Selasa, 20 September 2011

PERSEPSI DAN KETAATAN UMAT ISLAM TERHADAP KYAI/ULAMA di Pekalongan

Persepsi dan Ketaatan Umat Islam Terhadap Kyai/Ulama
Studi kasus di Kabupaten Pekalongan
Iwan Zaenul Fuad, dkk

(dimuat dalam Jurnal Penelitian STAIN Pekalongan, volume 7 Nomor 1, Mei 2010)
Abstrak
People’s refusals and disobediences upon fatwa (released by MUI or ulama with their own opinions), followed by influence decreases of religious figures (ulama) towards Muslim community, were being such of phenomenal realities in Indonesia nowadays. This mass behavior might redefine their perceptions and thoughts about “the legitimate ulama”, according both; syara’ (religious legitimation), and social system. The research was located in Pekalongan Regency, thought-out known as “Kota Santri”, and plenty more, many Pesantren and Kyai have lived there. The result revealed that ulama and Muslim Community mostly had the same perception and view in understanding the meaning of Hadist “al-ulamaa’ waratsat al anbiyaa” (ulama are heir of prophets). Ulama’ as informants added ulama’ were religious successor leader after the end of Muhammad’s saw prophetic era. But, in another sides, there were some differences, especially in interpreting social label: Kyai, KH, or Ustadz. Muslim Community mostly thought that a person who had such social label was ulama. Meanwhile ulama noted Kyai, KH or Ustadz was just social label, no more. So, it seemed to be weird and screwy if we looked up the sosial fact of fidelity of Muslim Community in Pekalongan Residence. It also could be said that Muslim community in Pekalongan Residence were standing still their obidiece toward kyai, KH, Ustadz or another ones, not toward ulama yet.



A. PENDAHULUAN
Berbagai elemen masyarakat, baik yang berbasis agama atau non-agama telah ramai-ramai menyatakan penolakannya terhadap beberapa fatwa haram Majelis Ulama Indonesia (MUI). Mengenai Fatwa haramnya rokok yang diumumkan MUI pada tanggal 29 Januari 2009, misalnya, telah mendapat penolakan keras dari masyarakat -- termasuk ummat Islam. Masyarakat Kudus yang tergabung dalam Persatuan Perusahaan Rokok Kudus (PPRK), Forum Pengusaha Rokok Kudus (FPRK), Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri), sejumlah perguruan tinggi di Kudus, LSM, dan MUI Kudus, mengadakan pertemuan di aula DPRD Kudus yang intinya menolak fatwa MUI tersebut. Demikian halnya dengan fatwa MUI lainnya seperti pengharaman GOLPUT, doa bersama (antar agama), liberalisme, pluralisme, yoga dan tentang aliran Ahmadiyah juga mendulang kontroversi atau mendapat penentangan keras dari masyarakat. Benar atau tidaknya kabar tentang fatwa tersebut menjadi tidak penting lagi, karena masyarakat hanya merespon atas apa yang mereka dengar di media massa. Dan tampak jelas ketidaksenangan masyarakat atas fatwa yang diwartakan tersebut.
Apabila kita mengacu pada ungkapan hadits: al-‘ulama’ waratsatu al-anbiyaa’ (ulama’ merupakan pewaris para nabi) ditambah dalil perintah dalam al-Qur’an: Athii’uu Allaaha wa athii’uu al-Rasuul wa ‘uli al-amri minkum (taatlah kalian pada Allah dan Taatlah kalian kepada Rasul dan taatlah pada ulil amri kalian); tentu dalil ini dapat dijadikan hujjah (baca: legitimasi) akan keharusan umat untuk taat pada ulama. Namun apabila kita melihat fenomena ketidaktaatan ummat tersebut diatas, bisa saja muncul dugaan bahwa ulama telah ditinggalkan atau sudah tidak dipercaya lagi oleh ummatnya, sehingga masing-masing mengambil jalannya sendiri.
Selain itu, tidak dapat dipungkiri bahwa ketidakpercayaan atau ketidaktaatan ummat kepada ulama tersebut bertumpu pada permasalahan legitimasi/otoritas dan ketaatan. Apakah orang-orang yang bergelar Kyai, KH atau Ustadz dalam masyarakat adalah orang-orang yang mempunyai kapasitas sebagai ulama?  Berkaitan dengan ketaatan masyarakat, tentunya tidak lepas dari persepsi mereka (baik masyarakat maupun ulama’) terhadap eksistensi lembaga ulama itu sendiri.
Penelitian ini mengambil lokasi di Kabupaten Pekalongan dengan pertimbangan Kabupaten Pekalongan merupakan Kota Santri dan terdapat banyak pesantren serta kyai berpengaruh di sana. Terlebih lagi, pola pandang keberagamaan masyarakatnya masih tradisional berkenaan dengan ketaatan pada ulama.

Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan analisis deskriptif-interpretatif. Dalam hal ini peneliti akan menganalisa berbagai data dan juga fakta yang ditemukan di lapangan dengan memberikan interpretasi seperlunya, dengan harapan hasil penelitian dapat lebih menyajikan data yang matang namun dapat dipertanggungjawabkan.
Jenis penelitian ini adalah penelitian lapangan, dalam hal ini peneliti melakukan upaya pencarian data-data dan fakta langsung dari lapangan. Peneliti mengunakan metode pendekatan kualitatif atau naturalistik (Nasution, 1996: 12) dengan pendekatan yang induktif-fenomenologis karena ingin  menjelaskan dan menganalisis  pemahaman sampai pada taraf apa yang ada di balik kepala para ulama dan ummat (masyarakat) Kabupaten Pekalongan tentang definisi ‘ulama berikut ketaatan umat terhadap ulama . Penelitian ini menggunakan paradigma interpretative (Ritzer, 1992: 23). Persoalan pokok paradigma konstruktivisme ialah interaksi antara peneliti dan objek yang dicermati, sehingga akan berpengaruh pada nilai-nilai yang dianut dan dapat memberikan alternatif pandangan dalam mencari kebenaran tentang realitas sosial (Salim, 2001:61).
Metode pengumpulan data yang dipakai dalam penelitian ini adalah wawancara mendalam (indept interview) dan terstruktur (structured interview). Wawancara dilakukan terhadap narasumber kunci (ulama yang berpengaruh dan masyarakat di wilayah Kabupaten Pekalongan) yang dipilih secara purposive sampling (Maleong, Lexy J., 2000: 63) sesuai dengan kebutuhan. Dengan teknik ini diharapkan data yang diperoleh bersifat terstruktur dan mendalam.

Hasil penelitian
A.      Persepsi ‘Ulama dan Masyarakat Tentang Ulama Yang “Legitimate
Dalam menggali permasalahan tentang persepsi ‘ulama dan masyarakat kabupaten pekalongan tentang ulama yang “legitimate ini, peneliti memakai 2 sudut pandang; yakni sosial dan syara’. Penggunaan 2 sudut pandang diharapkan penelitian ini mampu menggambarkan sosok ulama yang legitimate secara sosial maupun keagamaan. Penggalian persepsi dari masyarakat ditujukan memperoleh gambaran ulama yang legitimate secara sosial. Sedangkan penggalian persepsi dari ulama’ bertujuan mendapatkan sosok ulama yang legitimate secara keagamaan (syara’).
Dari fakta ini, diharapkan akan terlihat jelas adanya perbedaan paradigma antara masyarakat dengan kyai/’ulama dalam memandang legitimasi seorang ‘ulama. Lain dengan ulama yang melihat eksistensi ulama dalam kerangka ilmu agamanya yang dianggap masyarakat lebih mumpuni, masyarakat umum cenderung tidak melihat detail posisi ulama dalam detail ilmu keagamaan. Hal ini bisa dimaklumi mengingat beragamnya kapasitas keilmuan masyarakat dalam memandang hal tersebut. Mereka tentunya lebih mengutamakan legitimasi sosial dari seorang kyai/’ulama, yakni sejauh mana sang kyai/ulama mempunyai pengaruh dalam kehidupan sosial masyarakat. Kalaupun mereka memandang dari sisi agama, maka pandangan tersebut berada dalam kerangka pandang yang lebih besar lagi yakni, sosial (masyarakat).
Dari penggunaan 2 sudut pandang tersebut diperoleh hasil bahwa antara masyarakat dan kyai/ulama mempunyai beberapa persamaan dan perbedaan dalam mempersepsikan keberadaan lembaga ulama itu sendiri, yakni sebagai berikut:
1.      Karakteristik Ulama menurut Kyai/ulama dan masyarakat
Masyarakat dan ulama Kabupaten Pekalongan pada umumnya mempunyai pemahaman yang sama atas makna Hadist “al-ulamaa’ waratsat al anbiyaa”  (ulama adalah pewaris Nabi). Hadist ini tampaknya menjadi titik tolak penafsiran yang bersifat menyeluruh dalam memahami teks-teks nash berkaitan dengan nabi/rasul dan ‘ulama. Dalam hal ini didapat pengertian bahwa agar ‘ulama/kyai dapat menjalankan peran yang selama ini dijalankan oleh para Nabi, maka kyai/’ulama harus meneladani perilaku para nabi. Konsekwensinya, ayat-ayat yang berlaku terhadap diri para nabi ataupun menggambarkan sifat-sifat nabi, maka ayat tersebut berlaku juga untuk ‘ulama. Dan ternyata, konsekwensi tersebut tidak hanya meliputi perilaku dan perkataan ‘ulama yang harus mengikuti uswah hasanah dari nabi, melainkan juga konsekwensi ketaatannya. Dimana jika ada ayat yang memerintahkan untuk taat pada Rosul/Nabi, maka itu berarti ayat tersebut juga berarti membawa perintah untuk taat pada ‘ulama.
Hadist tersebut dalam pemahaman narasumber kyai/’ulama berarti bahwa tidak ada lagi Nabi sepeninggal Nabi Muhammad saw. Namun meski Nabi dan Rasul sudah tidak ada lagi, peran yang ditinggalkannya tidak lantas menghilang seiring wafatnya para nabi, melainkan peran ini masih eksis (ada) dan yang menjalankannya atau menggantikan posisi nabi adalah ‘ulama.
Tampaknya pemahaman dalam pengertian (hadist) di atas sedikit banyak dipahami oleh masyarakat. Hal tersebut terbukti dengan banyaknya narasumber masyarakat yang masih mengidealkan peri kehidupan para pemuka agama zaman sekarang sebagaimana pada zaman para nabi atau ketika nabi-nabi masih hidup dan bertugas.
Ulama sebagai narasumber menambahkan bahwa hadist tersebut berarti pula sebagai berikut:
·         Tidak ada nabi pasca Rasul saw, dan yang menjalankan peran nabi sepeninggal Rasul saw adalah ‘ulama;
·         Ciri-ciri nabi melekat pula pada diri ulama;
·         Perilaku ulama harus meneladani perilaku nabi;
·         segala perkataan ulama punya kewajiban untuk ditaati sebagaimana keharusan untuk taat pada nabi;
·         Ayat-ayat tentang Nabi berlaku juga kepada Ulama
Selanjutnya dalam pengkriteriaan ulama antara masyarakat dan ulama terdapat beberapa persamaan dan perbedaan. Secara umum ulama dikriteriakan oleh masyarakat dengan ciri-ciri:
·         Harus bisa baca tulis al-Qur’an dengan lancar;
·         Mengajar kitab-kitab salaf: fiqh, tajwid, tauhid dst;
·         Mempunyai halaqoh/kelompok pengajian;
·         Mempunyai pengikut/jamaah;
·         Dipanggil/dijuluki/diberi gelar “kyai”/’ulama oleh masyarakat;
·         Berdakwah di mimbar, ceramah, mengisi pengajian, dsb;
·         Melaksanakan rukun-rukun Islam;
·         Kehidupan rumah tangganya damai, dan anggota keluarganya hidup dalam bingkai norma agama;
·         Senantiasa berdzikir dan ber-istighfar (memohon ampunan);
·         Harus bisa menjadi panutan bagi pengikutnya atau masyarakat;
·         Harus bisa memberi solusi atas problem kehidupan masyarakat/pengikutnya;
·         Harus bisa amar ma’ruf nahi munkar;
·         Tidak punya track record (masa lalu) yang buruk, misalnya, bekas pezina, pemabuk, narapidana dsb;
·         Ulul albab (orang yang selalu berdzikir dan memikirkan ayat-ayat Allah);
·         Dicintai oleh Allah (menjadi kekasih Allah), menjadi Waliullah;
dan hanya sebagian kecil dari narasumber yang menambahkan kriteria ulama dengan ciri-ciri:
·       Mempunyai pondok pesantren
·       Khusyu’ dalam sholat
·       Mengerjakan ibadah-ibadah sunnah
·       Punya kesaktian, seperti; ilmu kebal, indera keenam, dan kelebihan supranatural lain.
Persepsi masyarakat tentang kyai/’ulama tersebut bisa menjadi dasar/acuan bahwa seseorang memperoleh legitimasi sebagai kyai/’ulama, apabila mempunyai ciri-ciri tersebut di atas. Di samping itu, pengkriteriaan ini bisa menjadi gambaran umum masyarakat tentang kyai/ulama yang legitimate secara sosial.
Berbeda dengan persepsi masyarakat, persepsi kyai/’ulama sendiri tentang ‘ulama yang legitimate pada umumnya, diantaranya yakni:
·         Bersikap waro’ dan zuhud
·         Beriman, bertaqwa, beribadah, bertawakkal, bertauhid,
·         harus mampu mengendalikan/menguasai hawa nafsunya
·         harus faham akan ayat-ayat al-Qur’an
·         harus memegang teguh pada Quran sbg sumber kebenaran
·         harus menahan pandangan mata dan kemaluan
·         harus menjadi pemimpin/punya pengikut
·         harus menjadi panutan bagi masyarakat
·         Ulul albab (selalu berdzikir dan memikirkan ayat-ayat Allah)
·         Dicintai oleh Allah (menjadi kekasih Allah), menjadi Waliullah.
·         Seringkali ia masih keturunan kyai/ulama, wali atau bahkan dari golongan habaib.
Meski demikian masih ada sebagian kecil kyai/ulama yang mengkriteriakan lain, diantaranya:
·         Harus memahami dan mampu mempraktekkan ilmu tajwid, nahwu-shorof, balaghoh, mantiq dan sebagainya.
·         minimal Harus bisa baca tulis al-Qur’an dengan lancar
·         harus mempunyai ilmu kesaktian, kedigjayaan, indera keenam dsb
·         Tidak punya track record (masa lalu) yang buruk, misalnya, bekas pezina, pemabuk, narapidana dsb.
·         harus lulusan atau pernah belajar dari pondok pesantren
·         Sudah melalui fase dalam toriqoh (tarekat)
Dari uraian diatas, tampak jelas jurang perbedaan persepsi antara masyarakat dan kyai/ulama dalam mengkriteriakan gambaran sosok ulama. Hal ini bisa dipahami mengingat sudut pandang keduanya yang berbeda dalam menggambarkan sosok ulama yang legitimate tersebut. Namun apabila pandangan antar keduanya (‘ulama dan masyarakat) disatukan, maka berdasarkan hasil penelitian diatas didapat kriteria ‘ulama yang legitimate secara sosial dan keagamaan, yakni sebagai berikut:
1.      Harus bisa amar ma’ruf nahi munkar;
2.      Ulul albab (orang yang selalu berdzikir dan memikirkan ayat-ayat Allah);
3.      Dicintai oleh Allah (menjadi kekasih Allah), menjadi Waliullah;
2.      Gelar Kyai, KH atau Ustadz = Gelar Agama atau Gelar Masyarakat?
Pada umumnya, dalam masyarakat orang yang dianggap mempunyai ilmu dan keshalehan agama diberi gelar Kyai, KH, ustadz dan lain sebagainya. Masyarakat pada umumnya berpendapat bahwa orang yang mempunyai gelar Kyai, KH, ustadz dan gelar keagamaan lainnya adalah ulama dalam pandangan syara’. Padahal hal tersebut berbeda dengan persepsi kyai/ulama yang berpandangan bahwa gelar tersebut hanya gelar sosial semata dan bukan gelar agama. Hal ini berarti bahwa orang yang memiliki gelar-gelar keagamaan tersebut belum tentu merupakan ulama dalam kaca pandang syara’.
Di sini sebenarnya peneliti berusaha mengajak masyarakat (narasumber) untuk mempertanyakan kembali apakah persepsi masyarakat terhadap kyai/ulama adalah sama dengan persepsi Allah terhadap kyai/ulama. Dengan kata lain, peneliti berusaha menguji apakah dalam persepsi masyarakat, orang yang bergelar kyai adalah ‘ulama dalam pandangan Allah.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa masyarakat sendiri (narasumber) berbeda pendapat dalam  tersebut. Alasan yang dikemukakan adalah anggapan bahwa ulama mempunyai pengetahuan, perilaku dan kedudukan yang dekat dengan Allah. Ini artinya narasumber tersebut diatas berusaha membenarkan persepsi bahwa seseorang yang bergelar kyai/ulama dalam masyarakat adalah ‘ulama di mata Allah.
Namun ada juga beberapa narasumber yang setuju, tidak atau enggan mengungkapkan alasan mereka. Hal ini berarti narasumber yang setuju tidak punya alasan yang kuat untuk mendukung pernyataan/jawaban mereka.
Selain itu ada beberapa narasumber yang tidak setuju dengan pernyataan bahwa orang (kyai/ulama) yang mempunyai gelar “Kyai, KH” atau Ustadz” adalah seorang ‘ulama di mata Allah, dengan alasan:
1.      Gelar “Kyai, KH” atau Ustadz” adalah gelar di mata masyarakat. Sedang dimata Allah belum tentu demikian. Ada pula yang menjawab;
2.      hal tersebut bersifat “relative”, karena orang/masyarakat pada umumnya tidak mengetahui dengan pasti kedudukan seseorang di mata Allah.
Walhasil, ternyata masyarakat (diwakili narasumber) pada umumnya masih berpendapat bahwa siapapun yang bergelar Kyai, KH, atau Ustadz adalah ‘ulama dalam pandangan Allah. Atau dengan kata lain mereka (narasumber yang setuju) berpendapat pandangan masyarakat tentang Kyai/ulama dengan pandangan Allah tentang Kyai/ulama adalah sama.
Namun ternyata persepsi berbeda terlihat manakala peneliti melakukan eksplorasi data terhadap narasumber lain, yakni kyai/’ulama yang notabene menempati level teratas dalam stratifikasi sosial di bidang keilmuan agama masyarakat. Dalam pandangan mereka (‘ulama) ternyata gelar-gelar seperti Kyai, KH, atau Ustadz adalah gelar yang diberikan masyarakat dan bukan gelar yang diberikan Allah yang menunjukkan sesorang tersebut adalah ‘ulama.
Namun narasumber sendiri (para kyai/’ulama), mereka tidak mau memproklamirkan/mendakwakan dirinya atau di antara mereka adalah termasuk ‘ulama di mata Allah. Hal tersebut dikarenakan dalam mengenali apakah seseorang adalah ‘ulama di mata Allah, memerlukan pengetahuan yang lebih dalam untuk mengetahuinya. Dan kalaupun mereka termasuk dalam kualifikasi ‘ulama di mata Allah, bagi narasumber rasanya tidak etis atau taboo untuk mengatakannya.
Berdasarkan pengamatan peneliti, sikap tidak jelas yang ditunjukkan responden kyai/’ulama tersebut tampaknya sengaja dikemukakan mengingat:
1.      ada 2 kemungkinan, yakni diri mereka adalah’ulama di mata Allah, namun ada kemungkinan lain, (dengan melihat dalil-dalil nash tersebut) ternyata mereka bukan ‘ulama di mata Allah, melainkan hanya dianggap sebagai kyai/’ulama oleh masyarakat saja.
2.      Bila diri mereka termasuk kyai/’ulama di mata Allah, mereka merasa tidak etis atau menganggap sebagai hal yang tabu untuk memproklamirkan di hadapan khalayak masyarakat, bahwa diri mereka adalah ‘ulama di mata Allah. Namun untuk menjelaskannya mereka biasanya menggunakan bahasa kiasan atau bahasa yang secara tidak langsung menjelaskan akan eksistensi mereka.
3.      Namun bila mereka adalah ‘ulama di mata masyarakat saja dan bukan ‘ulama di mata Allah, dikuatirkan mereka (narasumber kyai/ulama) akan malu menyatakannya, dan akan berlindung pada alasan-alasan mereka sendiri. Lain halnya apabila narasumber (kyai/’ulama) yang bersangkutan berlaku fair (jujur) terhadap ayat-ayat Allah dan eksistensi dirinya yang sejati.
4.      Jika sudah demikian, wal hasil, apakah narasumber termasuk ‘ulama di mata Allah atau tidak, masih sulit untuk mendapatkan keterangan yang jelas dari mereka secara langsung dan tegas.
Dari pada mengatakan hal yang tidak etis tersebut, mereka cenderung menyatakan kualifikasi/kriteria ulama di mata Allah saja yang bersumber dari dalil-dalil nash.
Namun setidaknya dalam penelitian ini telah diperoleh kualifikasi/kriteria ‘ulama baik secara sosial maupun keagamaan. Kualifikasi tersebut secara tidak langsung sebenarnya ingin menyatakan siapa-siapa saja yang termasuk kategori ‘ulama, yakni orang-orang yang telah memenuhi kriteria tersebut di atas, tergantung dari cara pandang mana kita melihatnya, dari sisi agama atau sosial?
Dan dari kedua persepsi tersebut, semakin memperlihatkan jurang perbedaan pandangan antar keduanya, masyarakat dan kyai/ulama.
3.      Munculnya gelar Kyai/Ulama
Hasil penelitian terhadap masyarakat diperoleh hasil bahwa mengenai alasan seseorang memperoleh gelar kyai/ulama, para narasumber (masyarakat) berbeda pendapat. Meski demikian mereka sama-sama mengakui bahwa seseorang dianggap sebagai kyai/’ulama karena kualitas pribadinya. Meskipun demikian sebagian narasumber yang menambahkan syarat bahwa seseorang meraih gelar kyai/ulama dengan pengakuan masyarakat.
Imbas dari pendapat dari narasumber ini adalah bisa jadi seseorang menjadi kyai/ulama, dengan atau tanpa pengakuan dari masyarakat. Di sisi lain orang tidak bisa menjadi kyai/’ulama, kalau masyarakat tidak mengakuinya. Namun demikian, pengakuan dari masyarakat menjadi tidak berarti, jika kualitas pribadi sang kyai/’ulama tidak memadai.
Pertanyaan tersebut sebenarnya bisa diperluas, dengan menambahkan; siapa yang memberi gelar?, dan kalau memerlukan pengakuan dapat ditambahkan pertanyaan; siapa yang memberikan pengakuan tersebut?
Jawaban atas pertanyaan tersebut dapat diintip dan dikuak bila kita melihat dari 2 sudut pandang: Pertama sudut pandang sosial/masyarakat, yakni untuk melihat sejauh mana legitimasi sosial lembaga kyai’’ulama tersebut dalam kehidupan masyarakat. Kedua dari sudut pandang agama/keagamaan, untuk melihat legitimasi agama dari sebuah lembaga yang bernama ‘ulama.
Oleh karena itu penelitian juga dilakukan terhadap narasumber lain (kyai/’ulama yang berada di Kabupaten Pekalongan). Dan diperoleh hasil bahwa seorang ‘ulama memperoleh gelar tersebut karena 2 sebab yang saling berkaitan:
1.      Karena kualitas pribadinya, dimana mereka telah menempa diri mereka agar sifat dan kualitas meneladani perilaku para nabi.
2.      Karena mendapatkan pengakuan/penunjukan/instruksi dari Allah untuk menyampaikan ayat-ayat Allah kepada masyarakat. Meski alasan ini sulit diterima oleh sebagian kalangan karena beranggapan bahwa tidak mungkin Allah melakukan komunikasi dengan manusia namun berdasarkan penelitian terhadap ulama, data tentang alasan ini diperoleh.
Jadi, secara kualitas pribadinya, seseorang bisa mendapatkan gelar ulama harus menempa diri mereka agar sesuai dengan kriteria kepribadian para nabi hingga kemudian datang keputusan Allah untuk mengangkatnya menjadi ulama/penyampai risalah-risalah-Nya kepada ummat.
Hasil penelitian diatas semakin jelas memperlihatkan pandangan keduanya, dimana kyai/ulama berpendapat bahwa gelar-gelar tersebut (Kyai, KH, Ustadz dsb.) adalah gelar yang berasal dari (pengakuan) masyarakat dan bukan berasal dari lingkup agama itu sendiri (pengakuan Tuhan). Sementara masyarakat beranggapan bahwa orang yang mempunyai gelar keagamaan tersebut adalah ulama di mata Allah. Jadi bila seseorang bergelar KH misalnya, masyarakat beranggapan bahwa ia juga merupakan ulama dalam lingkup agama (dalam pandangan Tuhan).
4.        Peran Ulama dalam masyarakat
Dalam masyarakat, kyai/’ulama merupakan jabatan fungsional. Dalam artian bahwa seorang kyai/’ulama pasti menjalankan peran-peran tertentu dalam kehidupan masyarakat.
Berdasarkan penelitian, didapat hasil bahwa masyarakat (diwakili narasumber) mempunyai harapan tertentu mengenai peran apa yang seharusnya diambil oleh kyai/ulama dalam kehidupannya di tengah masyarakat. Di antaranya adalah sebagai berikut:
1.      ceramah keagamaan;
2.      bimbingan (konseling) keagamaan;
3.      amar ma’ruf-nahi munkar;
4.      mengajak masyarakat ke jalan yang benar;
5.      mendidik masyarakat untuk beriman dan bertakwa;
Peran-peran di atas sebenarnya menjadi ciri karakteristik seorang kyai/ulama di mata masyarakat. Hal tersebut dikarenakan institusi kyai/’ulama dikenal oleh masyarakat karena peran-perannya tersebut.
Peran ‘ulama tersebut diatas tampaknya didasari pada anggapan bahwa ‘ulama adalah pewaris para nabi. Ketika nabi sudah tidak ada, maka peran yang selama ini dijalankan oleh nabi dipegang oleh ‘ulama.
Sedangkan dalam penelitian terhadap narasumber kyai/’ulama, didapat pandangan bahwa ‘ulama adalah jabatan agama atau jabatan di hadapan Allah, sebagaimana nabi atau rasul, oleh karena itu hanya Allah lah yang berhak mengangkatnya. Lain halnya apabila ‘ulama adalah jabatan atau lembaga masyarakat, di mana masyarakat lah yang menentukan apakah seseorang termasuk ‘ulama atau bukan.
Dalam hal peran lembaga ‘ulama menurut narasumber (‘ulama) salah satunya didasarkan pada keberadaaan hadist al-’ulama warastat al-anbiyaa’, sehingga peran ‘ulama tidak ubahnya dengan fungsi dan peran nabi dalam kehidupan masyarakat, yakni diantaranya:
1.      sebagai pemimpin (keagamaan) masyarakat;
2.      sebagai pengajak masyarakat (da’i) untuk menyembah Allah saja.
3.      sebagai penyampai ayat-ayat Allah (muballigh) kepada masyarakat;
4.      sebagai pemberi petunjuk kepada masyarakat;
5.      sebagai panutan (pemberi uswah hasanah) masyarakat;
6.      amar ma’ruf nahi munkar, sehingga memungkinkan ia menjadi pengontrol nilai dalam kehidupan masyarakat.
Berdasarkan hasil penelitian diatas, dapat dikatakan bahwa dalam hal fungsi dan peran ulama dalam masyarakat, antara masyarakat dan ulama tidak terdapat perbedaan yang berarti dalam mempersepsikannya, karena hal tersebut ternyata relatif telah banyak diserap dan dicerna oleh masyarakat.
Bagaimanapun peran-peran tersebut akan bersentuhan secara langsung dengan masyarakat. Melihat peran sentral ‘ulama tersebut diatas, sangat dimungkinkan peran-peran tersebut berkembang lebih luas dalam masyarakat tergantung seberapa besar tingkat penerimaan masyarakat terhadap kyai/’ulama. Dalam masyarakat terkadang peran ‘ulama tersebut berkembang menjadi semacam sebuah profesi seperti: penceramah/muballigh, konselor, pendidik: guru, ustadz, kyai pondok dan sebagainya.
5.        Perilaku Ulama: Yang Seharusnya dan Tidak Seharusnya
Bagaimanapun keberadaan kyai/’ulama adalah sebuah institusi yang dinilai berdasarkan perbuatan atau perilakunya. Bila seseorang mempunyai kedudukan sebagai ‘ulama pasti akan dinilai oleh masyarakat, dan perilaku menjadi salah satu aspek penting penilaian mereka.
Sebagai seorang manusia tentunya seorang kyai/’ulama juga tidak luput dari salah dan dosa bersumber dari dalil hadist “al-insaan makhall al-khattaa’ wa al-nis-yaan”. Manusia tempat salah dan lupa. Namun demikian masyarakat mempunyai tuntutan tentang bagaimana seharusnya seorang kyai/’ulama bertingkah laku.
Opini yang berkembang di tengah masyarakat tentang bagaimana seharusnya perilaku ulama (yang wajib dilakukan dan tidak boleh dilakukan), didapat hasil dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.      Yang seharusnya dilakukan:
a.       memberi contoh (tauladan) yang baik;
b.      amar ma’ruf-nahi munkar;
c.       bertingkah laku baik dan sopan sesuai syariat Islam.
2.      Yang tidak boleh dilakukan:
a.       berbuat yang menyimpang dari syariat Islam;
b.      melakukan perbuatan ma’shiat (mencuri, berzina, maksiat).
Hal ini berarti, seorang kyai/’ulama diharapkan berperilaku yang baik dan sopan dalam menjalankan perannya dalam masyarakat dan tidak boleh berperilaku menyimpang dari syari’at (ma’syiat).
Resiko dari tuntutan masyarakat di atas, adalah dimungkinkan masyarakat berpaling dari sang kyai/ulama, apabila yang bersangkutan bertingkah laku tidak sesuai dengan harapan masyarakat.
Bagi narasumber kyai/’ulama, ‘ulama seharusnya bertingkah laku sebagaimana perilaku Nabi, baik yang seharusnya dilakukan maupun yang tidak boleh dilakukan. Perilaku yang diharapkan yakni berperilaku seperti personalitas sifat-sifat nabi dan menjalankan peran-peran yang diembannya. Dan tidak diperkenankan berperilaku ma’shiat terhadap perintah Allah.
Disini terlihat pandangan masyarakat dan kyai/ulama masih sejalan, meski yang dikemukakan oleh kyai/ulama merefleksikan kapasitas ilmu agamanya yang lebih mendalam dari masyarakat kebanyakan.
B.       KETAATAN MASYARAKAT TERHADAP ULAMA
Secara sosiologis, seseorang bisa berlaku taat/patuh adalah merupakan imbas dari persepsinya terhadap suatu norma, atau institusi lain –termasuk ulama. Hal tersebut tidak terlepas dari hubungan yang saling mempengaruhi antar masyarakat untuk taat/patuh pada perilaku maupun fatwa ‘ulama. Hubungan yang saling mempengaruhi tersebut disebabkan kepentingan yang ada di antara mereka
Leopol Pospisil (Pospisil, 1971), menyatakan bahwa seseorang dapat berlaku patuh/taat kepada hukum disebabkan beberapa faktor:
a.       Mengharapkan imbalan, atau untuk menghindari hukuman yang muncul dari peraturan yang bersifat memaksa.
b.      Ingin mempertahankan hubungan dirinya dengan tokoh-tokoh tertentu.
c.       Karena nilai-nilai yang terkandung dalam peraturan (hukum) tersebut sesuai dengan nilai-nilai yang dianutnya
d.      Kepentingannya diakomodir dalam produk hukum tersebut.
Untuk lebih jelasnya perilaku ketaatan masyarakat Kabupaten Pekalongan terhadap kyai/ulama, dapat didokumentasikan sebagai berikut:
1.      Absolusitas Ketaatan dan Faktor Penyebabnya
Apabila kita memandang ketaatan umat terhadap ‘ulama dari sisi agama, maka akan terlihat absolutitas ketaatan yang bersumber pada nash-nash dalil agama. Berdasarkan penelitian terhadap narasumber kyai/’ulama didapat data bahwa perintah untuk taat kepada ‘ulama adalah wajib, yakni sebagaimana kewajiban untuk taat kepada rasul. Persepsi demikian didasarkan pada pemahaman atas 2 dalil syara’, yakni athî’û allâha wa athî’û al-rasûla ……(QS. Ali Imron/3 ayat 32 ) dan teks hadist al-’ulamâ waratsat al-anbiyâ.
Secara sosial, ketaatan maupun ketidaktaatan masyarakat terhadap kyai/ulama, didasarkan pada 2 faktor penyebab: internal dan eksternal. Faktor internal disebabkan perkataan maupun perilaku sang kyai/’ulama itu sendiri. Sedangkan faktor eksternal disebabkan tingkat akseptabilitas masyarakat dalam menyerap perilaku dan perkataan kyai/ulama untuk dijadikan tauladan/panutan.
Masyarakat pada umumnya berpendapat bahwa taat pada kyai/ulama adalah wajib hukumnya dan dalam kondisi apapun. Hanya sebagian kecil berpendapat sebaliknya. Alasan ketaatannya tersebut diantaranya:
a.       pengetahuan dan keilmuan sang kyai/’ulama dianggap lebih mumpuni.
b.      “‘ulama adalah pewaris para Nabi”, alasan yang bersumber dari dalil nash hadist. Hadist ini dijadikan dasar sikap ketaatan mereka.
c.       ketaatan kepada kyai/ulama tersebut dilandasi pada keinginan (narasumber) untuk mencari kehidupan yang lebih baik di sisi Allah.
Secara sepintas tampaknya tipikal ketaatan mereka kepada kyai/’ulama, menganut “ketaatan absolut”, namun berdasarkan data yang peneliti peroleh dari narasumber, ternyata masyarakat menerapkan sifat “bersyarat” dalam ketaatan mereka terhadap kyai/’ulama. Dalam arti, bisa jadi seorang santri (anggota masyarakat yang mempunyai kyai/’ulama panutan) akan bersikap tidak langsung patuh/taat terhadap kyai/’ulama, melainkan ketaatannya tersebut didasarkan pada faktor-faktor lain yang melingkupinya.
Pada umumnya narasumber yang menyatakan wajib berlaku taat kepada kyai/’ulama, (asalkan) mereka menetapkan syarat sebagai berikut:
·         ‘ulama tersebut adalah bukan pelaku maksiat; pezina, pemabuk, tidak beribadah, dsb.
·         Jika ulama tersebut tidak berlaku “Jarkoni”, hanya ‘ngomong doang’, tapi tidak melaksanakannya.
·         yang dibicarakan sesuai dengan keinginan Allah dan Rasul-Nya (dalam al-Qur’an dan Hadist);
·         apa yang dibicarakan ulama tersebut merupakan kebajikan;
·         apa yang dibicarakan ulama sesuai dengan akal sehat (masuk akal);
·         apa yang dibicarakan ulama sesuai dengan pemahaman;
·         apa yang dibicarakan dan dilakukan kyai/’ulama sesuai dengan adat keagamaan dan peribadatan masyarakat.
Sebaliknya, jika perilaku maupun perkataan kyai tidak sesuai dengan syarat-syarat di atas, masyarakat akan cenderung berlaku tidak taat.
Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa ketaatan terhadap kyai/’ulama menjadi absolut adalah berdasarkan studi secara keagamaan saja, sedangkan dalam ranah sosial, ketaatan masyarakat terhadap kyai/’ulama tersebut menganut “ketaatan bersyarat” (tidak absolut). Jika perkataan dan perilaku sang kyai/ulama sesuai akal sehat, maka masyarakat pada umumnya akan berlaku taat. Lain halnya jika tindakan dan ucapannya tidak masuk akal, sangat dimungkinkan masyarakat akan berlaku sebaliknya.
Syarat-syarat ketaatan yang diajukan oleh masyarakat, dapat dipahami sebagai bagian dari penerimaan mereka terhadap institusi agama (termasuk kyai/ulama). Penerimaan atau penolakan mereka (demikian juga dengan ketaatan dan ketidaktaatan) tentu saja harus dilihat dalam konteks sosial. Seumpama mereka menggunakan pendekatan keagamaan, hal ini karena penerimaan mereka terhadap instrumen agama.
Oleh karena itu berdasarkan hasil penelitian diatas, dapat dikatakan bahwa masyarakat pada umumnya berlaku taat pada kyai, namun belum tentu taat pada ulama. Hal ini karena mereka (masyarakat) mempersepsikan bahwa kyai adalah ulama, sedangkan narasumber kyai/ulama menyatakan bahwa kyai dan ulama merupakan entitas yang berbeda. Kyai adalah entitas sosial sedangkan ulama adalah entitas agama. Oleh karena itu pula masyarakat pada umumnya menerapkan “ketaatan bersyarat” terhadap kyai/ulama yang dianutnya.
2.      Sikap Masyarakat dalam Hal Tidak Dapat Berlaku Taat
Penelitian terhadap hal ini dimaksudkan untuk menelisik, ke mana arah ketaatan masyarakat dilabuhkan, jika mereka tidak lagi/terhalang untuk taat kepada kyai/’ulama. Meski pada umumnya, masyarakat pada prinsipnya bersikap untuk taat kepada kyai/’ulama, dalam kondisi tertentu yang menyebabkan tidak dapat berlaku taat (seperti berbeda pendapat atau karena ketidakmauan/ketidakmampuan untuk taat), berdasarkan penelitian, mereka pada umumnya mengambil tindakan mengkonsultasikan/mengkomunikasikan permasalahannya kepada kyai tersebut dan akan melaksanakan sesuai dengan kemampuan. Sebagian lain akan melakukan salah satu dan/atau lebih dari tindakan berikut:
a.       berpaling kepada pemahaman dan pengetahuan agama yang memadai dan menjadikannya sebagai tuntunan/pedoman
b.      buku-buku/kitab/kitab yang merupakan representasi dari ‘ulama-’ulama besar sebagai panutannya
Hal tersebut menunjukkan bahwa, masyarakat Kabupaten Pekalongan dalam kehidupan agamanya menginginkan untuk kembali kepada agamanya ketika menghadapi masalah. Dalam hal terhalang untuk taat kepada Kyai/ulama, pada umumnya masyarakat berusaha untuk mengkomunikasikannya lagi kepada kyai/’ulama yang bersangkutan. Sebagian lain menempuh jalan dengan berusaha memperdalam lagi kebenaran dalam keberagamaannya dari berbagai sumber pengetahuan agama.
Bila kita meminjam pengetahuan Pospisil, tampaknya masyarakat Kabupaten Pekalongan pada umumnya masih merasa diuntungkan dengan sikap ketaatannya pada kyai/’ulama. Hal tersebut dikarenakan muncul anggapan bahwa kyai/’ulama lah yang memegang kendali atas peran-peran yang sebelumnya dipegang oleh para Nabi. Peran tersebut, diantaranya yakni:
1.      sebagai pemberi petunjuk
2.      sebagai pengayom masyarakat
3.      sebagai pengakomodir kepentingan masyarakat
4.      sebagai penjaga nilai-nilai agama dalam masyarakat
Berdasarkan penelitian di atas terlihat ketaatan masyarakat terhadap kyai/ulama ternyata masih tinggi. Namun demikian, ketaatan masyarakat terhadap kyai/ulama tersebut pada umumnya tetap dibarengi dengan sikap kritis terhadap perilaku maupun ucapan mereka. Hal ini berarti dalam masyarakat mulai tumbuhnya kesadaran tentang eksistensi dan peran kyai/’ulama dalam kehidupan sosial maupun keagamaan.
Mengenai sikap masyarakat dalam hal tidak dapat berlaku taat pada kyai/’ulama, peneliti tidak mengkonfirmasikan lebih lanjut kepada narasumber kyai/’ulama, karena penelitian sub bab ini cenderung untuk mendokumentasikan ketaatan masyarakat terhadap kyai secara sosial.
KESIMPULAN
Persepsi Masyarakat dan kyai/ulama dalam mendeskripsikan sosok ulama yang legitimate relatif jauh berbeda pendapat dalam hal: karakteristik, gelar keagamaan dan asal muasal gelar. Namun dalam hal peran dan perilaku ideal ulama, antara masyarakat dan ulama persepsi mereka relatif tidak jauh berbeda. Karakteristik, gelar keagamaan berikut asal muasal gelar tersebut sebenarnya sangat penting dalam menggambarkan sosok ulama yang legitimate baik secara sosial maupun agama. Dan menurut hasil penelitian diatas tampak jelas masyarakat memandang institusi ulama dengan pandangan yang sangat sosial. Hal tersebut wajar karena pemahaman agama mereka relatif lebih minim, apalagi jika dibandingkan dengan kyai/ulama. Jadi tidak heran jika mereka memandang bahwa seorang kyai, ustadz ataupun orang yang memiliki gelar keagamaan lain adalah ulama di mata Allah. Padahal menurut kyai/ulama gelar-gelar keagamaan tersebut berasal dari pengakuan masyarakat, dan bukan dari lingkup birokrasi ketuhanan.
Ketaatan masyarakat Kabupaten Pekalongan terhadap kyai/ulama masih sangat tinggi, bahkan cenderung blind fidelity, apalagi ditunjang dengan dalil-dalil syara’ yang mengharuskan mereka berlaku demikian. Namun meski demikian, ketaatan mereka menganut “ketaatan bersyarat”, bukan “ketaatan absolut”. Artinya mereka mewajibkan diri mereka untuk taat kepada kyai/ulama selama sang kyai/ulama masih dalam koridor yang mereka idealkan.
Yang sangat dikhawatirkan dari perilaku taat dari masyarakat demikian yang sedemikian tingginya adalah terjadinya “Ketaatan yang Salah Alamat”. Hal tersebut karena ketaatan mereka didasarkan pada persepsi bahwa setiap orang yang bergelar Kyai, KH, ustadz ataupun gelar keagamaan lainnya adalah ulama di mata Allah. Padahal gelar-gelar tersebut bukan dari Allah, melainkan dari masyarakat itu sendiri. Jadi sangat dimungkinkan ketaatan masyarakat ini lebih dialamatkan kepada kyai daripada ulama.

Studi Pustaka
Danim, Sudarwan 2002,  Menjadi Peneliti Kualitatif, Pustaka Setia, Bandung.
Horovitz, J., 2000, Seven Secrets of Servivice Strategy, Great Britain: Prentice Hill.
Jaiz, Hartono Ahmad, 2001, Bila Kyai Dipertuhankan: Membedah Sikap Beragama NU, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta.
Krech,. David, Crutchfield, Richard S. and Ballachey, Egerton, L., 1996, Sikap Sosial (Social Attitudes), Jakarta, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,.
Leopol Pospisil, Anthropology of Law , A Comparative Theory, Harper & Row Publisher, London, 1971.
Maleong, Lexy J., 2000, Metodologi Penelitian Kualitatif, Remaja Rosdakarya, Bandung.
Nasution, S., 1996, Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif, Tarsito, Bandung.
Rahmat, Jalaluddin, 2000, Perilaku Organisasi Konsep Dasar dan Aplikasinya, Raja Grasindo Persada, Jakarta.
Ritzer, Geogre, 1992, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda, Rajawali Press, Jakarta.
Salim, Agus, 2001, Teori Dalam Paradigma Penelitian Sosial (dari Denzin Guba dan Penerapannya), Tiara Wacana, Yogyakarta.
Savalastoga, Karl, 1989, Deferensiasi Sosial, Bina Aksara, Jakarta.
Suprayogo, Imam, 2006, Paradigma Pengembangan Keilmuan Islam, UIN-Malang Press.
Thoha, Miftah, 1986, Psikologi Komunikasi, Remaja Karya, Bandung.
Walgito, B. 1994, Pengantar Psikologi Umum, Edisi Revisi, Cetakan keempat, Jogjakarta: Andi Offset.

0 comments:

Posting Komentar