Jumat, 06 Januari 2012

Taubat Kiai Mantan Preman



Ringkasan Hasil Penelitian

taubat Kiai mantan preman:
Studi Kasus Transformasi Kepribadian Yono Menyan dari Semarang dalam Perspektif Psikologi Islami
Abstract: Dalam transformasi atribut sosial dari preman menjadi kiai, terkandung di dalamnya transformasi kepribadian. Dengan kata lain, orang tidak bisa merubah atribut sosialnya, apabila pelaku tidak melakukan perubahan kepribadian yang selaras.
Penelitian kualitatif ini merupakan field research dengan pendekatan studi kasus (case study) yang menekankan data primer (wawancara) sebagai bahan kajiannya dan menggunakan sudut pandang psikologi islami sebagai pisau analisisnya untuk mengolah autobiografinya.
Transformasi kepribadian yang dilakukan Yono Menyan dalam kaca mata Psikologi Islami tidak berjalan secara gradual, melainkan radikal. Perubahan yang ia jalani adalah ”loncatan transformasi”. Psikologi Islami hanya mengenal tiga tipologi kepribadian, yakni kepribadian ammârah, lawwâmah dan muthmainnah, yang umumnya dilalui secara gradual. Dalam transformasi kepribadiannya, ia secara radikal merubah kepribadian ammârah-nya menjadi kepribadian muthmainnah. Hal tersebut dikarenakan desakan unsolved problems yang menghimpit hidupnya, sehingga fungsi akalnya tidak mampu lagi menyelesaikan masalah. Keadaan tersebut secara radikal menggiringnya untuk menemukan kesadaran kalbunya untuk kembali (taubat) dan terus berlari menuju Tuhannya. Melalui institusi taubat inilah, transformasi kepribadian Yono Menyan berlangsung.
Langkah taubat (psikoterapi) yang dilakukan, yakni dengan mujâhadah yang menekankan pada penguatan iman tauhid, proses istighfâr dan ditindaklanjuti dengan laku kebajikan (amal sholeh), terutama shadaqah. Ia percaya mekanisme transformasi tersebut dapat bekerja dengan baik (berhasil). Kepercayaannya tersebut didasari pada dua pendekatan, yakni: pertama, percaya bahwa mekanisme taubat sebagaimana tersurat dalam al-Qur'an tersebut, sebagai kebenaran dari Tuhannya; dan kedua, ia sendiri membuktikan bagaimana hidupnya telah mengalami banyak perubahan positif dengan mengamalkan ritual dalam al-Qur'an tersebut. Perbaikan tersebut terjadi baik dalam transformasi kepribadiannya dan membawa kesejahteraan dalam hidupnya. Pendekatan seperti ini dikenal sebagai pendekatan hikmah, yang menjadi daya tarik bagi orang-orang di sekitarnya dan mempunyai masa lalu sama untuk mengikuti jejaknya. Praktik Psikoterapi taubat tersebut lebih banyak ia lakukan secara personal. Bimbingan guru hanya menjadi penghantar bagi dirinya untuk mengeksplorasi lembaga taubat tersebut secara mandiri (self-therapy).

Keywords: taubat, transformasi kepribadian, preman, kiai, dan Psikologi Islami.


Pendahuluan
Transformasi atribut sosial dari preman menjadi kiai diasumsikan sebagai perubahan yang sulit, dikarenakan perubahan tersebut bukan sekedar perubahan atribut sosial, melainkan menyangkut perubahan kepribadian. Kesulitan peralihan kepribadian dan atribut sosial tersebut terlihat pada 2 (dua) hal. Pertama, anggapan klasik yang menganggap kepribadian cenderung bersifat menetap atau stabil. Kedua, tampak pada penelitian yang dilakukan oleh Iwan Fuad dkk (2010), yang mengungkapkan masih kuatnya resistensi penerimaan masyarakat terhadap ulama’ yang mempunyai track record masa lalu yang kelam (pemabuk, pezina, perampok, penganiaya, dsb). Namun resistensi tersebut terdapat pengecualian, yakni dengan syarat pelaku telah bertaubat. Lembaga taubat inilah yang menurut hipotesa peneliti dapat menjadi pintu masuk terjadinya transformasi kepribadian dan atribut sosial.
Pembentukan karakter dirinya menjadi preman mulai terbentuk sejak masa remaja, ketika ia melawan dan menghajar tiga orang kakak kelasnya yang melakukan pemalakan dan pengeroyokan atas dirinya. “Kebolehannya” tersebut menghantarkan dirinya ke dalam berbagai kasus kekerasan lain dalam dunia preman, bahkan berulang kali ia berada dalam tahanan kepolisian. Sebagaimana preman lainnya, Yono Menyan juga terlibat aksi kenakalan remaja, seperti: ”nge-gang”, perkelahian, pesta minuman keras, pemalakan, perjudian dan sex luar nikah.
Pada tahun 1987 ia bersama teman-temannya mendirikan ”Gang Manfrus”, oleh karena itu pula ia mempunyai julukan lain sebagai ”Yono Manfrus”. Meskipun demikian dalam menjalankan aksi premannya, Yono Menyan sering ’beroperasi’ seorang diri dan malang melintang bersama gang-gang lain di Semarang. Aksi solitaire yang dilakukannya tersebut tentu saja membutuhkan nyali yang tinggi, sehingga sangat disegani oleh kawan maupun lawan. Belum lagi dengan luasnya pertemanan dengan berbagai gang yang seringkali meminta bantuannya, menambah namanya banyak dikenal dalam dunia perpremanan di Semarang. Sebagai preman yang senantiasa berhadapan dengan kekerasan, ia melambari dirinya dengan kemampuan magis ’jadugan’ seperti kekebalan, dan pukulan menjatuhkan lawan, dan lain sebagainya.
Perjalanannya sebagai preman mengalami titik balik ketika ia menjadi buronan pihak kepolisian karena membacok teman sejawatnya. Dari menjadi buronan ini masalah berkembang dengan di-PHK-nya dirinya, sehingga kesulitan untuk memberi nafkah anak istrinya. Ketika sedang dirundung masalah dan tidak menemukan penyelesaiannya, ia berpaling kepada Tuhannya. Dari sanalah proses transformasi kepribadian dirinya dimulai hingga membentuk dirinya yang sekarang, yakni menjadi kiai yang menjadi anutan bagi pengikutnya.
Di banding Jhony Indo, Anton Medan, ataupun Jefri Al-Bukhori, sosok Yono Menyan dipandang kurang ’beken’ dari ketiga nama di atas yang juga sama-sama telah melakukan transformasi atribut sosial sekaligus kepribadian dari preman atau pecandu yang mempunyai masa lalu kelam berubah menjadi kiai. Namun pilihan untuk memilih sosok Yono Menyan sebagai subjek penelitian ini didasari keunikan sebagai berikut: (a) taubat yang dilakukannya melalui dimensi spiritual tasawuf; (b) latar belakang diri dan keluarganya berasal dari kalangan ”Islam Abangan”; (c) karakter premannya, dikenal akan keberanian, kesantunan dan rasa solidaritas yang tinggi dengan temannya; dan (d) ketika menjadi kiai ia sangat memperhatikan kesejahteraan jamaahnya meski kondisi diri dan keluarganya sendiri masih kekurangan.
Penelitian ini berusaha menguak peran institusi taubat dalam Islam berikut perjalanan taubat yang dialami oleh sosok Yono Menyan, yang menghantarkan dirinya dalam perubahan atribut sosial dan kepribadian. Elaborasi atas institusi taubat tersebut sangat penting, mengingat institusi taubat merupakan pintu masuk terjadinya transformasi kepribadian.
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka peneliti ingin mengangkat rumusan masalah sebagai berikut: Pertama, Siapa dan bagaimanakah sosok Yono Menyan? Kedua, perubahan kepribadian seperti apa yang dilakukan subjek penelitian? transformasi kepribadiannya ini akan dilihat dari sudut pandang Psikologi Islami. Selanjutnya ketiga, bagaimana mekanisme taubat (Psikoterapi Islami) yang dijalankannya?

Realitas Subjek Penlitian (Yono Menyan: A-Z)
Seperti yang digambarkan Esbensen, Juzinga, dan Weiher (1993), yang menyimpulkan bahwa latar belakang keluarga dan lingkungan yang telah termarginalkan menjadi faktor penting yang menyebabkan seseorang bereaksi secara moral dengan membentuk sikap dan tindakan yang anti sosial. Selanjutnya kondisi inilah yang diduga sebagai biang terjadinya aksi premanisme ataupun gangster (.....et.al 20...).
Yono menyan tumbuh dan besar di wilayah Kelurahan Krobokan, daerah di tengah kota yang relatif miskin, terisolasi dan minim pembangunan. Dengan kondisi wilayah seperti ini merupakan lingkungan ideal sebagai tempat tumbuhnya kejahatan (Esbensen, Juzinga, dan Weiher, 1993). Dari wilayah Krobokan tumbuh preman dan penjahat secara turun temurun dari generasi-generasi. Tingginya angka kejahatan dari wilayah tersebut ditambah dengan minimnya kegiatan religius yang dilakukan penduduknya. Mengingat background wilayah tersebut, tidak mengherankan bila menghasilkan preman-preman seperti halnya Yono Menyan.
Yono Menyan sendiri, secara pribadi mempunyai personalitas yang unik. Sifat aslinya dan yang menjadi bawaan kepribadianya adalah pintar, pendiam, santun, jujur, setia, berorientasi pada solusi, suka berpetualang dan mempunyai jiwa sosial atau solidaritas yang tinggi. Watak dasar ini sempat terwarnai oleh lingkungan tempat tinggal dan sekolahnya yang membentuk dirinya mempunyai atribut sosial sebagai seorang preman: suka mabuk-mabukan, terlibat dengan aksi kekerasan, pemalakan, dan berperilaku yang dianggap menyimpang secara sosial dan agama. Bisa dikatakan bahwa faktor yang melatarbelakanginya terjun di dunia preman, adalah latar belakang sosialnya yang sarat dengan aksi-aksi kekerasan dan terobsesi oleh sosok lakon Jaka Dilaga dalam sandiwara radio fiksi ”Jaka Dilaga”. Campuran dari faktor eksternal dan internal tersebut membawanya menjadi pribadi sosok preman yang jagoan namun rendah hati, seperti yang pernah dilakoninya. Hal tersebut ditambah dengan pengetahuan dan pengalaman hidupnya yang jauh dari religiusitas.
Lepas lulus pendidikan SMA ia bersama teman-teman sekolahnya membentuk gang Manfrus, gang yang sempat berkibar di Semarang pada era 1990-an. Meskipun mampu bergerak secara massif dengan mengerahkan sekitar 1500-an anak buah, Yono Menyan lebih cenderung menyelesaikan masalah-masalah gangster dengan cara solitaire (dihadapinya secara sendirian). Keberaniannya menghadapi banyaknya musuh seorang diri ini menambah segan baik kawan maupun lawan. Dengan cara ini banyak kelompok-kelompok gangster maupun preman menundukkan diri dalam perlindungan Yono Menyan dari pada gang Manfrus yang menjadi naungannya. Selanjutnya ia lebih banyak bergaul secara berpindah tempat (nomade) dari kelompok gang ke kelompok gang lain di berbagai wilayah atau kampung di Kota Semarang.
Hidup sebagai preman, ia rasakan sarat dengan masalah. Masalah datang tidak saja menimpa dirinya, namun juga keluarganya dan teman-teman preman yang sudah ia anggap sebagai saudara. Sudah berulang kali (sering) ia ditangkap polisi karena aksi-aksi kekerasannya --menganiaya orang dan meninggalkan luka bacokan pada korbannya. Kehidupan dunia preman dan gangster membawanya pada kebiasaan-kebiasaan negatif, seperti: minum-minuman keras (bahkan hingga kecanduan), bergadang, memalak, berzina, melakukan aksi kekerasan, dan berjudi. Meskipun ia hampir melakukan aksi molimo, ada perbuatan yang menjadi pantangannya, yakni mencuri. Selain kebiasaan yang mendapat pengaruh eksternal di atas ia juga mempunyai kebiasaan melakukan ritual-ritual mistis atau perdukunan dalam menyelesaikan masalah.
Lelah dengan kehidupan preman dan dunia gangster yang banyak masalah, ia mencoba melepaskan diri dari masalah-masalah tersebut dengan cara bekerja. Apalagi pada waktu itu ia sudah berkeluarga (mempunyai anak istri), dan membutuhkan nafkah dalam menghidupi anggota keluarganya. Ia sempat 3 kali beralih profesi menjadi buruh, kondektur bus dan terakhir adalah Satpam.
Rupanya beralih profesi dari preman menjadi tenaga profesional tidak membuat dirinya lepas dari masalah. Hal tersebut karena lingkungan yang tidak kondusif untuk berubah dan perilakunya masih jauhnya dari nilai-nilai agama, seperti mabuk-mabukan, berzina, aksi-aksi kekerasan masih mendominasi perilakunya. Rangkaian kebiasaan yang jauh dari norma agama tersebut, tentu masih menyisakan masalah-masalah yang tetap akan ia hadapi dalam perjalanan hidupnya.
Peristiwa yang menjadi titik balik dalam perjalanan hidupnya adalah ketika terakhir kali ia menjadi buronan polisi karena menganiaya teman Satpam-nya. Dari peristiwa tersebut selain menjadi buron ia juga kehilangan mata pencahariannya (sebagai Satpam). Kondisi tersebut menghimpit kehidupannya, sehingga sulit bagi dirinya lepas dari masalah. Selain terus menghindar dari kejaran polisi, ia juga membutuhkan nafkah bagi anak-istrinya. Kedua masalah tersebut membuat dirinya tidak berkutik. Bila sebelumnya ia mempunyai backing oknum TNI bila ia berurusan dengan polisi, ternyata bantuan tersebut sudah tidak ada. Demikian juga dengan teman-teman premannya, mereka mulai menjauhi dirinya.
Dalam kondisi demikian, ia tidak menemukan satu perlindungan pun kecuali satu-satunya harapan, yakni Tuhan dan agama. Hal tersebut ia rasakan janggal mengingat selama ini ia merasa jauh dari agama dan kehidupan religius. Ia hanya melakukan ibadah jika ia terkena masalah saja, selebihnya kembali pada kebiasaan lama. Namun dengan adanya peristiwa tersebut, ia ibarat dalam posisi buntu untuk menyelesaikan masalah. Lalu mulailah ia memperbanyak ibadah dan doa, meninggalkan kebiasaan mabuk-mabukan dan kebiasaan buruk lainnya dalam ajaran agama. Dari ritual-ritual yang ia jalani, mulai menemukan kesadaran dirinya, melakukan review atas perjalanan hidupnya, sehingga muncul penyesalan. Faktor-faktor inilah yang menurutnya membawa dirinya pada pintu taubat. Untuk mendukung upaya taubatnya, ia mencari sosok kiai yang mampu menyokong upaya taubatnya. Apabila dalam kehidupan masa lalunya ia mencari kiai (yang di kemudian hari difahaminya sebagai dukun bersorban), kini ia mencari kiai dengan sosok berbeda dan tujuan yang berbeda. Taubat.
Perjalanan hidupnya menghantarkannya bertemu dengan Kiai Yusak dan kemudian kepada Abah Hamid (gurunya Kiai Yusak). Oleh Kiai Yusak, ia diajak untuk ber-istighfâr dan ber-mujâhadah, meskipun Kyai Yusak tidak pernah ia beritahu akan statusnya sebagai buron kepolisian. Meskipun telah menemukan kelompok baru yang bisa dijadikan pengayom dirinya, jiwa solitaire pada diri Yono Menyan masih tetap ia jaga. Ia ingin menyelesaikan masalah tersebut tanpa melibatkan orang lain, tapi tetap melibatkan tuhannya, Allah. Selain dzikir dan mujahadai, dari Kyai Yusak ia memperoleh banyak pengetahuan ketuhanan dan bagaimana bersikap bijak dalam menghadapi berbagai permasalahan.
Termotivasi oleh ajaran dari Kyai Yusak untuk menggantungkan semua masalah hanya kepada Tuhannya, ia rajin melakukan berbagai kegiatan ritual seperti dzikir dan mujâhadah bahkan secara mandiri dan setiap hari. Malam-malamnya ia hiasi dengan dzikir, istighfâr dan ber-mujâhadah sendirian. Kali ini orientasi ibadahnya pun --dibandingkan dengan masa lalunya-- juga mengalami pergeseran. Jika sebelumnya ia beribadah dan berdoa agar terlepas dari masalah, kini untuk satu tujuan, yakni taubat agar Allah berkenan menghapus dosa-dosa masa lalunya dan memperbaiki perilakunya.
Berkaitan dengan situasi dan kondisi masalah yang sedang dialaminya -- status buron kepolisian, permohonan doa yang ia panjatkan adalah bila nanti ia tertangkap, ia mohon ditangkap dalam keadaan terampuni dosa-dosanya berkaitan masalah penganiayaan tersebut. Permohonan tersebut ia sampaikan di sela-sela ibadah dan munajatnya. Setelah melalui beberapa kali pengejaran, akhirnya ia tertangkap juga. Ketika dibawa ke Polsek setempat ternyata polisi yang menginterogasi dirinya telah memahami masalahnya dan latar belakang perbuatannya, sehingga tidak menyalahkan perbuatannya. Oleh karena itu meskipun ia ditangani polisi yang terkenal kejam dalam menangani penjahat, ia diperlakukan baik olehnya. Akhirnya proses hukum masalah penganiayaan tersebut dapat dilakukan dengan perdamaian dan terhadapnya tidak dilakukan penahanan.
Kejadian tersebut semakin memperkuat keimanannya, bahwa Allah benar-benar Penyelesai Masalah yang sangat handal dan Allah tidak akan meninggalkan hamba-Nya, selama hamba berlaku setia. Kejadian yang bagaikan mu’jizat tersebut terulang kembali dalam kasusnya yang lain. Dalam kondisi lemah karena kambuhnya penyakit batu ginjal yang ia derita, ia mendapatkan ’operasi ghaib’ yang di luar logika. Dalam menghadapi penyakit batu ginjal tersebut, ia mengulangi lagi permohonannya agar diampuni dosa-dosa zinanya di masa lalu. Dalam keadaan setengah sadar, ia merasa berada di alam lain. Makhluk-makhluk berpakaian putih-putih memapahnya ke semacam dipan rumah sakit. Dibawanya ia ke ruang operasi untuk mengeluarkan batu ginjal penyebab sakitnya. Setelah operasi selesai, ia mendapati dirinya masih duduk bersila di depan pintu rumah, seiring adzab subuh berkumandang. Puji syukur ia panjatkan dalam sholatnya dan juga setelahnya. Rangkaian peristiwa-peristiwa tersebut semakin menambah kekuatan imannya untuk selalu bersikap menggantungkan diri kepada Tuhannya (tawakkal) dan selalu mendekatkan diri kepada-Nya.

Menjadi Kyai
Bagaimanapun menjadi kyai, bukanlah cita-cita atau tujuan hidupnya. Tidak terlintas di benaknya sedikitpun untuk berangan-angan menjadi kyai. Semuanya datang, terjadi dan mengalir dengan sendirinya, tidak ada rencana. Semuanya berawal dari keinginannya dan amal perbuatannya yang selalu menuju pada kebajikan (amal sholeh).
Fase-fase perjalanan hidupnya sebagai kiai, diawali dari karir sosialnya sebagai pemijat, dan mediator kesembuhan. Selanjutnya menerima tamu yang mengkonsultasikan masalahnya, baik masalah keluarga, ekonomi dan spiritual. Dari tamu-tamunya tersebut sebagian berinisiatif membuat kelompok pengajian untuk menimba ilmu dari narasumber dan terbina kehidupan dunia dan akhiratnya masing-masing. Demikianlah profil ke-kiai-an sosok Yono Menyan (narasumber). Fase-fase tersebut dilaluinya tanpa perencanaan, dan sepertinya, menyesuaikan dengan perjalanan hidupnya. Dalam hal perpindahan fasenya tersebut tidak dilakukan secara drastis, melainkan berangsur-angsur mengikuti apapun yang diamanahkan Allah kepadanya.
Pengajian yang ia pimpin telah berlangsung selama lima tahun lebih (dimulai sejak tahun 2006). Setiap malam minggu dan malam Rabu, biasanya diadakan kumpulan pengajian dan mujâhadah minimal dua kali. Di antara jamaah ada yang berhenti mengikuti pengajian karena tidak kuatnya ujian dan cobaan yang harus dilalui. Namun ada belasan anggota jamaah lain yang tetap mengikuti perjuangannya hingga kini. Anggota jamaah yang dahulunya cuma 3 orang, kini telah berkembang hingga 30-an jamaah. Dalam pengamatan dan asumsi penulis pengajian tersebut tidak mungkin berlangsung secara kontinyu atau berkelanjutan -- dengan intensitas lumayan tinggi (dua kali dalam seminggu) dan dalam kurun waktu yang lama (lima tahun), apabila tidak dirasakan manfaatnya pada anggota jamaahnya.
Dalam menjalankan ajarannya, ia selalu menekankan pada al-Qur'an dan hadist yang didukung oleh hikmah atau pelajaran kehidupan. Dalam mengajarkan hikmah, ini ia banyak berpatokan pada hasil pengalaman masa lalunya yang suram dan pengalaman transformasi taubatnya. Racikan pengajarannya ini relatif cocok dirasakan oleh jamaahnya, mengingat latar belakang kehidupan jamaahnya relatif sama dengan masa lalu Yono Menyan. Dalam pengajarannya Yono Menyan tidak melakukannya secara ekspansif (merekrut sebanyak-banyaknya jamaah) dan penyampaiannya pun dilakukan dengan cara yang baik (mau’idhoh hasanah).

Psikologi Islami: kerangka Teori penelitian
Semenjak ribuan tahun yang lalu konsep tentang manusia banyak dirumuskan oleh para ahli dari mulai filsuf, ilmuwan dan agamawan. Manusia moncoba untuk mengetahui hakikat atau esensi dirinya. Seiring berjalannya waktu sejarah mencatat bahwa teori-teori mengenai hakikat atau esensi manusia terus berkembang. Hal inilah yang kemudian memicu lahirnya berbagai disiplin ilmu dengan manusia sebagai subjek dan atau objek kajiannya, dan psikologi adalah salah-satu disiplin ilmu yang termasuk di dalamnya.
Secara umum disiplin ilmu psikologi yang selama ini berkembang memiliki tiga fungsi utama, yaitu; menerangkan (explanation), memprediksi (prediction) dan mengontrol (controlling) perilaku manusia. Di dalam aplikasinya, salah-satunya terdapat apa yang dinamakan dengan Psikoterapi. Istilah Psikoterapi (dan konseling) sendiri memiliki pengertian sebagai suatu cara yang dilakukan oleh para profesional (psikolog, psikiater, konselor, dokter, guru, dsb.) dengan tujuan untuk menolong klien yang mengalami problematika psikologis (Prawitasari, 1993, dalam Subandi, 2000).
Konsep Psikologi Islami lahir dari dua pendekatan: Pertama, Psikologi Islami diartikan sebagai perspektif Islam terhadap psikologi modern dengan membuang konsep yang tidak sesuai dan bertentangan dengan konsep Islam. Kedua, Psikologi yang bersumber dari ajaran-ajaran Islam (al-Qur'an dan sunnah) tersebut tetap memperhatikan pula syarat-syarat ilmiah seperti lazimnya dalam bahasan metodologik suatu konsep teori.
Dalam mengkaji ruang lingkup kajian dalam studi Psikologi Islami Djamaludin Ancok dan Fuat Nashori (2004) memberikan dua catatan utama, yang pertama bahwa kajian mengenai manusia bukanlah kajian yang berdiri sendiri, tetapi digunakan untuk menuju Allah (Abdul Hamid al-Hashimi, 1991), yang kedua adalah untuk mengenal siapa manusia kita tidak semata-mata menggunakan teks Al-Quran (ayat qauliyah), tapi juga dengan menggunakan, memikirkan dan merefleksikan kejadian-kejadian di alam semesta (ayat kauniyah) dengan akal pikiran, indra dan intuisi. Catatan terakhir kita harus membedakan kebenaran Al-Quran dan kebenaran penafsiran Al-Quran.
Penjelasan mengenai konsep manusia menurut psikologi Islami banyak dipengaruhi oleh konsep manusia menurut pandangan ilmu tasawuf, yang secara umum dapat kita temukan dengan melihat beberapa aspek, diantaranya jismiyah (jasad), nafsiyah (pribadi) dan ruĥiyah. Untuk mengelaborasi kasus transformasi kepribadian pada Yono Menyan, selanjutnya penelitian ini lebih memfokuskan pada aspek nafsiyah (kepribadian) yang ada pada diri Yono Menyan.
Kritik psikologi islam terharap teori-teori psikologi yang sudah ada, pada umumnya terlalu berorientasi pada manusia atau antroposentris (Bastaman, 1995 dalam Subandi, 2000), sehingga ukuran kebenarannya juga dari kacamata manusiawi. Sedangkan dalam perspektif psikologi Islami dalam hal ini Psikoterapi Islam kebenarannya harus dikembalikan kepada Al-Quran dan sunnah (Al-Hadis).
Pada kenyataannya teknik Psikoterapi sendiri cukup beragam dan hal ini tidak terlepas dari konsep teori psikologi mana yang menjadi landasannya. Di dalam makalah ini penulis mencoba untuk menelaah lebih dalam mengenai Psikoterapi yang berwawasan Islam, namun tentu saja sebelum menginjak kepada pembahasan mengenai Psikoterapi yang berwawasan Islam kita harus terlebih dahulu membahas mengenai konsep Psikologi Islami sebagai pijakan dan konsep dasar yang menjadi landasan awal dari Psikoterapi berwawasan Islam.
Sebagai bagian dari psikologi Islami, Psikoterapi Islam menaruh perhatian pada proses penyembuhan, Psikoterapi Islam sangat menekankan pada usaha peningkatan diri, seperti membersihkan kalbu, menguasai pengaruh dorongan primitif, meningkatkan derajat nafs, menumbuhkan akhlaqul karimah dan meningkatkan potensi untuk menjalankan amanah sebagai hamba Allah dan khalifah di muka bumi. Mappiare, 1996 (dalam Subandi, 2000) menekankan bahwa Psikoterapi Islam bertujuan untuk mengembalikan seorang pribadi pada fitrahnya yang suci atau kembali ke jalan yang lurus. Lebih jauh lagi Hamdani, 1996-a (dalam Subandi, 2000) menyebutkan bahwa Psikoterapi juga perlu memberikan bimbingan kepada seseorang untuk menemukan hakekat dirinya, menemukan Tuhannya dan menemukan rahasia Tuhan.

Dinamika Kepribadian menurut Psikologi Islami
Kepribadian menurut Psikologi Islami adalah integrasi sistem kalbu, akal dan nafsu manusia yang menimbulkan tingkah laku (Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir, 2001). Aspek nafsiyah (kepribadian) manusia memiliki tiga daya, yaitu: (1) kalbu (fithrah ilahiyah) sebagai aspek supra-kesadaran manusia yang memiliki daya afeksi (emosi-rasa); (2) akal (fithrah insaniyah) sebagai aspek kesadaran manusia yang memiliki daya kognisi (cipta); dan (3) nafsu (fithrah hayawaniyah) sebagai aspek pra atau bawah kesadaran manusia yang memiliki daya konasi (karsa). Ketiga komponen ini berintegrasi untuk mewujudkan suatu tingkah laku. Kalbu memiliki kecenderungan kepada pembawaan ruh, nafs kepada jasad, sedangkan akal antara ruh dan jasad. Dari sudut tingkatannya, kepribadian itu merupakan integrasi dari aspek-aspek supra-kesadaran (fitrah ketuhanan), kesadaran (fitrah kemanusiaan) dan pra atau bawah kesadaran (fitrah kebinatangan). Sedangkan dari sudut fungsinya, kepribadian merupakan integrasi dari daya afeksi (emosi), kognisi dan konasi yang terwujud dalam tingkah laku luar (berjalan, berbicara, dsb.) maupun tingkah laku dalam (pikiran, perasaan, dsb.)
Kepribadian sesungguhnya merupakan produk dari interaksi di antara ketiga komponen tersebut, hanya saja ada salah-satu di antaranya yang lebih mendominasi dari komponen yang lain. Dalam interaksi itu kalbu memiliki posisi dominan dalam mengendalikan suatu kepribadian. Prinsip kerjanya cenderung kepada fitrah asal manusia, yaitu rindu akan kehadiran tuhan dan kesucian jiwa. Aktualitas kalbu sangat ditentukan oleh sistem kendalinya. Sistem kendali yang dimaksud adalah dhamĩr yang dibimbing oleh fithrah al-munazzalah (Al-Quran dan Sunnah). Apabila sistem kendali ini berfungsi sebagaimana mestinya maka kepribadian manusia sesuai dengan amanat yang telah diberikan oleh Allah di alam perjanjian. Namun apabila ia tidak berfungsi maka kepribadian manusia akan dikendalikan oleh komponen lain yang lebih rendah kedudukannya. Sedangkan akal prinsip kerjanya adalah mengejar hal-hal yang realistis dan rasionalistik. Oleh sebab itu maka tugas utama akal adalah mengikat dan menahan hawa nafsu. Apabila tugas utama ini terlaksana maka akal mampu untuk mengaktualisasikan sifat bawaan tertingginya, namun jika tidak maka akal dimanfaatkan oleh nafsu.
Sementara nafsu prinsip kerjanya hanya mengejar kenikmatan duniawi dan ingin mengumbar nafsu-nafsu impulsifnya. Apabila sistem kendali kalbu dan akal melemah maka nafsu mampu mengaktualkan sifat bawaannya, tetapi apabila sistem kendali kalbu dan akal tetap berfungsi maka daya nafsu melemah. Nafsu sendiri memiliki daya tarik yang sangat kuat dibanding dengan kedua sistem fitrah nafsani yang lainnya. Kekuatan tersebut disebabkan oleh bantuan dan bisikan setan serta tipuan-tipuan impulsif lainnya. Sifat nafsu adalah mengarah pada amarah yang buruk. Namun apabila ia diberi rahmat oleh Allah maka ia menjadi daya yang positif, yaitu kemauan (iradah) dan kemampuan (qudrah) yang tinggi derajatnya.
Berdasarkan hal di atas, kepribadian dalam psikologi Islami dapat digambarkan sebagai proses integrasi anatara aspek kalbum akal dan nafsu yang menimbulkan tingkah laku (Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir, 2001), dalam gambaran sebagai berikut:

Interaksi ketiga dimensi dalam aspek nafsiyah tadi teraktualisasi dalam tiga macam kepribadian, yaitu: Pertama, Kepribadian Ammârah (nafs al-ammârah). Kepribadian ammârah adalah kepribadian yang cenderung pada tabiat jasad dan mengejar pada prinsip-prinsip kenikmatan (pleasure principle). Ia mendominasi peran kalbu untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang rendah sesuai dengan naluri primitifnya, sehingga ia merupakan tempat dan sumber kejelekan dan tingkah laku yang tercela, sebagaimana firman Allah SWT dalam surat Yusuf/ 12:53.
Kepribadian ammârah adalah kepribadian yang dipengaruhi oleh dorongan-dorongan bawah sadar manusia. Barangsiapa yang berkepribadian ini maka sesungguhnya ia tidak lagi memiliki identitas manusia, sebab sifat-sifat humanitasnya telah hilang. Manusia yang berkepribadian ammârah tidak saja dapat merusak dirinya sendiri, tetapi juga merusak diri orang lain. Keberadaannya ditentukan oleh dua daya, yaitu (1) syahwat yang selalu menginginkan birahi, kesukaan diri, ingin tahu dan campur tangan urusan orang lain, dan sebagainya; (2) daya ghadah yang selalu menginginkan tamak, serakah, mencekal, berkelahi, ingin menguasai orang lain, keras kepala, sombong, angkuh dan sebagainya dan cenderung mengikuti sifat binatang.
Kepribadian ammârah dapat beranjak ke kepribadian yang baik apabila telah diberi rahmat oleh Allah SWT. Hal tersebut diperlukan latihan atau riydhah khusus untuk menekan daya nafsu dari hawa, seperti dengan berpuasa, shalat, berdoa dan sebagainya.
Kedua, Kepribadian Lawwâmah (nafs al-lawwâmah). Kepribadian lawwâmah adalah kepribadian yang telah memperoleh cahaya kalbu, lalu ia bangkit untuk memperbaiki kebimbangan antara dua hal. Dalam upayanya itu kadang-kadang tumbuh perbuatan yang buruk yang disebutkan oleh watak gelapnya, namun kemudian ia diingatkan oleh nur ilâhi, sehingga ia mencela perbuatannya dan selanjutnya ia bertaubat dan ber-istighfâr. Hal itu dapat difahami bahwa kepribadian lawwâmah berada dalam kebimbangan antara kepribadian ammârah dan kepribadian muthmainnah. Firman Allah SWT.:Dan aku bersumpah dengan jiwa yang Amat menyesali (dirinya sendiri). (QS. Al-Qiyamah/75:2).
Kepribadian lawwâmah merupakan kepribadian yang didominasi oleh akal. Sebagai komponen yang memiliki sifat insaniah, akal mengikuti prinsip kerja rasionalistik dan realistik yang membawa manusia pada tingkat kesadaran. Apabila sistem kendalinya berfungsi maka ia mampu mencapai puncaknya seperti berpaham rasionalisme. Rasionalisme banyak dikembangkan oleh kaum humanis yang mengorientasikan pola pikirnya pada kekuatan "serba" manusia, sehingga sifatnya antroposentris.
Ketiga, Kepribadian Muthmainnah (nafs al-muthmainnah). Kepribadian muthmainnah adalah kepribadian yang telah diberi kesempurnaan nur kalbu, sehingga dapat meninggalkan sifat-sifat yang baik. Kepribadian ini selalu berorientasi ke komponen kalbu untuk mendapatkan kesucian dan menghilangkan segala kotoran, sehingga dirinya menjadi tenang. Begitu tenangnya kepribadian ini sehingga ia dipanggil oleh Allah SWT. Firman Allah SWT.: ”Hai jiwa yang tenang.Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya”. (QS. Al-Fajr, 89:27-28). Kepribadian muthmainnah merupakan kepribadian atas sadar atau supra- kesadaran manusia, dengan orientasi kepribadian ini adalah teosentris. Dikatakan demikian sebab kepribadian ini merasa tenang dalam menerima keyakinan fithrah. Keyakinan fithrah adalah keyakinan yang dihujamkan pada ruh manusia di alam arwah dan kemudian dilegitimasi oleh wahyu ilahi. Penerimaan ini tidak bimbang apalagi ragu-ragu seperti yang dialami oleh kepribadian lawwâmah, tetapi penuh keyakinan. Oleh sebab itu ia terbiasa menggunakan metode zawq (cita rasa) dan mata batin dalam menerima sesuatu sehingga ia merasa yakin dan tenang.
Al-Ghazali menyatakan bahwa daya kalbu yang mendominasi kepribadian muthmainnah mampu mencapai pengetahuan ma'rifat melalui daya cita rasa (zawq) dan kasyf terbukanya tabir misteri yang menghalangi penglihatan batin manusia. Sedangkan Ibnu Khaldun menyatakan dalam "muqaddimat" bahwa ruh kalbu itu disinggahi oleh ruh akal. Ruh akal secara substansial mampu mengetahui apa saja di alam amar, sebab ia berpotensi demikian. Ia kadang-kadang tidak mampu mencapai pengetahuan itu disebabkan adanya penghalang (hijâb) di badan dan indera. Apabila penghalang itu hilang maka ia mampu menembus pengetahuan tersebut.
Dengan kekuatan dan kesucian daya kalbu maka manusia mampu memperoleh pengetahuan wahyu dan ilham dari Tuhan. Wahyu diberikan pada para nabi, sedang ilham diberikan pada manusia suci biasa. Kebenaran pengetahuan ini bersifat supra-rasional, sehingga bisa jadi ia tidak mampu diterima oleh akal. Pengetahuan yang ditangkap oleh akal seharusnya dapat pula ditangkap oleh kalbu, sebab kalbu sebagian dayanya ada yang digunakan untuk berakal. Namun sebaliknya, pengetahuan yang diterima oleh kalbu belum tentu dapat diterima oleh akal, sebab kemampuan akal (di otak) berada di bawahnya.



Melihat dinamika perubahan kepribadian islami menurut Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir, (2001), dapat digambarkan alur mekanisme dinamikanya sebagai berikut:

Pembahasan
Transformasi Kepribadian Yono Menyan
Dalam psikologi islami, perubahan kepribadian hanya mengenal arah pergerakan dinamika kepribadian secara vertikal dan bertingkat dari kepribadian ammârah menjadi lawwaamah hingga kepribadian muthmainnah. Perubahan kepribadian tersebut dilatarbelakangi oleh interaksi antar tiga faktor daya penggerak transformasi kepribadian (nafsiyah); baik kalbu, akal dan nafsu.
Apa yang terjadi pada Yono Menyan bukanlah perubahan karakter kepribadian (trait), melainkan perubahan kalbu, akal dan nafsunya. Trait yang dimiliki narasumber tidaklah mengalami banyak perubahan. Hal ini sesuai dengan pendapat mainstream utama psikologi modern yang berpijak pada pendapat, bahwa pada dasarnya trait (karakter) kepribadian orang dewasa cenderung menetap. Narasumber saat ini telah berusia 45 tahun. Usia tersebut sudah matang (dewasa) dan karakternya cenderung bersifat menetap (tidak berubah).
Kasus yang dialami oleh narasumber (Yono Menyan), sebenarnya bukan kasus deviasi (penyimpangan) perilaku bila menilik dari aspek transformasi kepribadiannya –dikaitkan dengan teori di atas. Bila diamati perubahan kepribadian narasumber lebih banyak bersifat menetap dan mengacu pada kepribadian awal yang menjadi fitrahnya. Hal tersebut dalam analisi penulis sangat sesuai dengan firman Allah dalam QS Rum/30, ayat 30: ”Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”. Bila ayat tersebut ditafsirkan dalam hikmah kehidupan yang dijalani narasumber, keaslian kepribadian maupun perubahan yang terjadi terlihat natural dan tidak dibuat-buat. Fitrah kepribadian yang berupa trait awal kepribadian yang dimilikinya yakni pendiam, fairness (jujur-sportif), setia, dan lain sebagainya, masih sangat mewarnai trait kehidupannya, baik ketika menjadi preman-anggota gangster maupun trait kepribadiannya sekarang (ketika menjadi kiai).
Perubahan karakter kepribadian yang dilakukan Yono Menyan sangat dipengaruhi oleh orientasi hidupnya. Pada awalnya sebagai seorang remaja, orientasi hidupnya berkutat pada pencarian identitas diri dengan mencari sosok yang dapat ia jadikan panutan, mereplikasi tokoh panutan tersebut pada dirinya. Sebagaimana teori social learning Bandura yang menekankan pada observational learning (proses belajar melalui pengamatan) dalam proses pembelajaran pribadi (Lihat Bandura dalam Zimbardo, 1977: 429).
Pencarian identitas diri dimulai dari lingkungan terdekatnya, yakni keluarga. Sayangnya ia tidak mendapati orang tuanya sebagai tokoh yang dapat dijadikan panutan. Orang tuanya baginya terlalu sibuk dengan rutinitas pemenuhan kebutuhan ekonomi keluarga yang tak berkesudahan. Siang malam mereka kerja, tapi keluarga tetap saja miskin, tidak ada peningkatan taraf ekonomi keluarga. Oleh karena itu ia melakukan pencarian sosok idola dari luar rumahnya.
Ada dua tokoh yang menjadi idola yang mempengaruhi pertumbuhan kepribadian pada diri Yono Muda, yakni Jaka Dilaga (tokoh sandiwara radio) dan Kisromi (preman nomor satu dari wilayah Krobokan). Pemilihan tokoh Jaka Dilaga sebagai idola menarik perhatiannya, karena dalam diri tokoh fiksi Jaka Dilaga ini terdapat cerita heroik yang merubah karakter tokoh yang tadinya sangat eksklusif dan penuh dengan kemewahan karena berasal dari keluarga ningrat, berubah menjadi sosok yang punya jiwa petualang yang mengembara dari kota ke kota, mempunyai kepekaan yang tinggi akan nasib grassroots dan kemudian memperjuangkannya, hanya karena gadis buta yang dihamilinya. Sedangkan tokoh Kisromi merupakan tokoh nyata, yakni preman pendahulu yang berasal dari kampungnya. Dalam pandangannya tokoh Kisromi ini sangat disegani oleh semua orang karena keberaniannya, sifat kesetiakawanannya dan juga kesantunannya. Karakter yang ada pada diri tokoh Kisromi ini terwarisi dalam karakter kepribadiannya. Dari fakta di atas terlihat Yono Menyan memadukan kedua karakter tersebut (Jaka Dilaga dan Kisromi) yang sangat berpengaruh pada pembentukan jiwa karakter kepribadian Yono Menyan, bahkan hingga sekarang.
Karakter yang ia dapatkan semasa remaja tersebut tumbuh dan beradaptasi dengan fase-fase kehidupannya yang nyata. Perjalanan hidup membawanya menjadi gangster atau preman, namun dengan karakter unik yang ia ambil dari kedua tokoh idolanya tersebut. Jadilah ia preman berkarakter pendiam, santun, namun sangat berani, ahli strategi, dan punya solidaritas yang tinggi. Meskipun demikian, profesi sosial preman membuat dirinya larut pada kebiasaan-kebiasaan buruk, di antaranya: mabuk-mabukan (bahkan sudah kecanduan), klenik atau dunia perdukunan yang penuh dengan kemusyrikan, kekerasan berupa tindak penganiayaan (baik dengan gangnya maupun secara personal), pemalakan, berzina dan berjudi.
Dalam psikologi islami, kebiasaan ini sangat memberi asupan kuat pada sistem nafsunya dan menyingkirkan sistem akal dan hatinya (kalbu). Jika sistem nafsu lebih dominan dari pada sistem akal dan hati, maka pribadi atau tingkah laku yang ditampilkan adalah kepribadian ammârah. Kepribadian ammârah ini melingkupi dirinya ketika menjadi preman seiring dengan perilaku buruknya sebagai preman.
Dengan kepribadian ammârah-nya selama menjadi preman ternyata membuat dirinya rentan akan masalah: baik kekerasan (terlibat aksi perkelahian atau penganiayaan), seringnya ia berurusan dengan pihak yang berwajib (polisi), perekonomian (berupa tidak adanya penghasilan yang tetap dan halal), hingga penyakit (batu ginjal) yang ia derita dan yang paling utama adalah tidak adanya pegangan hidup. Masalah-masalah selama menjadi preman tersebut masih saja tetap ia pelihara, mengingat ego nafsunya masih tinggi. Ia merasa dirinya mampu menyelesaikan masalah. Jika berkelahi, maka ia mempunyai kesaktian dengan ritual klenik dan perdukunan yang mampu menaklukkan dan menakuti lawan. Jika berurusan dengan polisi, ia punya ”backing” dari oknum TNI yang akan mengeluarkannya dari tawanan kepolisian. Jika kurang uang, ia bisa ”mengompasi” orang untuk memenuhi kebutuhan ekonominya. Jika penyakit batu ginjalnya ”kumat”, ia minum minuman keras yang akan meluruhkan batu ginjalnya. Jika merasa hampa, ia punya teman-teman dan wanita (tuna susila) yang akan menghiburnya. Pada saat itu, ia merasa sangat enjoy dengan profesinya. Seakan-akan hidup tanpa agama, bukanlah sesuatu yang penting baginya --meskipun ketika menghadapi masalah yang ia rasa sangat berat terkadang ia melakukan ibadah shalat (ajaran agama).
Suatu saat ia merasa bosan dengan kehidupan preman yang dilakoninya berikut masalah-masalah yang melingkupinya. Hingga akhirnya ia memutuskan untuk bekerja, menjalankan profesi yang bisa memberinya penghasilan tetap, dan lepas dari dunia preman dan gangster. Karena perasaan yang cepat bosan, ia sering beralih profesi maupun pindah pekerjaan. Profesi yang pernah ia lakoni adalah buruh tas dan sepatu, kernet di perusahaan bus dan menjadi Satpam (profesi paling lama dan terakhir yang pernah ia tekuni). Lepas dari dunia preman dan beralih profesi, ternyata tidak serta merta kepribadian ammârah-nya ini menghilang, meskipun ia berharap sebaliknya. Kebiasaaan lama seperti mabuk-mabukan, kekerasan karena membela teman, klenik-perdukunan, perzinaan dan pasang nomer, masih banyak ia jalani di sela-sela menjalankan profesinya tersebut. dari kebiasaan lamanya tersebut, hanya pemalakan yang sudah mulai banyak ia tanggalkan. Kebiasaan-kebiasaan tersebut tentu menjadi pupuk yang sangat menyuburkan pribadi ammârah-nya. Meski telah beralih profesi kepribadian ammârah-nya masih tetap terjaga. Karena itu tidak heran bila masalah-masalah masa lalunya tetap muncul dalam hidupnya. Dan karena belum menemukan solusi baru yang lebih bagus, maka solusi-solusi lama selama menjadi preman masih banyak ia kedepankan.
Dengan banyaknya masalah yang menghampirinya dari waktu ke waktu dan solusi yang ada lebih bersifat ”menyelesaikan masalah dengan masalah” atau mengalihkan masalah, membuat masalah yang menimpanya semakin bertumpuk dan menanti untuk meledak. Ledakan masalah tersebut akhirnya terjadi dan mencapai klimaksnya ketika ia menjadi buron kepolisian untuk ke sekian kalinya. Masalah tersebut sebenarnya bukan menjadi masalah besar bagi dirinya, ketika ia masih punya banyak teman (preman) dan ”backing” andalannya. Namun kali ini masalah tersebut benar-benar menjadi masalah manakala teman maupun ”backing” yang selama ini ia andalkan, sudah tidak mampu dan mau memberikan bantuan lagi. Sedangkan anak-istrinya membutuhkan nafkah dan ia dipecat dari pekerjaannya karena tindak kriminal yang ia lakukannya tersebut (membacok teman seprofesinya sendiri karena masalah perebutan job sampingan). Akumulasi dari masalah tersebut membuat ia terpuruk dan tidak menemukan solusi untuk memecahkan masalahnya.
Dalam pelariannya, ia kembali pada agama dan berusaha menemukan kesadaran akal dan kalbunya. Untuk itu ia mulai mendirikan ibadah yang selama ini banyak ia tinggalkan, seperti shalat dan puasa. Kembali pada agama dengan melakukan ritual agama tersebut, biasa ia lakukan bila ia menemui masalah dan tidak menemukan solusinya. Namun ketika masalah tersebut teratasi, ia kembali pada kebiasaan lamanya dan lupa pada agama. Di sela-sela senggangnya dalam pelarian, ia me-review dan merefleksikan kembali perjalanan hidupnya selama menjadi preman dan kemudian beralih profesi, hal-hal apa yang menyebabkan ia selalu terpuruk pada masalah-masalah yang sama meski ia telah beralih profesi. Tadinya ia berpikir, dengan beralih profesi dan punya penghasilan maka masalah-masalah hidupnya akan terselesaikan. Tapi ternyata tidak. Dalam kesadarannya awal yang ia peroleh, ia berfikir bahwa yang selama ini ia lakukan hanyalah mengalihkan masalah atau malah lari dari masalah. Alih profesi dan penghasilan tidak akan menyelesaikan masalah. Masalah yang sebenarnya ada pada dirinya adalah kepribadian yang ia bentuk dari kebiasaan-kebiasaan buruknya.
Berdasarkan kesadaran awal tersebut ia mulai meninggalkan kebiasaan-kebiasaan lamanya, memperbanyak bermunajat dan berdoa (terutama istighfâr), dan bertekad menjadikan dirinya sebagai pribadi yang baru. Meskipun telah mencapai kesadaran awal, tidak menyebabkan ia tergerak untuk menyerahkan diri ke kepolisian, mengingat ia telah mengetahui seluk beluk dunia kepolisian semasa ia aktif menjadi preman, yang akan memperlakukan tersangka seperti dirinya dengan buruk. Di samping itu ia ingin mencari bekal ilmu agama yang mendukung kesadarannya untuk melakukan perubahan kepribadian. Bekal ilmu agama yang ia maksud adalah institusi taubat, yang merupakan ajaran agama yang paling pas untuk ia jadikan media solusi bagi permasalahannya. Institusi taubat ini ia fungsikan tidak hanya sebagai media solusi masalahnya, namun lebih dari itu ia jadikan sebagai sarana transformasi kepribadiannya. Ia berpendapat demikian mengingat kepribadian dan kebiasaan yang dilakukan selama ini lah yang menjadi sumber masalah dan bukan hanya sekedar profesi atau penghasilan.
Perjuangan Yono Menyan dalam mentransformasikan pribadinya melalui institusi taubat, dimulai dari kesadaran awal dirinya di atas. Dengan kesadaran awal dan himpitan masalah tersebut mengajarinya untuk selektif dan efektif dalam berdoa dan mengembangkan pola komunikasi dengan Tuhannya. Doa-doa yang muncul dari kesadaran awalnya dapat dipaparkan sebagai berikut:
Pertama, ”Ya Allah, ajari aku supaya bisa dekat kepada-Mu dan ampunilah aku”. Doa ini merupakan titik awal perjalanan taubatnya. Ia merasa perbuatannya selama ini merupakan perbuatan dosa dan semakin menjauhkan dirinya dari jalan Tuhan. Pada masa ini ia jadikan sebagai titik balik dalam perjalanan hidupnya, dengan melepaskan dirinya dari masa lalunya yang kelam, menuju pribadi baru yang ingin selalu dekat dengan Tuhannya.
Kedua, ketika merasa sendirian dalam masalahnya, ia membutuhkan tempat dan pembimbing yang dapat mengajari dan menghantarkannya untuk mendekati Tuhannya. Untuk itu doa yang ia haturkan ”Ya Allah, bawalah aku ke tempat-tempat dan jalan-jalan yang dapat menghantarkan aku untuk selalu taubat dan berjalan mendekati-Mu”. Doa ini akhirnya menghantarkannya ke Kyai Yusak dan Abah Hamid, sosok guru/pembimbing yang menghantarkannya menuju ke arah hidup baru sebagai pengabdi Tuhan.
Ketiga, berkaitan dengan masalah besar yang menghinggapinya saat itu -- menjadi buronan polisi, dengan kasus penganiayaan (pembacokan) --, doa yang ia mohonkan yakni apabila nantinya ia tertangkap, ia meminta agar dilakukan dalam keadaan telah terampuni dosanya. Langkah doa yang ia lakukan ini sebagai langkah preventif, agar masalah tersebut tidak berujung pada keburukan (sûul khâtimah) yang dapat menimpa dirinya dan masalah yang menghinggapinya dapat terselesaikan dengan baik.
 Doa baginya merupakan media berkomunikasi dengan Tuhannya. Dengan doa, ia menginginkan agar Tuhannya ikut membantunya memperbaiki jalan hidupnya. Jika dilihat konstruksi doanya sudah memperlihatkan paradigma keberagamaannya yang akan mewarnai kehidupan agama dirinya kelak dan juga jamaahnya. Pada awal kesadaran, orientasi keberagamaannya sudah mengalami perubahan. Tujuan ibadahnya sudah tidak lagi terfokus pada penyelesaian masalah saja (seperti yang sering ia lakukan pada masa lalunya), melainkan lebih berorientasi pada Sang Pemberi Masalah (causa prima). Pada saat itu ia sudah sampai pada kesadaran bahwa jika beragama hanya diorientasikan untuk menyelesaikan masalah tersebut, maka akan timbul dua kemungkinan: pertama, jika dikabulkan maka seorang hamba akan lalai, dan kedua, bila tidak dikabulkan hamba tersebut akan bosan berdoa. Untuk itu paradigma keberagamaanya ia perluas, ia lebih berorientasi pada sustainable relationship dengan Tuhannya, yakni Tuhan itu sendiri.
Ketika satu persatu doa tersebut dikabulkan, maka yang muncul dari dalam dirinya adalah rasa syukur dan bertambahnya keimanan. Rasa syukur ia ungkapkan dengan peningkatan-peningkatan kualitas diri dan ibadahnya. Sedangkan bertambahnya keimanan memperkuat keyakinannya bahwa Tuhan adalah Maha Pengabul Doa, dan tidak ada sesuatupun yang layak dimintai pertolongan kecuali hanya kepada-Nya. Dengan cara tersebut, membuat dirinya semakin tergantung pada Tuhannya, bukan yang lain.
Perubahan destinasi/orientasi arah hidup yang teosentris ini diperkuat lagi ketika ia berguru pada Kiai Yusak dan Abah Hamid. Paradigma hidupnya tidak lagi terbatas pada hal-hal duniawi melulu. Jika sebelumnya ketika menjadi preman, ia beranggapan bahwa kematian adalah akhir dari kehidupan. Sedangkan agama hanya dipandang sebagai salah satu piranti untuk mewujudkan kepentingan dan hawa nafsu manusia. Dalam praktik keberagamaan sebelumnya ia banyak berpuasa bukan untuk ibadah, melainkan sebagai sarana klenik, mendapatkan ilmu jadug ataupun hajat hidup lainnya. Ia melaksanakan shalat hanya bila terkena masalah saja, bila masalah sudah berlalu ia akan kembali seperti semula. Namun setelah mengenal agama dari kedua gurunya di atas, ia baru sadar bahwa setelah kematian ada akhirat sebagai ending kehidupan, di mana masing-masing individu akan dimintai pertanggungan jawab atas amalnya di dunia atau di mana manusia akan memperoleh ganjaran atas semua amal perbuatannya.
Setelah ada perubahan orientasi arah hidup, ia mulai membenahi kepribadiannya, terutama berkaitan erat dengan kebiasaan-kebiasaan buruknya masa lalunya, berkubang dalam dunia preman dan kejahatan yang bertentangan dengan nilai-norma agama. Ia mulai meninggalkan kebiasaan mabuk-mabukan (meskipun ketagihan), kebiasaan berzina, pasang nomer, maupun tindak kekerasan juga ia tinggalkan. Berjuang meninggalkan kebiasaan buruk tersebut ia rasakan sangat berat, mengingat komunitas teman-temannya masih melingkupinya dan mempengaruhinya untuk kembali pada kebiasaan lama (faktor eksternal). Belum lagi dorongan nafsu dari dalam dirinya (faktor instrinsik) untuk menenggak minuman keras, berzina dan memaksa orang lain, masih sangat kuat.
Langkah awal perjuangan tersebut ia lakukan dengan menjauhi komunitasnya. Baginya cara ampuh untuk meninggalkan kebiasaan lama adalah dengan menggantinya dengan kebiasaan baru dan meninggalkan hal-hal yang mempengaruhi untuk kembali pada kebiasaan lama. Ia tidak mau lagi kongkow-kongkow bersama teman-temannya, selama keimanannya belum cukup kuat menahannya. Hal ini dilakukan agar terhindar pada kebiasaan lama. Sebagai gantinya ia lebih banyak menyendiri, ber-tafakkur, berdzikir, beribadah dan bekerja. Jika biasanya semalaman bergadang bersama komunitasnya untuk melakukan pesta minuman keras, ia ganti dengan semalaman duduk di atas sajadah dengan ber-mujâhadah, memohon ampun (istighfâr) atas kebiasaan-kebiasaan buruknya. Ia percaya bahwa dengan memohon ampun dan berbuat kebajikan (amal sholeh) sebagaimana tersurat pada al-Qur'an Surat Muhammad/47, ayat 2, ” Dan orang-orang yang beriman (kepada Allah) dan mengerjakan amal-amal yang saleh serta beriman (pula) kepada apa yang diturunkan kepada Muhammad dan itulah yang hak dari Tuhan mereka, Allah menghapuskan kesalahan-kesalahan mereka dan memperbaiki keadaan mereka”. Demikian juga dalam Surat Al-Nahl/16, ayat 119 dan Surat At-Tahrim/66m ayat 8:
”Kemudian, sesungguhnya Tuhanmu (mengampuni) bagi orang-orang yang mengerjakan kesalahan karena kebodohannya, kemudian mereka bertaubat sesudah itu dan memperbaiki (dirinya); sesungguhnya Tuhanmu sesudah itu benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
”Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubat yang semurni-murninya, mudah-mudahan Tuhan kamu akan menghapus kesalahan-kesalahanmu dan memasukkan kamu ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, ...
Dari firman Allah di atas, ia meyakini bahwa Allah akan memperbaiki kehidupannya dengan mengganti kebiasaan buruknya dan bahkan memperbaiki kehidupan lingkungannya. Hal ini ia buktikan (diujicobakan) setelah merasakan pemantapan keimanan, istighfâr dan ritualnya tersebut dengan memenuhi undangan komunitasnya yang sedang mabuk-mabukan. Ketika ia menghampiri mereka, ternyata botol-botol minuman keras malah disembunyikan dan dialog dalam komunitas tersebut berubah menjadi obrolan yang bernuansa agama, meski mulut mereka masih tercium aroma alkohol.
Seiring dengan perubahan orientasi arah hidup dan kebiasaan, komunitas yang melingkupinya ternyata juga mengalami perubahan. Jika biasanya ia berkumpul dengan komunitas preman, komunitasnya berganti menjadi pengajian majlis ta’lim, kemudian ia mulai didatangi tamu-tamu yang akan membentuk komunitas jamaah pengajiannya sendiri.
Dari sini terlihat adanya transformasi kepribadian pada diri Yono Menyan, dari kepribadian ammârah menjadi dan menuju ke arah kepribadian muthmainnah. Dari uraian di atas mungkin belum tampak jelas dalam hal apakah transformasi yang dilakukan adalah lompatan dari kepribadian ammârah langsung menuju kepribadian muthmainnah, dengan men-skipp kepribadian lawwâmah (kebimbangan). Dalam ketidakjelasan tersebut memunculkan dua pertanyaan: pertama, dimanakah letak kepribadian lawwâmah pada tahapan transformasi kepribadian Yono Menyan, dan kedua, apakah taubat yang dilakukannya terjadi ketika ia memasuki kepribadian lawwâmah atau muthmainnah?
Dalam menjawab kedua pertanyaan di atas, kepribadian lawwâmah (kebimbangan) diperoleh ketika sistem akal lebih dominan dari pada kedua sistem lainnya (nafsu dan kalbu). Pada kasus Yono Menyan kepribadian lawwâmah ini ia peroleh ketika sistem akalnya menjadi dominan. Ia berusaha me-review perjalanan hidupnya yang penuh masalah. Namun jika hanya dengan penggunaan rasio (akal) saja, kesadaran keberagamaannya tidak akan tercapai. Hal ini terbukti ketika masih menggunakan akal, ia sanggup mengatasi permasalahan-permasalahan yang melandanya, meskipun akhirnya mengalami jalan buntu juga. Penggunaan akal tersebut dilakukan dalam rangka memenuhi ego kebenaran pribadi (nafsu) atau bisa dikatakan nafsulah yang men-drive penggunaan akal. Bila hal ini dilakukannya ia akan terjebak untuk tetap pada kepribadian ammârah.
Berdasarkan hal-hal di atas, bisa dikatakan bahwa penggunaan akal pada diri Yono Menyan bukanlah sistem yang berdiri sendiri. Sistem akalnya sangat dependant terhadap sistem nafsu atau sistem kalbu. Akal hanya mengikuti salah satu dari kedua sistem tersebut, apakah hanya terhadap sistem nafsu atau kepada sistem kalbu. Ketika sistem akal yang dikendalikan sistem nafsunya ini mengalami jalan buntu atas permasalahan-permasalahan yang menghimpitnya, di situ lah sistem kalbunya mulai bekerja. Bekerjanya sistem kalbunya ini dipicu oleh fitrah intrinsik dari dalam dirinya yang menginginkan kebenaran dan menggerakkan dirinya menuju Tuhannya. Pada fase ini akalnya tidak dapat bekerja secara mandiri. Segenap realitas yang ada di depannya, sudah tidak mampu lagi diolah dengan akalnya. Pada saat itu yang ada hanya kepasrahan. Bentuk kepasrahan yang ia lalui dalam kesadaran awalnya adalah kepasrahan kepada Tuhan dan menggiringnya untuk melakukan pertaubatan.
Dengan kepasrahan ini ia melakukan perubahan radikal dalam dirinya untuk sepenuhnya menuju Tuhannya, dengan menyingkir masalah berikut penyelesaiannya. Hal ini terlihat dari doa awal ketika ia menjalani fase pertaubatan. Dalam proses istighfâr atas masa lalunya, ia memohon kepada Tuhannya untuk supaya bisa dekat kepada Tuhannya Permohonan berikutnya lebih bersifat meminta sarana dan perbekalan untuk bisa dekat kepada Tuhannya (meminta pembimbing salah satunya). Baru yang terakhir barulah doa berkaitan dengan penyelesaian masalah yang menimpanya. (lebih lanjut mengenai detail langkah taubat yang dilakukan Yono Menyan dapat dilihat pada bagian di atas dari ringkasan penelitian ini).
Kebimbangan yang mengiringi perjalanan transformasi kepribadian tidak terjadi dalam kehidupannya. Mengingat masalah kehidupan telah mendesak dan menyudutkannya hingga tidak mampu lagi bergerak dan akhirnya bersikap pasrah, menyerah pada Tuhannya. Oleh karena itu transformasi kepribadian yang dilakukan Yono Menyan dalam kaca mata psikologi Islami, ia telah mentransformasikan kepribadiannya dari kepribadian ammârah langsung menghijrahkan dirinya pada kepribadian muthmainnah, memenuhi panggilan hatinya menujut Tuhannya. Di sini kelihatan bahwa transformasi kepribadiannya tidak melewati kepribadian lawwâmah. Selanjutnya dapat digambarkan sebagai berikut:
Untuk membentuk pribadi yang baru yang berorientasi teosentris tersebut, ia senantiasa mengasah potensi kalbunya dengan ritual dzikir, puasa, agar mujâhadah dalam dzikir-doa agar mampu memahami kandungan-kandungan ayat dalam firman Tuhan (al-Qur'an). Pemahamannya akan ayat Tuhan tidak terbatas pada ayat-ayat qauliyah saja (teks mushaf al-Qur'an), melainkan ayat-ayat Tuhan yang secara dinamis berada dalam perjalanan hidup manusia (kauniyah). Ayat kauniyah tersebut dapat dipahami berdasarkan hikmah atau pelajaran hidup. Baginya, ia meyakini bahwa ayat Tuhan tidaklah statis yang dibatasi ruang gerak oleh bunyi teks-teks nash saja, melainkan dinamis dan universal. Ayat Tuhan baginya akan selalu abadi, berkembang melintasi batas ruang dan waktu, cocok diaplikasikan oleh siapa saja, dimana saja dan kapan saja. Bahkan ayat Tuhan terdapat pada diri manusia secara individual.
Dalam memahami ayat Tuhan tersebut, Yono Menyan berusaha memadukannya. Metodenya dalam mempelajari ayat Tuhan, seperti yang diajarkan oleh para gurunya adalah terlebih dahulu memohon hidayah (petunjuk pada Tuhannya), mengenai hal apa yang ingin ia pelajari dari ayat al-Qur'an dan selalu dikaitkan dengan peristiwa atau keinginan dalam kehidupan yang sedang ia jalani. Metode ini seperti berusaha mengadopsi mekanisme turunnya wahyu pada diri Nabi Besar Muhammad Saw, hanya saja dikaitkan dengan konteks kehidupan yang sedang dijalaninya. Dengan metode yang berusaha memadukan antara pendekatan deduktif dan induktif secara simultan, diharapkan pemahaman mengenai wahyu Tuhan akan dapat tertanam kuat di hatinya. Pemahaman deduktif yang dimaksud adalah pemahaman makna dan kandungan al-Qur'an, berikut ilham yang ia dapatkan dari pemahamannya tersebut. sedangkan pemahaman induktif ia peroleh dari hikmah-hikmah (pelajaran) yang ia peroleh dari pengalaman masa lalunya sendiri maupun pengalaman orang lain. Namun bila melihat pengalaman kehidupannya, turunnya (tertanamnya) ayat al-Qur'an dalam hatinya selalu lebih dahulu didahului peristiwa, kejadian atau masalah yang sulit ia pecahkan. Ketika ia menyerah dan bertawakkal pada Tuhannya, yang ia yakini sebagai Dzat Pemberi Masalah, maka pemahaman akan ayat Tuhan mulai menemukan titik terang dan baru bisa dijadikan solusi masalah ataupun pengetahuan yang tertanam dalam hatinya. Melalui peristiwa hidup yang senantiasa berulang-ulang dalam kehidupannya ini ia menyimpulkan bahwa ayat Tuhan, hanya bisa diserap secara total (holistik) dengan hati. Dan pelajaran yang mampu diserap hati adalah pelajaran yang diperoleh dengan hikmah (pelajaran pengalaman hidup). Selanjutnya dapat digambarkan sebagai berikut:

Faktor-faktor yang mempengaruhi Transformasi Kepribadian
Interaksi antara sistem kalbu, akal dan nafsu dalam perubahan karakter kepribadian tersebut di atas dipengaruhi oleh faktor-faktor, baik internal maupun eksternal. Faktor-faktor internal di antaranya: tujuan atau orientasi hidup, umur, motivasi, keinginan, kesadaran, nafsu, baik biologis maupun psikologis... sedangkan faktor eksternal yakni lingkungan, pengetahuan, teknologi. Namun dalam penelitian ini faktor-faktor di atas tidak diulas lebih detail, mengingat penelitian ini lebih difokuskan pada aspek psikologi dan terapi islami.
Dalam diri Yono Menyan faktor-faktor yang berpengaruh dalam dirinya mengalami perubahan seiring transformasi kepribadian yang dialaminya. Ketika ia mentransformasikan menjadi preman-gangster, faktor intrinternal yang paling mempengaruhinya adalah kurangnya pengetahuan agama dan minimnya perilaku religius dalam kehidupannya. Faktor dari dalam yang mendukung adalah keinginan untuk menemukan dan mengembangkan identitas diri dan basis moral kehidupannya. Hal tersebut ditambah dengan lingkungan rumah dan sekolah yang akrab dengan kemiskinan, tindak kekerasan dan premanisme (faktor eksternal). Akumulasi dari faktor-faktor di atas membentuk dirinya menjadi pribadi yang berakhlak madzmumah (buruk).
Sedangkan pada fase perubahan berikutnya, ketika ia bertaubat, faktor yang melatarbelakanginya antara lain: terbentur dengan masalah yang unsolved (kebuntuan dalam menyelesaikan masalah), hasil refleksi atas masa lalu dirinya bahwa masalah-masalah tersebut muncul karena kesalahan masa lalunya (kesadaran awal), dan kemudian ia menemukan realitas Tuhan dan Agama dalam dirinya (fitrah ketuhanan) yang kemudian ia jadikan sebagai arah tujuan hidupnya dan transformasi kepribadiannya. Faktor keluarga juga menjadi pemicu dirinya untuk menyelamatkan mereka dari pengaruh-pengaruh buruk masa lalunya. Ia berorientasi ke depan agar dapat mengentaskan diri dan keluarganya dari masalah dan hidup mulia dalam pandangan Tuhannya.

Mekanisme Taubat yang Dilakukan (Psikoterapi Islami)
Perubahan kepribadian yang ia lakukan dilaluinya melalui proses yang lumayan panjang. Salah satu media perubahan yang paling mendasar adalah taubat dan taubat yang ia lakukan selalu ia iringi dengan amal kebajikan. Baginya taubat adalah proses permohonan ampunan kepada Tuhannya atas dosa-dosa masa lalu yang harus diikuti dengan perubahan dengan perbaikan dalam kehidupan.
Ia merasa tidak memiliki format khusus yang ia jalani dalam pertaubatannya. Ia hanya menjalani saja firman Tuhannya yang ia rasa cocok dengan perjalanan hidupnya. Pelajaran mengenai taubat ia dapatkan dari kedua gurunya yang mengajarkan isi kandungan al-Qur'an dan kedua gurunya pun selalu menganjurkan kepada seluruh jamaahnya untuk mengesplorasi sendiri kandungan al-Qur'an dalam perjalanan hidupnya masing-masing. Isi kandungan ayat al-Qur'an tersebut ia rasakan pas dengan kondisi kehidupannya. Ayat tersebut ia pahami, didalami isi kandungannya dan ia aplikasikan dalam kehidupannya. Sebagai langkah taubatnya ia memperbanyak istighfâr (memohon ampun) baik untuk dirinya, keluarganya dan lingkungannya. Istighfâr ia lakukan terus baik di sela-sela ibadah mujâhadah, maupun waktu senggangnya. Untuk menunjang perubahan (perbaikan) hidupnya, ritual istighfâr ini selalu ia iringi dengan berbuat kebajikan (amal sholeh).
Menurut pengakuannya, dalam menjalankan ritual taubatnya, Yono Menyan tidak pernah mendapatkan terapi khusus dari guru-gurunya, sebagaimana seorang pasien berkonsultasi kepada dokter. Dalam menjalankan praktik taubatnya bersama jamaah pengajian guru-gurunya (pimpinan Kiai Yusak dan Abah Hamid), ia tidak pernah sekalipun bertanya ataupun konsultasi. Ia hanya mengikuti saja praktik mujâhadah yang dilakukan guru-gurunya beserta jamahnya, kemudian berusaha menganalisis sendiri dan mencerna seluruh materi ajaran yang diberikannya. Dalam melakukan analisis tersebut --seperti yang diajarkan oleh guru-gurunya-- ia selalu berdoa terlebih dahulu agar memperoleh bimbingan dari Allah akan isi kandungan ayat al-Qur'an. Para gurunya tersebut selalu berpesan dalam melakukan pekerjaan apapun dianjurkan untuk selalu melibatkan Allah. Guru hanya berfungsi sebagai juru bicara Tuhan, yang mengajarkan isi kandungan al-Qur'an berdasarkan hikmah yang ia dapatkan dan memberikan hantaran bimbingan menuju Tuhannya.
Berdasarkan hal tersebut terlihat bahwa upaya terapi taubatnya ia lakukan secara mandiri dengan melibatkan Tuhannya. Peran guru dalam proses taubat yang dilakukannya sangat kecil. Berhasil atau tidaknya proses taubat yang dilakukannya lebih banyak tergantung dua faktor: kesungguhan dirinya untuk kembali ke jalan Tuhannya dan keridloan Tuhannya, dan apakah Tuhannya memberi ampunan dan memperbaiki kehidupannya atau tidak. Psikoterapi secara mandiri tersebut lebih banyak ia lakukan dalam rangkaian kegiatan mujâhadah, dzikir, doa, istighfâr secara mandiri dan semuanya itu ia refleksikan melalui berbagai kegiatan maupun peristiwa yang terjadi dalam hidupnya, hingga menghasilkan hikmah/pelajaran.
Baginya taubat adalah ritual hidup. Pada dasarnya setiap manusia punya salah dan dosa. Dan kewajiban manusia adalah kembali dan mengembalikan sesuatunya kepada Tuhannya. Stereotypeal-insân mahâl al-khatâ’ wa al-nis-yân” ia kedepankan dalam pola hidup keberagamaannya, supaya ia bisa bertaubat dan ber-istighfâr kepada Tuhannya setiap waktu. Cara tersebut ia lakukan agar terus bisa berkomunikasi lebih intim dengan Tuhannya.
Agar bisa ber-istighfâr ia selalu memperhatikan perilaku dirinya, anak-istrinya, lingkungannya termasuk jamaahnya. Ia menjadikan mereka sebagai kaca benggala (cermin introspeksi) bagi dirinya. Ketika istrinya selalu menuntut materi duniawi, ia ber-istighfâr bahwa hal tersebut pernah menjadi orientasi masa lalunya. Ketika ia pernah memergoki anak sulungnya menghajar teman yang mengeroyoknya, ia ber-istighfâr akan masa lalunya dan meminta Tuhannya agar tidak mewariskan perilaku masa lalunya kepada anaknya. Ketika ia disapa oleh mantan teman-teman premannya yang berkumpul mengadakan pesta minuman keras, ia pun ber-istighfâr akan kebiasaan masa lalunya tersebut.


Simpulan
Bila kita tilik transformasi atribut sosial pada diri Yono Menyan, dari seorang preman menjadi kiai, dari seorang bajingan preman yang lekat dengan kejahatan menjadi orang alim yang mendedikasikan dirinya untuk Tuhannya dan sesama, terlihat jelas bahwa dibalik perubahan atribut sosial terdapat perubahan kepribadian. Yono Menyan membuktikannya, meskipun transformasi sosial tersebut berjalan mengalir (tanpa perencanaan) ataupun cita-cita. Transformasi kepribadian sebagai konsekuensi dari taubat dilakukannya ketika ia menghadapi unsolved problem dan menggiringnya untuk berjalan (hijrah) menuju Tuhannya (taubat). Pengalaman hidupnya tersebut menghasilkan hikmah (pelajaran hidup) yang dirasa bermanfaat bagi orang-orang sekitarnya. Hikmah yang dikombinasikan dengan pemahaman ayat Quran-Hadist, menjadi daya tarik yang cukup kuat bagi orang-orang yang mempunyai masa lalu dan ingin berubah seperti dirinya. Kumpulan dari mereka kemudian membentuk jamaah pengajian yang dipimpin olehnya.
Dalam psikologi agama, bisa dikatakan perubahan kepribadian adalah perubahan kepribadian secara bertingkat: dari pribadi ammârah (yang sarat dengan kejahatan dan dilingkupi nafsu hayawaniyah) meningkat menjadi pribadi lawwâmah (yang kepribadiannya didominasi sistem akal), dan kemudian meningkat lagi menjadi pribadi muthmainnah yang sangat teosentris dan menonjol sistem kalbunya dari pada akal dan nafsunya. Namun jika dilihat dari perjalanan hidupnya, transformasi kepribadian Yono Menyan mengalami leaping atau skipping (meloncat) dari pribadi ammârah langsung meloncat ke pribadi muthmainnah.
Loncatan transformasi kepribadian ini mengingat akumulasi dari unsolved problems yang dihadapinya memaksa dirinya untuk melakukan tranformasi kepribadian secara radikal. Hal tersebut dilakukan mengingat akalnya tidak mampu lagi berfungsi dalam menyelesaikan masalahnya dan ia berpaling kepada Tuhannya. Hal itu pula lah yang menjadi pendorong transformasi kepribadiannya. Di samping itu, faktor keluarga menjadi faktor pelecut semangatnya untuk segera melakukan perubahan. Ia tidak ingin anak-anaknya mewarisi perilaku masa lalunya dan meraih masa depan yang lebih baik dari dirinya.
Dalam pertaubatan (kembali kepada Tuhannya) tersebut, memunculkan kesadaran dan fitrah ketuhanannya. Kesadaran dan fitrah dalam dirinya ia temukan melalui ritual-ritual taubat seperti dzikir dan doa (terutama istighfâr). Untuk itu mekanisme taubat (psikoterapi Islami) yang dilakukan yakni: Pertama, mengorientasikan Tuhan dalam kehidupan keberagamaannya. Langkah pertama ini ia lakukan agar tidak terjebak pada tindakan syirik sebagaimana masa lalunya, disamping ingin mengembangkan hubungan yang lebih intim kepada Tuhannya. Kedua, melakukan ritual-ritual pembersihan hati dengan memperbanyak amal ibadah, dzikir, doa (terutama istighfâr), banyak mengkaji isi kandungan ayat al-Qur'an dan hadist, serta memperbanyak berbuat kebajikan (amal sholeh). Dengan mekanisme ritual ini ia meyakini akan terampuni dosanya dan diperbaiki kehidupannya oleh Tuhannya.
Langkah-langkah ini berbuah nyata dalam kehidupannya, yang menambah keimanannya akan kebenaran firman Tuhannya. Sehingga menjadi daya tarik yang kuat bagi orang-orang yang ingin mengikuti jejaknya, terutama jamaah (pengikutnya). Kedua hal inilah (al-Qur'an-Hadist dan hikmah) yang menjadi dasar pedoman dan kekuatan transformasi kepribadian yang dilakukannya.
Daftar Pustaka

al Syaibani, Muhammad al Toumy. 1979. Filsafat Pendidikan Islam (terjemah : Hasan Langgulung). Jakarta: Bulan Bintang..
Arifin, H.M. 2004. Psikologi Dakwah Suatu Pengantar Studi. Jakarta: Bumi Akasara.
Baharudin. 2004. Paradigma Psikologi Islam.Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Bastaman, Hanna Djumhana. 1995. Integrasi Psikologi dengan Islam : Menuju Psikologi Islami. Yogyakarta: Pustaka Pelajar..
Crapps, Robert W. 1993. Dialog Psikologi dan Agama: Sejak William James hingga Gordon W. Allport. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Danim, Sudarwan, 2002. Menjadi Peneliti Kualitatif. Bandung: Pustaka Setia.
Daradjat. Zakiah.  2005. Ilmu Jiwa Agama. Jakarta: P.T. Bulan Bintang.
Fuad. IZ.. dkk. Volume 7 Nomor 1 Tahun 2010. Persepsi dan Ketaatan Umat Islam Terhadap Kyai/Ulama. dalam Jurnal Penelitian STAIN Pekalongan.
Hawari, Dadang. 2002. Dimensi Religi dalam Praktek Psikiatri dan Psikologi. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
http://psychologyupdate.blogspot.com /2008/04/ psikologi- islami- dan- psikoterapi-islam.html
KBBI. 2008. Jakarta: Pusat Bahasa. Edisi Keempat.
Mar’at. 1982. Sikap Manusia : Perubahan serta Pengukurannya. Jakarta: Balai Aksara-Yudhistira dan Sa’adiyah..
Mubarok, Achmad.  “Jiwa Manusia: Perspektif Psikologi Islam dan Psikologi Modern”. disampaikan dalam diskusi serial Psikologi Islam di IIIT Indonesia pada 11 April 2002.
Mujib, Abdul. “Fitrah: Antara Potensi dan Implikasi Psikologis”. makalah yang disampaikan dalam diskusi serial Psikologi Islam di IIIT-I, 7 Mei 2002.
Mujib, Abdul. 2002.. Nuansa-Nuansa Psikologi Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada
Nashori, Fuad. 2002. Mimpi Nubuwat: Menetaskan Mimpi yang Benar. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Nasution, S.. 1996. Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif. Bandung: Tarsito.
Poerwandari. E.K.. 2001. Penelitian Kualitatif: Analisis dan Interpretasi. Jakarta : Pelatihan Metode Penelitian Kualitatif Tingkat Lanjut. Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya. LPUI..
Rakhmat, Jalaluddin. 2004. Psikologi Agama: Sebuah Pengantar. Bandung: Mizan.
Thoyibi. M. dan Ngemron, M. (ed.). 1996. Psikologi Islam. Surakarta: UMS Press.
Wuryo, Kasmiran. 1982. Pengantar Ilmu Jiwa Sosial. Jakarta: Erlangga.
Yasien, Muhammad. Fitrah: Inborn Natural Predisposition, http://www.angelfire.com/al/islamic_psychology
Zimbardo, Philip G.. 1979.  Essentials of Psychology and Life. London: Foresman & Company..
Zimbardo. Philip G.. 1977. Psychology and Life. Illinois: Scott.  Foresman and Company..




1 comments:

  1. Hallo, Selamat Siang. Saya Dian, dari salah satu stasiun televisi swasta. Saya tertarik dengan kisah Bapak Yono Menyan ini. Adakah contact person dari beliau yang dapat dihubungi? Terimakasih..

    BalasHapus