi landasan awal dari Psikoterapi berwawasan Islam.
Sebagai bagian dari psikologi Islami, Psikoterapi Islam
menaruh perhatian pada proses penyembuhan, Psikoterapi Islam sangat menekankan
pada usaha peningkatan diri, seperti membersihkan kalbu, menguasai pengaruh
dorongan primitif, meningkatkan derajat nafs, menumbuhkan akhlaqul
karimah dan meningkatkan potensi untuk menjalankan amanah sebagai hamba
Allah dan khalifah di muka bumi. Mappiare, 1996 (dalam Subandi, 2000)
menekankan bahwa Psikoterapi Islam bertujuan untuk mengembalikan seorang
pribadi pada fitrahnya yang suci atau kembali ke jalan yang lurus. Lebih jauh
lagi Hamdani, 1996-a (dalam Subandi, 2000) menyebutkan bahwa Psikoterapi juga
perlu memberikan bimbingan kepada seseorang untuk menemukan hakekat dirinya,
menemukan Tuhannya dan menemukan rahasia Tuhan.
Dinamika Kepribadian menurut Psikologi Islami
Kepribadian menurut Psikologi Islami adalah integrasi sistem
kalbu, akal dan nafsu manusia yang menimbulkan tingkah laku (Abdul Mujib dan
Jusuf Mudzakir, 2001). Aspek nafsiyah (kepribadian) manusia memiliki
tiga daya, yaitu: (1) kalbu (fithrah ilahiyah) sebagai aspek
supra-kesadaran manusia yang memiliki daya afeksi (emosi-rasa); (2) akal (fithrah
insaniyah) sebagai aspek kesadaran manusia yang memiliki daya kognisi
(cipta); dan (3) nafsu (fithrah hayawaniyah) sebagai aspek pra atau
bawah kesadaran manusia yang memiliki daya konasi (karsa). Ketiga komponen ini berintegrasi
untuk mewujudkan suatu tingkah laku. Kalbu memiliki kecenderungan kepada
pembawaan ruh, nafs kepada jasad, sedangkan akal antara
ruh dan jasad. Dari sudut tingkatannya, kepribadian itu merupakan integrasi
dari aspek-aspek supra-kesadaran (fitrah ketuhanan), kesadaran (fitrah
kemanusiaan) dan pra atau bawah kesadaran (fitrah kebinatangan). Sedangkan dari
sudut fungsinya, kepribadian merupakan integrasi dari daya afeksi (emosi),
kognisi dan konasi yang terwujud dalam tingkah laku luar (berjalan, berbicara,
dsb.) maupun tingkah laku dalam (pikiran, perasaan, dsb.)
Kepribadian sesungguhnya merupakan produk dari interaksi
di antara ketiga komponen tersebut, hanya saja ada salah-satu di antaranya yang
lebih mendominasi dari komponen yang lain. Dalam interaksi itu kalbu memiliki
posisi dominan dalam mengendalikan suatu kepribadian. Prinsip kerjanya
cenderung kepada fitrah asal manusia, yaitu rindu akan kehadiran tuhan dan
kesucian jiwa. Aktualitas kalbu sangat ditentukan oleh sistem kendalinya.
Sistem kendali yang dimaksud adalah dhamĩr yang dibimbing oleh fithrah
al-munazzalah (Al-Quran dan Sunnah). Apabila sistem kendali ini berfungsi
sebagaimana mestinya maka kepribadian manusia sesuai dengan amanat yang telah
diberikan oleh Allah di alam perjanjian. Namun apabila ia tidak berfungsi maka
kepribadian manusia akan dikendalikan oleh komponen lain yang lebih rendah
kedudukannya. Sedangkan akal prinsip kerjanya adalah mengejar hal-hal yang
realistis dan rasionalistik. Oleh sebab itu maka tugas utama akal adalah
mengikat dan menahan hawa nafsu. Apabila tugas utama ini terlaksana maka akal
mampu untuk mengaktualisasikan sifat bawaan tertingginya, namun jika tidak maka
akal dimanfaatkan oleh nafsu.
Sementara nafsu prinsip kerjanya hanya mengejar
kenikmatan duniawi dan ingin mengumbar nafsu-nafsu impulsifnya. Apabila sistem
kendali kalbu dan akal melemah maka nafsu mampu mengaktualkan sifat bawaannya,
tetapi apabila sistem kendali kalbu dan akal tetap berfungsi maka daya nafsu
melemah. Nafsu sendiri memiliki daya tarik yang sangat kuat dibanding dengan
kedua sistem fitrah nafsani yang lainnya. Kekuatan tersebut disebabkan oleh
bantuan dan bisikan setan serta tipuan-tipuan impulsif lainnya. Sifat nafsu
adalah mengarah pada amarah yang buruk. Namun apabila ia diberi rahmat
oleh Allah maka ia menjadi daya yang positif, yaitu kemauan (iradah) dan
kemampuan (qudrah) yang tinggi derajatnya.
Berdasarkan hal di atas, kepribadian dalam psikologi
Islami dapat digambarkan sebagai proses integrasi anatara aspek kalbum akal dan
nafsu yang menimbulkan tingkah laku (Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir, 2001),
dalam gambaran sebagai berikut:
Interaksi ketiga dimensi dalam aspek nafsiyah tadi
teraktualisasi dalam tiga macam kepribadian, yaitu: Pertama, Kepribadian Ammârah (nafs al-ammârah). Kepribadian
ammârah adalah kepribadian yang
cenderung pada tabiat jasad dan mengejar pada prinsip-prinsip kenikmatan (pleasure
principle). Ia mendominasi peran kalbu untuk melakukan perbuatan-perbuatan
yang rendah sesuai dengan naluri primitifnya, sehingga ia merupakan tempat dan
sumber kejelekan dan tingkah laku yang tercela, sebagaimana firman Allah SWT
dalam surat Yusuf/ 12:53.
Kepribadian ammârah
adalah kepribadian yang dipengaruhi oleh dorongan-dorongan bawah sadar manusia.
Barangsiapa yang berkepribadian ini maka sesungguhnya ia tidak lagi memiliki
identitas manusia, sebab sifat-sifat humanitasnya telah hilang. Manusia yang
berkepribadian ammârah tidak saja
dapat merusak dirinya sendiri, tetapi juga merusak diri orang lain.
Keberadaannya ditentukan oleh dua daya, yaitu (1) syahwat yang selalu
menginginkan birahi, kesukaan diri, ingin tahu dan campur tangan urusan orang
lain, dan sebagainya; (2) daya ghadah yang selalu menginginkan tamak,
serakah, mencekal, berkelahi, ingin menguasai orang lain, keras kepala,
sombong, angkuh dan sebagainya dan cenderung mengikuti sifat binatang.
Kepribadian ammârah
dapat beranjak ke kepribadian yang baik apabila telah diberi rahmat oleh Allah
SWT. Hal tersebut diperlukan latihan atau riydhah khusus untuk menekan daya nafsu dari hawa,
seperti dengan berpuasa, shalat, berdoa dan sebagainya.
Kedua,
Kepribadian Lawwâmah (nafs al-lawwâmah).
Kepribadian lawwâmah adalah
kepribadian yang telah memperoleh cahaya kalbu, lalu ia bangkit untuk
memperbaiki kebimbangan antara dua hal. Dalam upayanya itu kadang-kadang tumbuh
perbuatan yang buruk yang disebutkan oleh watak gelapnya, namun kemudian ia
diingatkan oleh nur ilâhi, sehingga ia mencela perbuatannya dan
selanjutnya ia bertaubat dan ber-istighfâr.
Hal itu dapat difahami bahwa kepribadian lawwâmah
berada dalam kebimbangan antara kepribadian ammârah
dan kepribadian muthmainnah. Firman Allah SWT.:Dan aku bersumpah dengan
jiwa yang Amat menyesali (dirinya sendiri). (QS. Al-Qiyamah/75:2).
Kepribadian lawwâmah
merupakan kepribadian yang didominasi oleh akal. Sebagai komponen yang memiliki
sifat insaniah, akal mengikuti prinsip kerja rasionalistik dan realistik
yang membawa manusia pada tingkat kesadaran. Apabila sistem kendalinya
berfungsi maka ia mampu mencapai puncaknya seperti berpaham rasionalisme.
Rasionalisme banyak dikembangkan oleh kaum humanis yang mengorientasikan pola
pikirnya pada kekuatan "serba" manusia, sehingga sifatnya antroposentris.
Ketiga,
Kepribadian Muthmainnah (nafs al-muthmainnah).
Kepribadian muthmainnah adalah
kepribadian yang telah diberi kesempurnaan nur kalbu, sehingga dapat
meninggalkan sifat-sifat yang baik. Kepribadian ini selalu berorientasi ke komponen kalbu
untuk mendapatkan kesucian dan menghilangkan segala kotoran, sehingga dirinya
menjadi tenang. Begitu tenangnya kepribadian ini sehingga ia dipanggil oleh
Allah SWT. Firman Allah SWT.: ”Hai jiwa yang tenang.Kembalilah kepada
Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya”. (QS. Al-Fajr, 89:27-28). Kepribadian
muthmainnah merupakan kepribadian atas
sadar atau supra- kesadaran manusia, dengan orientasi kepribadian ini adalah
teosentris. Dikatakan demikian sebab kepribadian ini merasa tenang dalam
menerima keyakinan fithrah. Keyakinan fithrah adalah keyakinan yang dihujamkan
pada ruh manusia di alam arwah dan kemudian dilegitimasi oleh wahyu ilahi.
Penerimaan ini tidak bimbang apalagi ragu-ragu seperti yang dialami oleh
kepribadian lawwâmah, tetapi penuh
keyakinan. Oleh sebab itu ia terbiasa menggunakan metode zawq (cita
rasa) dan mata batin dalam menerima sesuatu sehingga ia merasa yakin dan
tenang.
Al-Ghazali menyatakan bahwa daya kalbu yang mendominasi
kepribadian muthmainnah mampu
mencapai pengetahuan ma'rifat melalui daya cita rasa (zawq) dan kasyf
terbukanya tabir misteri yang menghalangi penglihatan batin manusia. Sedangkan
Ibnu Khaldun menyatakan dalam "muqaddimat" bahwa ruh kalbu itu
disinggahi oleh ruh akal. Ruh akal secara substansial mampu mengetahui apa saja
di alam amar, sebab ia berpotensi demikian. Ia kadang-kadang tidak mampu
mencapai pengetahuan itu disebabkan adanya penghalang (hijâb) di badan
dan indera. Apabila penghalang itu hilang maka ia mampu menembus pengetahuan
tersebut.
Dengan kekuatan dan kesucian daya kalbu maka manusia mampu
memperoleh pengetahuan wahyu dan ilham dari Tuhan. Wahyu diberikan pada para
nabi, sedang ilham diberikan pada manusia suci biasa. Kebenaran pengetahuan ini
bersifat supra-rasional, sehingga bisa jadi ia tidak mampu diterima oleh akal.
Pengetahuan yang ditangkap oleh akal seharusnya dapat pula ditangkap oleh
kalbu, sebab kalbu sebagian dayanya ada yang digunakan untuk berakal. Namun
sebaliknya, pengetahuan yang diterima oleh kalbu belum tentu dapat diterima
oleh akal, sebab kemampuan akal (di otak) berada di bawahnya.
Melihat dinamika perubahan kepribadian islami menurut Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir, (2001), dapat digambarkan alur mekanisme dinamikanya sebagai berikut:
Pembahasan
Transformasi Kepribadian Yono Menyan
Dalam psikologi islami, perubahan kepribadian hanya
mengenal arah pergerakan dinamika kepribadian secara vertikal dan bertingkat dari
kepribadian ammârah menjadi lawwaamah
hingga kepribadian muthmainnah. Perubahan
kepribadian tersebut dilatarbelakangi oleh interaksi antar tiga faktor daya penggerak
transformasi kepribadian (nafsiyah); baik kalbu, akal dan nafsu.
Apa yang terjadi pada Yono Menyan bukanlah perubahan karakter
kepribadian (trait), melainkan
perubahan kalbu, akal dan nafsunya. Trait
yang dimiliki narasumber tidaklah mengalami banyak perubahan. Hal ini sesuai
dengan pendapat mainstream utama psikologi modern yang berpijak pada
pendapat, bahwa pada dasarnya trait
(karakter) kepribadian orang dewasa cenderung menetap. Narasumber saat ini
telah berusia 45 tahun. Usia tersebut sudah matang (dewasa) dan karakternya
cenderung bersifat menetap (tidak berubah).
Kasus yang dialami oleh narasumber (Yono Menyan),
sebenarnya bukan kasus deviasi (penyimpangan) perilaku bila menilik dari aspek
transformasi kepribadiannya –dikaitkan dengan teori di atas. Bila diamati
perubahan kepribadian narasumber lebih banyak bersifat menetap dan mengacu pada
kepribadian awal yang menjadi fitrahnya. Hal tersebut dalam analisi penulis
sangat sesuai dengan firman Allah dalam QS Rum/30, ayat 30: ”Maka
hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah
Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan
pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak
mengetahui”. Bila ayat tersebut ditafsirkan dalam hikmah kehidupan yang
dijalani narasumber, keaslian kepribadian maupun perubahan yang terjadi
terlihat natural dan tidak dibuat-buat. Fitrah kepribadian yang berupa trait awal kepribadian yang dimilikinya
yakni pendiam, fairness (jujur-sportif), setia, dan lain sebagainya,
masih sangat mewarnai trait
kehidupannya, baik ketika menjadi preman-anggota gangster maupun trait kepribadiannya sekarang (ketika
menjadi kiai).
Perubahan karakter kepribadian yang dilakukan Yono Menyan
sangat dipengaruhi oleh orientasi hidupnya. Pada awalnya sebagai seorang
remaja, orientasi hidupnya berkutat pada pencarian identitas diri dengan
mencari sosok yang dapat ia jadikan panutan, mereplikasi tokoh panutan tersebut
pada dirinya. Sebagaimana teori social learning Bandura yang menekankan pada observational learning
(proses belajar melalui pengamatan) dalam proses pembelajaran pribadi (Lihat
Bandura dalam Zimbardo, 1977: 429).
Pencarian identitas diri dimulai dari lingkungan
terdekatnya, yakni keluarga. Sayangnya ia tidak mendapati orang tuanya sebagai
tokoh yang dapat dijadikan panutan. Orang tuanya baginya terlalu sibuk dengan
rutinitas pemenuhan kebutuhan ekonomi keluarga yang tak berkesudahan. Siang
malam mereka kerja, tapi keluarga tetap saja miskin, tidak ada peningkatan
taraf ekonomi keluarga. Oleh karena itu ia melakukan pencarian sosok idola dari
luar rumahnya.
Ada dua tokoh yang menjadi idola yang mempengaruhi
pertumbuhan kepribadian pada diri Yono Muda, yakni Jaka Dilaga (tokoh sandiwara
radio) dan Kisromi (preman nomor satu dari wilayah Krobokan). Pemilihan tokoh
Jaka Dilaga sebagai idola menarik perhatiannya, karena dalam diri tokoh fiksi
Jaka Dilaga ini terdapat cerita heroik yang merubah karakter tokoh yang tadinya
sangat eksklusif dan penuh dengan kemewahan karena berasal dari keluarga
ningrat, berubah menjadi sosok yang punya jiwa petualang yang mengembara dari
kota ke kota, mempunyai kepekaan yang tinggi akan nasib grassroots dan kemudian
memperjuangkannya, hanya karena gadis buta yang dihamilinya. Sedangkan tokoh
Kisromi merupakan tokoh nyata, yakni preman pendahulu yang berasal dari
kampungnya. Dalam pandangannya tokoh Kisromi ini sangat disegani oleh semua
orang karena keberaniannya, sifat kesetiakawanannya dan juga kesantunannya.
Karakter yang ada pada diri tokoh Kisromi ini terwarisi dalam karakter
kepribadiannya. Dari fakta di atas terlihat Yono Menyan memadukan kedua
karakter tersebut (Jaka Dilaga dan Kisromi) yang sangat berpengaruh pada
pembentukan jiwa karakter kepribadian Yono Menyan, bahkan hingga sekarang.
Karakter yang ia dapatkan semasa remaja tersebut tumbuh
dan beradaptasi dengan fase-fase kehidupannya yang nyata. Perjalanan hidup membawanya
menjadi gangster atau preman, namun dengan karakter unik yang ia ambil dari
kedua tokoh idolanya tersebut. Jadilah ia preman berkarakter pendiam, santun,
namun sangat berani, ahli strategi, dan punya solidaritas yang tinggi. Meskipun
demikian, profesi sosial preman membuat dirinya larut pada kebiasaan-kebiasaan
buruk, di antaranya: mabuk-mabukan (bahkan sudah kecanduan), klenik atau dunia
perdukunan yang penuh dengan kemusyrikan, kekerasan berupa tindak penganiayaan
(baik dengan gangnya maupun secara personal), pemalakan, berzina dan berjudi.
Dalam psikologi islami, kebiasaan ini sangat memberi
asupan kuat pada sistem nafsunya dan menyingkirkan sistem akal dan hatinya
(kalbu). Jika sistem nafsu lebih dominan dari pada sistem akal dan hati, maka
pribadi atau tingkah laku yang ditampilkan adalah kepribadian ammârah. Kepribadian ammârah ini melingkupi dirinya ketika
menjadi preman seiring dengan perilaku buruknya sebagai preman.
Dengan kepribadian ammârah-nya selama menjadi
preman ternyata membuat dirinya rentan akan masalah: baik kekerasan (terlibat
aksi perkelahian atau penganiayaan), seringnya ia berurusan dengan pihak yang
berwajib (polisi), perekonomian (berupa tidak adanya penghasilan yang tetap dan
halal), hingga penyakit (batu ginjal) yang ia derita dan yang paling utama
adalah tidak adanya pegangan hidup. Masalah-masalah selama menjadi preman
tersebut masih saja tetap ia pelihara, mengingat ego nafsunya masih tinggi. Ia
merasa dirinya mampu menyelesaikan masalah. Jika berkelahi, maka ia mempunyai
kesaktian dengan ritual klenik dan perdukunan yang mampu menaklukkan dan
menakuti lawan. Jika berurusan dengan polisi, ia punya ”backing” dari
oknum TNI yang akan mengeluarkannya dari tawanan kepolisian. Jika kurang uang,
ia bisa ”mengompasi” orang untuk memenuhi kebutuhan ekonominya. Jika penyakit
batu ginjalnya ”kumat”, ia minum minuman keras yang akan meluruhkan batu
ginjalnya. Jika merasa hampa, ia punya teman-teman dan wanita (tuna susila)
yang akan menghiburnya. Pada saat itu, ia merasa sangat enjoy dengan
profesinya. Seakan-akan hidup tanpa agama, bukanlah sesuatu yang penting
baginya --meskipun ketika menghadapi masalah yang ia rasa sangat berat
terkadang ia melakukan ibadah shalat (ajaran agama).
Suatu saat ia merasa bosan dengan kehidupan preman yang
dilakoninya berikut masalah-masalah yang melingkupinya. Hingga akhirnya ia
memutuskan untuk bekerja, menjalankan profesi yang bisa memberinya penghasilan
tetap, dan lepas dari dunia preman dan gangster. Karena perasaan yang cepat
bosan, ia sering beralih profesi maupun pindah pekerjaan. Profesi yang pernah
ia lakoni adalah buruh tas dan sepatu, kernet di perusahaan bus dan menjadi
Satpam (profesi paling lama dan terakhir yang pernah ia tekuni). Lepas dari dunia
preman dan beralih profesi, ternyata tidak serta merta kepribadian ammârah-nya
ini menghilang, meskipun ia berharap sebaliknya. Kebiasaaan lama seperti
mabuk-mabukan, kekerasan karena membela teman, klenik-perdukunan, perzinaan dan
pasang nomer, masih banyak ia jalani di sela-sela menjalankan profesinya
tersebut. dari kebiasaan lamanya tersebut, hanya pemalakan yang sudah mulai
banyak ia tanggalkan. Kebiasaan-kebiasaan tersebut tentu menjadi pupuk yang
sangat menyuburkan pribadi ammârah-nya.
Meski telah beralih profesi kepribadian ammârah-nya
masih tetap terjaga. Karena itu tidak heran bila masalah-masalah masa lalunya
tetap muncul dalam hidupnya. Dan karena belum menemukan solusi baru yang lebih
bagus, maka solusi-solusi lama selama menjadi preman masih banyak ia
kedepankan.
Dengan banyaknya masalah yang menghampirinya dari waktu
ke waktu dan solusi yang ada lebih bersifat ”menyelesaikan masalah dengan
masalah” atau mengalihkan masalah, membuat masalah yang menimpanya semakin
bertumpuk dan menanti untuk meledak. Ledakan masalah tersebut akhirnya terjadi dan
mencapai klimaksnya ketika ia menjadi buron kepolisian untuk ke sekian kalinya.
Masalah tersebut sebenarnya bukan menjadi masalah besar bagi dirinya, ketika ia
masih punya banyak teman (preman) dan ”backing” andalannya. Namun kali
ini masalah tersebut benar-benar menjadi masalah manakala teman maupun ”backing”
yang selama ini ia andalkan, sudah tidak mampu dan mau memberikan bantuan lagi.
Sedangkan anak-istrinya membutuhkan nafkah dan ia dipecat dari pekerjaannya
karena tindak kriminal yang ia lakukannya tersebut (membacok teman seprofesinya
sendiri karena masalah perebutan job sampingan). Akumulasi dari masalah
tersebut membuat ia terpuruk dan tidak menemukan solusi untuk memecahkan
masalahnya.
Dalam pelariannya, ia kembali pada agama dan berusaha
menemukan kesadaran akal dan kalbunya. Untuk itu ia mulai mendirikan ibadah
yang selama ini banyak ia tinggalkan, seperti shalat dan puasa. Kembali pada
agama dengan melakukan ritual agama tersebut, biasa ia lakukan bila ia menemui
masalah dan tidak menemukan solusinya. Namun ketika masalah tersebut teratasi,
ia kembali pada kebiasaan lamanya dan lupa pada agama. Di sela-sela senggangnya
dalam pelarian, ia me-review dan merefleksikan kembali perjalanan hidupnya
selama menjadi preman dan kemudian beralih profesi, hal-hal apa yang
menyebabkan ia selalu terpuruk pada masalah-masalah yang sama meski ia telah
beralih profesi. Tadinya ia berpikir, dengan beralih profesi dan punya
penghasilan maka masalah-masalah hidupnya akan terselesaikan. Tapi ternyata
tidak. Dalam kesadarannya awal yang ia peroleh, ia berfikir bahwa yang selama
ini ia lakukan hanyalah mengalihkan masalah atau malah lari dari masalah. Alih
profesi dan penghasilan tidak akan menyelesaikan masalah. Masalah yang
sebenarnya ada pada dirinya adalah kepribadian yang ia bentuk dari
kebiasaan-kebiasaan buruknya.
Berdasarkan kesadaran awal tersebut ia mulai meninggalkan
kebiasaan-kebiasaan lamanya, memperbanyak bermunajat dan berdoa (terutama istighfâr),
dan bertekad menjadikan dirinya sebagai pribadi yang baru. Meskipun telah
mencapai kesadaran awal, tidak menyebabkan ia tergerak untuk menyerahkan diri
ke kepolisian, mengingat ia telah mengetahui seluk beluk dunia kepolisian
semasa ia aktif menjadi preman, yang akan memperlakukan tersangka seperti
dirinya dengan buruk. Di samping itu ia ingin mencari bekal ilmu agama yang
mendukung kesadarannya untuk melakukan perubahan kepribadian. Bekal ilmu agama
yang ia maksud adalah institusi taubat, yang merupakan ajaran agama yang paling
pas untuk ia jadikan media solusi bagi permasalahannya. Institusi taubat ini ia
fungsikan tidak hanya sebagai media solusi masalahnya, namun lebih dari itu ia
jadikan sebagai sarana transformasi kepribadiannya. Ia berpendapat demikian
mengingat kepribadian dan kebiasaan yang dilakukan selama ini lah yang menjadi
sumber masalah dan bukan hanya sekedar profesi atau penghasilan.
Perjuangan Yono Menyan dalam mentransformasikan
pribadinya melalui institusi taubat, dimulai dari kesadaran awal dirinya di
atas. Dengan kesadaran awal dan himpitan masalah tersebut mengajarinya untuk
selektif dan efektif dalam berdoa dan mengembangkan pola komunikasi dengan
Tuhannya. Doa-doa yang muncul dari kesadaran awalnya dapat dipaparkan sebagai
berikut:
Pertama, ”Ya Allah, ajari aku supaya bisa dekat kepada-Mu dan
ampunilah aku”. Doa ini merupakan titik awal perjalanan taubatnya. Ia merasa
perbuatannya selama ini merupakan perbuatan dosa dan semakin menjauhkan dirinya
dari jalan Tuhan. Pada masa ini ia jadikan sebagai titik balik dalam perjalanan
hidupnya, dengan melepaskan dirinya dari masa lalunya yang kelam, menuju
pribadi baru yang ingin selalu dekat dengan Tuhannya.
Kedua, ketika merasa sendirian dalam masalahnya, ia
membutuhkan tempat dan pembimbing yang dapat mengajari dan menghantarkannya
untuk mendekati Tuhannya. Untuk itu doa yang ia haturkan ”Ya Allah, bawalah aku
ke tempat-tempat dan jalan-jalan yang dapat menghantarkan aku untuk selalu
taubat dan berjalan mendekati-Mu”. Doa ini akhirnya menghantarkannya ke Kyai
Yusak dan Abah Hamid, sosok guru/pembimbing yang menghantarkannya menuju ke
arah hidup baru sebagai pengabdi Tuhan.
Ketiga, berkaitan dengan masalah besar yang menghinggapinya saat
itu -- menjadi buronan polisi, dengan kasus penganiayaan (pembacokan) --, doa
yang ia mohonkan yakni apabila nantinya ia tertangkap, ia meminta agar
dilakukan dalam keadaan telah terampuni dosanya. Langkah doa yang ia lakukan
ini sebagai langkah preventif, agar masalah tersebut tidak berujung pada
keburukan (sûul khâtimah) yang dapat menimpa dirinya dan masalah yang
menghinggapinya dapat terselesaikan dengan baik.
Doa baginya merupakan media berkomunikasi dengan
Tuhannya. Dengan doa, ia menginginkan agar Tuhannya ikut membantunya
memperbaiki jalan hidupnya. Jika dilihat konstruksi doanya sudah memperlihatkan
paradigma keberagamaannya yang akan mewarnai kehidupan agama dirinya kelak dan
juga jamaahnya. Pada awal kesadaran, orientasi keberagamaannya sudah mengalami
perubahan. Tujuan ibadahnya sudah tidak lagi terfokus pada penyelesaian masalah
saja (seperti yang sering ia lakukan pada masa lalunya), melainkan lebih
berorientasi pada Sang Pemberi Masalah (causa prima). Pada saat itu ia
sudah sampai pada kesadaran bahwa jika beragama hanya diorientasikan untuk
menyelesaikan masalah tersebut, maka akan timbul dua kemungkinan: pertama,
jika dikabulkan maka seorang hamba akan lalai, dan kedua, bila tidak
dikabulkan hamba tersebut akan bosan berdoa. Untuk itu paradigma keberagamaanya
ia perluas, ia lebih berorientasi pada sustainable relationship dengan
Tuhannya, yakni Tuhan itu sendiri.
Ketika satu persatu doa tersebut dikabulkan, maka yang
muncul dari dalam dirinya adalah rasa syukur dan bertambahnya keimanan. Rasa
syukur ia ungkapkan dengan peningkatan-peningkatan kualitas diri dan ibadahnya.
Sedangkan bertambahnya keimanan memperkuat keyakinannya bahwa Tuhan adalah Maha
Pengabul Doa, dan tidak ada sesuatupun yang layak dimintai pertolongan kecuali
hanya kepada-Nya. Dengan cara tersebut, membuat dirinya semakin tergantung pada
Tuhannya, bukan yang lain.
Perubahan destinasi/orientasi arah hidup yang teosentris
ini diperkuat lagi ketika ia berguru pada Kiai Yusak dan Abah Hamid. Paradigma
hidupnya tidak lagi terbatas pada hal-hal duniawi melulu. Jika sebelumnya
ketika menjadi preman, ia beranggapan bahwa kematian adalah akhir dari
kehidupan. Sedangkan agama hanya dipandang sebagai salah satu piranti untuk
mewujudkan kepentingan dan hawa nafsu manusia. Dalam praktik keberagamaan
sebelumnya ia banyak berpuasa bukan untuk ibadah, melainkan sebagai sarana
klenik, mendapatkan ilmu jadug ataupun hajat hidup lainnya. Ia melaksanakan
shalat hanya bila terkena masalah saja, bila masalah sudah berlalu ia akan
kembali seperti semula. Namun setelah mengenal agama dari kedua gurunya di
atas, ia baru sadar bahwa setelah kematian ada akhirat sebagai ending
kehidupan, di mana masing-masing individu akan dimintai pertanggungan jawab
atas amalnya di dunia atau di mana manusia akan memperoleh ganjaran atas semua
amal perbuatannya.
Setelah ada perubahan orientasi arah hidup, ia mulai
membenahi kepribadiannya, terutama berkaitan erat dengan kebiasaan-kebiasaan
buruknya masa lalunya, berkubang dalam dunia preman dan kejahatan yang
bertentangan dengan nilai-norma agama. Ia mulai meninggalkan kebiasaan
mabuk-mabukan (meskipun ketagihan), kebiasaan
berzina, pasang nomer, maupun tindak kekerasan juga ia tinggalkan.
Berjuang meninggalkan kebiasaan buruk tersebut ia rasakan sangat berat,
mengingat komunitas teman-temannya masih melingkupinya dan mempengaruhinya
untuk kembali pada kebiasaan lama (faktor eksternal). Belum lagi dorongan nafsu
dari dalam dirinya (faktor instrinsik) untuk menenggak minuman keras, berzina
dan memaksa orang lain, masih sangat kuat.
Langkah awal perjuangan tersebut ia lakukan dengan
menjauhi komunitasnya. Baginya cara ampuh untuk meninggalkan kebiasaan lama
adalah dengan menggantinya dengan kebiasaan baru dan meninggalkan hal-hal yang
mempengaruhi untuk kembali pada kebiasaan lama. Ia tidak mau lagi kongkow-kongkow
bersama teman-temannya, selama keimanannya belum cukup kuat menahannya. Hal ini
dilakukan agar terhindar pada kebiasaan lama. Sebagai gantinya ia lebih banyak
menyendiri, ber-tafakkur, berdzikir, beribadah dan bekerja. Jika
biasanya semalaman bergadang bersama komunitasnya untuk melakukan pesta minuman
keras, ia ganti dengan semalaman duduk di atas sajadah dengan ber-mujâhadah, memohon ampun (istighfâr)
atas kebiasaan-kebiasaan buruknya. Ia percaya bahwa dengan memohon ampun dan
berbuat kebajikan (amal sholeh) sebagaimana tersurat pada al-Qur'an Surat
Muhammad/47, ayat 2, ” Dan orang-orang yang beriman (kepada Allah) dan
mengerjakan amal-amal yang saleh serta beriman (pula) kepada apa yang
diturunkan kepada Muhammad dan itulah yang hak dari Tuhan mereka, Allah menghapuskan
kesalahan-kesalahan mereka dan memperbaiki keadaan mereka”. Demikian juga
dalam Surat Al-Nahl/16, ayat 119 dan Surat At-Tahrim/66m ayat 8:
”Kemudian, sesungguhnya Tuhanmu (mengampuni)
bagi orang-orang yang mengerjakan kesalahan karena kebodohannya, kemudian
mereka bertaubat sesudah itu dan memperbaiki (dirinya); sesungguhnya Tuhanmu
sesudah itu benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
”Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah
kepada Allah dengan taubat yang semurni-murninya, mudah-mudahan Tuhan kamu akan
menghapus kesalahan-kesalahanmu dan memasukkan kamu ke dalam surga yang
mengalir di bawahnya sungai-sungai, ...”
Dari firman Allah di atas, ia meyakini bahwa Allah akan
memperbaiki kehidupannya dengan mengganti kebiasaan buruknya dan bahkan
memperbaiki kehidupan lingkungannya. Hal ini ia buktikan (diujicobakan) setelah
merasakan pemantapan keimanan, istighfâr dan ritualnya tersebut dengan
memenuhi undangan komunitasnya yang sedang mabuk-mabukan. Ketika ia menghampiri
mereka, ternyata botol-botol minuman keras malah disembunyikan dan dialog dalam
komunitas tersebut berubah menjadi obrolan yang bernuansa agama, meski mulut
mereka masih tercium aroma alkohol.
Seiring dengan perubahan orientasi arah hidup dan
kebiasaan, komunitas yang melingkupinya ternyata juga mengalami perubahan. Jika
biasanya ia berkumpul dengan komunitas preman, komunitasnya berganti menjadi
pengajian majlis ta’lim, kemudian ia mulai didatangi tamu-tamu yang akan
membentuk komunitas jamaah pengajiannya sendiri.
Dari sini terlihat adanya transformasi kepribadian pada
diri Yono Menyan, dari kepribadian ammârah
menjadi dan menuju ke arah kepribadian muthmainnah.
Dari uraian di atas mungkin belum tampak jelas dalam hal apakah transformasi
yang dilakukan adalah lompatan dari kepribadian ammârah langsung menuju kepribadian muthmainnah, dengan men-skipp kepribadian lawwâmah (kebimbangan). Dalam
ketidakjelasan tersebut memunculkan dua pertanyaan: pertama, dimanakah
letak kepribadian lawwâmah pada
tahapan transformasi kepribadian Yono Menyan, dan kedua, apakah taubat
yang dilakukannya terjadi ketika ia memasuki kepribadian lawwâmah atau muthmainnah?
Dalam menjawab kedua pertanyaan di atas, kepribadian lawwâmah (kebimbangan) diperoleh ketika
sistem akal lebih dominan dari pada kedua sistem lainnya (nafsu dan kalbu).
Pada kasus Yono Menyan kepribadian lawwâmah
ini ia peroleh ketika sistem akalnya menjadi dominan. Ia berusaha me-review perjalanan hidupnya yang penuh
masalah. Namun jika hanya dengan penggunaan rasio (akal) saja, kesadaran
keberagamaannya tidak akan tercapai. Hal ini terbukti ketika masih menggunakan
akal, ia sanggup mengatasi permasalahan-permasalahan yang melandanya, meskipun
akhirnya mengalami jalan buntu juga. Penggunaan akal tersebut dilakukan dalam
rangka memenuhi ego kebenaran pribadi (nafsu) atau bisa dikatakan nafsulah yang
men-drive penggunaan akal. Bila hal ini dilakukannya ia akan terjebak
untuk tetap pada kepribadian ammârah.
Berdasarkan hal-hal di atas, bisa dikatakan bahwa
penggunaan akal pada diri Yono Menyan bukanlah sistem yang berdiri sendiri.
Sistem akalnya sangat dependant terhadap sistem nafsu atau sistem kalbu.
Akal hanya mengikuti salah satu dari kedua sistem tersebut, apakah hanya
terhadap sistem nafsu atau kepada sistem kalbu. Ketika sistem akal yang
dikendalikan sistem nafsunya ini mengalami jalan buntu atas
permasalahan-permasalahan yang menghimpitnya, di situ lah sistem kalbunya mulai
bekerja. Bekerjanya sistem kalbunya ini dipicu oleh fitrah intrinsik dari dalam
dirinya yang menginginkan kebenaran dan menggerakkan dirinya menuju Tuhannya.
Pada fase ini akalnya tidak dapat bekerja secara mandiri. Segenap realitas yang
ada di depannya, sudah tidak mampu lagi diolah dengan akalnya. Pada saat itu
yang ada hanya kepasrahan. Bentuk kepasrahan yang ia lalui dalam kesadaran
awalnya adalah kepasrahan kepada Tuhan dan menggiringnya untuk melakukan
pertaubatan.
Dengan kepasrahan ini ia melakukan perubahan radikal
dalam dirinya untuk sepenuhnya menuju Tuhannya, dengan menyingkir masalah
berikut penyelesaiannya. Hal ini terlihat dari doa awal ketika ia menjalani
fase pertaubatan. Dalam proses istighfâr atas masa lalunya, ia memohon
kepada Tuhannya untuk supaya bisa dekat kepada Tuhannya Permohonan berikutnya
lebih bersifat meminta sarana dan perbekalan untuk bisa dekat kepada Tuhannya (meminta
pembimbing salah satunya). Baru yang terakhir barulah doa berkaitan dengan
penyelesaian masalah yang menimpanya. (lebih lanjut mengenai detail langkah
taubat yang dilakukan Yono Menyan dapat dilihat pada bagian di atas dari
ringkasan penelitian ini).
Kebimbangan yang mengiringi perjalanan transformasi
kepribadian tidak terjadi dalam kehidupannya. Mengingat masalah kehidupan telah
mendesak dan menyudutkannya hingga tidak mampu lagi bergerak dan akhirnya
bersikap pasrah, menyerah pada Tuhannya. Oleh karena itu transformasi
kepribadian yang dilakukan Yono Menyan dalam kaca mata psikologi Islami, ia
telah mentransformasikan kepribadiannya dari kepribadian ammârah langsung menghijrahkan dirinya pada kepribadian muthmainnah, memenuhi panggilan hatinya
menujut Tuhannya. Di sini kelihatan bahwa transformasi kepribadiannya tidak
melewati kepribadian lawwâmah. Selanjutnya dapat digambarkan sebagai
berikut:
Untuk membentuk pribadi yang baru yang berorientasi
teosentris tersebut, ia senantiasa mengasah potensi kalbunya dengan ritual
dzikir, puasa, agar mujâhadah dalam
dzikir-doa agar mampu memahami kandungan-kandungan ayat dalam firman Tuhan
(al-Qur'an). Pemahamannya akan ayat Tuhan tidak terbatas pada ayat-ayat qauliyah
saja (teks mushaf al-Qur'an), melainkan ayat-ayat Tuhan yang secara dinamis
berada dalam perjalanan hidup manusia (kauniyah). Ayat kauniyah
tersebut dapat dipahami berdasarkan hikmah atau pelajaran hidup. Baginya, ia
meyakini bahwa ayat Tuhan tidaklah statis yang dibatasi ruang gerak oleh bunyi
teks-teks nash saja, melainkan dinamis dan universal. Ayat Tuhan baginya
akan selalu abadi, berkembang melintasi batas ruang dan waktu, cocok diaplikasikan
oleh siapa saja, dimana saja dan kapan saja. Bahkan ayat Tuhan terdapat pada
diri manusia secara individual.
Dalam memahami ayat Tuhan tersebut, Yono Menyan berusaha
memadukannya. Metodenya dalam mempelajari ayat Tuhan, seperti yang diajarkan
oleh para gurunya adalah terlebih dahulu memohon hidayah (petunjuk pada
Tuhannya), mengenai hal apa yang ingin ia pelajari dari ayat al-Qur'an dan
selalu dikaitkan dengan peristiwa atau keinginan dalam kehidupan yang sedang ia
jalani. Metode ini seperti berusaha mengadopsi mekanisme turunnya wahyu pada
diri Nabi Besar Muhammad Saw, hanya saja dikaitkan dengan konteks kehidupan
yang sedang dijalaninya. Dengan metode yang berusaha memadukan antara
pendekatan deduktif dan induktif secara simultan, diharapkan pemahaman mengenai
wahyu Tuhan akan dapat tertanam kuat di hatinya. Pemahaman deduktif yang
dimaksud adalah pemahaman makna dan kandungan al-Qur'an, berikut ilham yang ia
dapatkan dari pemahamannya tersebut. sedangkan pemahaman induktif ia peroleh
dari hikmah-hikmah (pelajaran) yang ia peroleh dari pengalaman masa lalunya
sendiri maupun pengalaman orang lain. Namun bila melihat pengalaman
kehidupannya, turunnya (tertanamnya) ayat al-Qur'an dalam hatinya selalu lebih
dahulu didahului peristiwa, kejadian atau masalah yang sulit ia pecahkan.
Ketika ia menyerah dan bertawakkal pada Tuhannya, yang ia yakini sebagai Dzat
Pemberi Masalah, maka pemahaman akan ayat Tuhan mulai menemukan titik terang
dan baru bisa dijadikan solusi masalah ataupun pengetahuan yang tertanam dalam
hatinya. Melalui peristiwa hidup yang senantiasa berulang-ulang dalam
kehidupannya ini ia menyimpulkan bahwa ayat Tuhan, hanya bisa diserap secara
total (holistik) dengan hati. Dan pelajaran yang mampu diserap hati adalah
pelajaran yang diperoleh dengan hikmah (pelajaran pengalaman hidup).
Selanjutnya dapat digambarkan sebagai berikut:
Faktor-faktor yang mempengaruhi Transformasi Kepribadian
Interaksi antara sistem kalbu, akal dan nafsu dalam
perubahan karakter kepribadian tersebut di atas dipengaruhi oleh faktor-faktor,
baik internal maupun eksternal. Faktor-faktor internal di antaranya: tujuan
atau orientasi hidup, umur, motivasi, keinginan, kesadaran, nafsu, baik
biologis maupun psikologis... sedangkan faktor eksternal yakni lingkungan,
pengetahuan, teknologi. Namun dalam penelitian ini faktor-faktor di atas tidak
diulas lebih detail, mengingat penelitian ini lebih difokuskan pada aspek psikologi
dan terapi islami.
Dalam diri Yono Menyan faktor-faktor yang berpengaruh
dalam dirinya mengalami perubahan seiring transformasi kepribadian yang
dialaminya. Ketika ia mentransformasikan menjadi preman-gangster, faktor
intrinternal yang paling mempengaruhinya adalah kurangnya pengetahuan agama dan
minimnya perilaku religius dalam kehidupannya. Faktor dari dalam yang mendukung
adalah keinginan untuk menemukan dan mengembangkan identitas diri dan basis
moral kehidupannya. Hal tersebut ditambah dengan lingkungan rumah dan sekolah
yang akrab dengan kemiskinan, tindak kekerasan dan premanisme (faktor
eksternal). Akumulasi dari faktor-faktor di atas membentuk dirinya menjadi
pribadi yang berakhlak madzmumah (buruk).
Sedangkan pada fase perubahan berikutnya, ketika ia
bertaubat, faktor yang melatarbelakanginya antara lain: terbentur dengan
masalah yang unsolved (kebuntuan dalam menyelesaikan masalah), hasil
refleksi atas masa lalu dirinya bahwa masalah-masalah tersebut muncul karena
kesalahan masa lalunya (kesadaran awal), dan kemudian ia menemukan realitas
Tuhan dan Agama dalam dirinya (fitrah ketuhanan) yang kemudian ia jadikan
sebagai arah tujuan hidupnya dan transformasi kepribadiannya. Faktor keluarga
juga menjadi pemicu dirinya untuk menyelamatkan mereka dari pengaruh-pengaruh
buruk masa lalunya. Ia berorientasi ke depan agar dapat mengentaskan diri dan
keluarganya dari masalah dan hidup mulia dalam pandangan Tuhannya.
Mekanisme Taubat yang Dilakukan (Psikoterapi Islami)
Perubahan kepribadian yang ia lakukan dilaluinya melalui
proses yang lumayan panjang. Salah satu media perubahan yang paling mendasar
adalah taubat dan taubat yang ia lakukan selalu ia iringi dengan amal
kebajikan. Baginya taubat adalah proses permohonan ampunan kepada Tuhannya atas
dosa-dosa masa lalu yang harus diikuti dengan perubahan dengan perbaikan dalam
kehidupan.
Ia merasa tidak memiliki format khusus yang ia jalani
dalam pertaubatannya. Ia hanya menjalani saja firman Tuhannya yang ia rasa
cocok dengan perjalanan hidupnya. Pelajaran mengenai taubat ia dapatkan dari
kedua gurunya yang mengajarkan isi kandungan al-Qur'an dan kedua gurunya pun
selalu menganjurkan kepada seluruh jamaahnya untuk mengesplorasi sendiri
kandungan al-Qur'an dalam perjalanan hidupnya masing-masing. Isi kandungan ayat
al-Qur'an tersebut ia rasakan pas dengan kondisi kehidupannya. Ayat tersebut ia
pahami, didalami isi kandungannya dan ia aplikasikan dalam kehidupannya.
Sebagai langkah taubatnya ia memperbanyak istighfâr (memohon ampun) baik
untuk dirinya, keluarganya dan lingkungannya. Istighfâr ia lakukan terus baik di sela-sela ibadah mujâhadah, maupun waktu senggangnya.
Untuk menunjang perubahan (perbaikan) hidupnya, ritual istighfâr ini
selalu ia iringi dengan berbuat kebajikan (amal sholeh).
Menurut pengakuannya, dalam menjalankan ritual taubatnya,
Yono Menyan tidak pernah mendapatkan terapi khusus dari guru-gurunya,
sebagaimana seorang pasien berkonsultasi kepada dokter. Dalam menjalankan
praktik taubatnya bersama jamaah pengajian guru-gurunya (pimpinan Kiai Yusak
dan Abah Hamid), ia tidak pernah sekalipun bertanya ataupun konsultasi. Ia
hanya mengikuti saja praktik mujâhadah
yang dilakukan guru-gurunya beserta jamahnya, kemudian berusaha menganalisis
sendiri dan mencerna seluruh materi ajaran yang diberikannya. Dalam melakukan
analisis tersebut --seperti yang diajarkan oleh guru-gurunya-- ia selalu berdoa
terlebih dahulu agar memperoleh bimbingan dari Allah akan isi kandungan ayat
al-Qur'an. Para gurunya tersebut selalu berpesan dalam melakukan pekerjaan
apapun dianjurkan untuk selalu melibatkan Allah. Guru hanya berfungsi sebagai
juru bicara Tuhan, yang mengajarkan isi kandungan al-Qur'an berdasarkan hikmah
yang ia dapatkan dan memberikan hantaran bimbingan menuju Tuhannya.
Berdasarkan hal tersebut terlihat bahwa upaya terapi
taubatnya ia lakukan secara mandiri dengan melibatkan Tuhannya. Peran guru
dalam proses taubat yang dilakukannya sangat kecil. Berhasil atau tidaknya
proses taubat yang dilakukannya lebih banyak tergantung dua faktor: kesungguhan
dirinya untuk kembali ke jalan Tuhannya dan keridloan Tuhannya, dan apakah Tuhannya
memberi ampunan dan memperbaiki kehidupannya atau tidak. Psikoterapi secara
mandiri tersebut lebih banyak ia lakukan dalam rangkaian kegiatan mujâhadah, dzikir, doa, istighfâr secara mandiri dan semuanya
itu ia refleksikan melalui berbagai kegiatan maupun peristiwa yang terjadi
dalam hidupnya, hingga menghasilkan hikmah/pelajaran.
Baginya taubat adalah ritual hidup. Pada dasarnya setiap
manusia punya salah dan dosa. Dan kewajiban manusia adalah kembali dan
mengembalikan sesuatunya kepada Tuhannya. Stereotype ”al-insân mahâl
al-khatâ’ wa al-nis-yân” ia kedepankan dalam pola hidup keberagamaannya,
supaya ia bisa bertaubat dan ber-istighfâr
kepada Tuhannya setiap waktu. Cara tersebut ia lakukan agar terus bisa
berkomunikasi lebih intim dengan Tuhannya.
Agar bisa ber-istighfâr
ia selalu memperhatikan perilaku dirinya, anak-istrinya, lingkungannya termasuk
jamaahnya. Ia menjadikan mereka sebagai kaca benggala (cermin
introspeksi) bagi dirinya. Ketika istrinya selalu menuntut materi duniawi, ia ber-istighfâr bahwa hal tersebut pernah
menjadi orientasi masa lalunya. Ketika ia pernah memergoki anak sulungnya
menghajar teman yang mengeroyoknya, ia ber-istighfâr
akan masa lalunya dan meminta Tuhannya agar tidak mewariskan perilaku masa
lalunya kepada anaknya. Ketika ia disapa oleh mantan teman-teman premannya yang
berkumpul mengadakan pesta minuman keras, ia pun ber-istighfâr akan kebiasaan masa lalunya tersebut.
Simpulan
Bila kita tilik transformasi atribut sosial pada diri
Yono Menyan, dari seorang preman menjadi kiai, dari seorang bajingan preman
yang lekat dengan kejahatan menjadi orang alim yang mendedikasikan dirinya
untuk Tuhannya dan sesama, terlihat jelas bahwa dibalik perubahan atribut
sosial terdapat perubahan kepribadian. Yono Menyan membuktikannya, meskipun
transformasi sosial tersebut berjalan mengalir (tanpa perencanaan) ataupun
cita-cita. Transformasi kepribadian sebagai konsekuensi dari taubat dilakukannya
ketika ia menghadapi unsolved problem dan menggiringnya untuk berjalan
(hijrah) menuju Tuhannya (taubat). Pengalaman hidupnya tersebut menghasilkan
hikmah (pelajaran hidup) yang dirasa bermanfaat bagi orang-orang sekitarnya.
Hikmah yang dikombinasikan dengan pemahaman ayat Quran-Hadist, menjadi daya
tarik yang cukup kuat bagi orang-orang yang mempunyai masa lalu dan ingin
berubah seperti dirinya. Kumpulan dari mereka kemudian membentuk jamaah
pengajian yang dipimpin olehnya.
Dalam psikologi agama, bisa dikatakan perubahan
kepribadian adalah perubahan kepribadian secara bertingkat: dari pribadi ammârah
(yang sarat dengan kejahatan dan dilingkupi nafsu hayawaniyah) meningkat
menjadi pribadi lawwâmah (yang
kepribadiannya didominasi sistem akal), dan kemudian meningkat lagi menjadi
pribadi muthmainnah yang sangat
teosentris dan menonjol sistem kalbunya dari pada akal dan nafsunya. Namun jika
dilihat dari perjalanan hidupnya, transformasi kepribadian Yono Menyan
mengalami leaping atau skipping (meloncat) dari pribadi ammârah langsung meloncat ke pribadi muthmainnah.
Loncatan transformasi kepribadian ini mengingat akumulasi
dari unsolved problems yang dihadapinya memaksa dirinya untuk melakukan
tranformasi kepribadian secara radikal. Hal tersebut dilakukan mengingat akalnya
tidak mampu lagi berfungsi dalam menyelesaikan masalahnya dan ia berpaling
kepada Tuhannya. Hal itu pula lah yang menjadi pendorong transformasi
kepribadiannya. Di samping itu, faktor keluarga menjadi faktor pelecut
semangatnya untuk segera melakukan perubahan. Ia tidak ingin anak-anaknya
mewarisi perilaku masa lalunya dan meraih masa depan yang lebih baik dari
dirinya.
Dalam pertaubatan (kembali kepada Tuhannya) tersebut,
memunculkan kesadaran dan fitrah ketuhanannya. Kesadaran dan fitrah dalam
dirinya ia temukan melalui ritual-ritual taubat seperti dzikir dan doa (terutama
istighfâr). Untuk itu mekanisme taubat (psikoterapi Islami) yang
dilakukan yakni: Pertama, mengorientasikan Tuhan dalam kehidupan
keberagamaannya. Langkah pertama ini ia lakukan agar tidak terjebak pada
tindakan syirik sebagaimana masa lalunya, disamping ingin mengembangkan
hubungan yang lebih intim kepada Tuhannya. Kedua, melakukan ritual-ritual
pembersihan hati dengan memperbanyak amal ibadah, dzikir, doa (terutama istighfâr), banyak mengkaji isi
kandungan ayat al-Qur'an dan hadist, serta memperbanyak berbuat kebajikan (amal
sholeh). Dengan mekanisme ritual ini ia meyakini akan terampuni dosanya dan
diperbaiki kehidupannya oleh Tuhannya.
Langkah-langkah ini berbuah nyata dalam kehidupannya,
yang menambah keimanannya akan kebenaran firman Tuhannya. Sehingga menjadi daya
tarik yang kuat bagi orang-orang yang ingin mengikuti jejaknya, terutama jamaah
(pengikutnya). Kedua hal inilah (al-Qur'an-Hadist dan hikmah) yang menjadi
dasar pedoman dan kekuatan transformasi kepribadian yang dilakukannya.
Daftar Pustaka
al Syaibani, Muhammad al Toumy. 1979. Filsafat
Pendidikan Islam (terjemah : Hasan Langgulung). Jakarta: Bulan
Bintang..
Arifin, H.M. 2004. Psikologi Dakwah
Suatu Pengantar Studi. Jakarta: Bumi Akasara.
Baharudin. 2004. Paradigma
Psikologi Islam.Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Bastaman, Hanna Djumhana. 1995. Integrasi Psikologi dengan
Islam : Menuju Psikologi Islami. Yogyakarta: Pustaka Pelajar..
Crapps, Robert W. 1993. Dialog Psikologi
dan Agama: Sejak William James hingga Gordon W. Allport. Yogyakarta:
Penerbit Kanisius.
Danim, Sudarwan, 2002. Menjadi
Peneliti Kualitatif. Bandung: Pustaka Setia.
Daradjat. Zakiah. 2005. Ilmu Jiwa
Agama. Jakarta: P.T. Bulan Bintang.
Fuad. IZ..
dkk. Volume 7 Nomor 1 Tahun 2010. Persepsi dan Ketaatan Umat Islam Terhadap Kyai/Ulama. dalam Jurnal Penelitian STAIN Pekalongan.
Hawari, Dadang. 2002. Dimensi Religi dalam Praktek Psikiatri dan
Psikologi. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI.
http://psychologyupdate.blogspot.com /2008/04/
psikologi- islami- dan- psikoterapi-islam.html
KBBI. 2008. Jakarta:
Pusat Bahasa. Edisi Keempat.
Mar’at. 1982. Sikap Manusia : Perubahan serta Pengukurannya. Jakarta: Balai Aksara-Yudhistira dan
Sa’adiyah..
Mubarok, Achmad. “Jiwa
Manusia: Perspektif Psikologi Islam dan Psikologi Modern”. disampaikan
dalam diskusi serial Psikologi Islam di IIIT Indonesia pada 11 April 2002.
Mujib, Abdul. “Fitrah: Antara Potensi dan Implikasi
Psikologis”. makalah yang disampaikan dalam diskusi serial Psikologi
Islam di IIIT-I, 7 Mei 2002.
Mujib, Abdul. 2002.. Nuansa-Nuansa
Psikologi Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada
Nashori, Fuad. 2002. Mimpi Nubuwat: Menetaskan
Mimpi yang Benar. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Nasution, S.. 1996. Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif. Bandung: Tarsito.
Poerwandari.
E.K.. 2001. Penelitian Kualitatif: Analisis dan Interpretasi. Jakarta : Pelatihan Metode Penelitian
Kualitatif Tingkat Lanjut. Pusat
Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya.
LPUI..
Rakhmat, Jalaluddin. 2004.
Psikologi Agama: Sebuah Pengantar. Bandung: Mizan.
Thoyibi. M. dan Ngemron, M. (ed.). 1996. Psikologi Islam. Surakarta: UMS Press.
Wuryo, Kasmiran. 1982. Pengantar Ilmu Jiwa Sosial.
Jakarta: Erlangga.
Yasien, Muhammad. Fitrah:
Inborn Natural Predisposition, http://www.angelfire.com/al/islamic_psychology
Zimbardo,
Philip G.. 1979. Essentials of Psychology
and Life. London: Foresman
& Company..
Zimbardo.
Philip G.. 1977. Psychology and
Life. Illinois: Scott.
Foresman and Company..
Hallo, Selamat Siang. Saya Dian, dari salah satu stasiun televisi swasta. Saya tertarik dengan kisah Bapak Yono Menyan ini. Adakah contact person dari beliau yang dapat dihubungi? Terimakasih..
BalasHapus