Selasa, 20 September 2011

Kriminalisasi Sosiologis Nikah siri


Kriminalisasi Sosiologis Nikah siri:
Eksaminasi Sistem Pembangunan Hukum Partisipatoris dalam Kriminalisasi Perkawinan Bawah Tangan dalam RUU Hukum Peradilan Agama Bidang Perkawinan (Ruu Hpabp)
Iwan Zaenul Fuad, SH, MH
Agus Fakhrina, S.Ag., M.S.I
Abdul Aziz, S.Ag., M.Ag
Ahmad Rosyid, SE, M.Si. Akt.

(dimuat dalam Jurnal Penelitian STAIN Pekalongan, volume 7 Nomor 1, Mei 2010)
Abstract. However, Nikah Siri (unregistered marital) has been seen as a part of the social behavior, and lived in Indonesian society. This behavior often impact living condition of social structure. In another side, this social problem must be fixed with appropriate law-making system. The Act Plan of “Hukum Peradilan Agama Bidang Perkawinan” (RUU HPABP) was noted in commitment to criminalize the behavior. Some sounds of pro and anti toward this Act Plan nowadays, make this issues more interesting be reseacrhed. Applying symbolic interactionism approach and labelling theory, this study examined the criminalization issues on the Act Plan in social framework. The framework is critical to assume the effectiveness of law making process based on people participation. This research took place in Pekalongan District (the City and Regency), which is noted for the ‘hidden’ large number of nikah siri practices. Results of the study revealed the social criminalization of Nikah Siri akin to kinds of people’s perception toward the behavior. The hidden types of Nikah Siri (hidden from people’s knowledge) had an effect on social construction to criminalize the behavior, but not the open one.
Keywords: Kriminalisasi, Sosiologis, Nikah Siri, Pekalongan,

Pendahuluan
Mengapa nikah siri dikriminalkan, bagaimana pula proses kriminalisasinya? Pertanyaan tersebut adalah inti dari masalah yang dibahas dalam tulisan ini. Jawaban atas pertanyaan tersebut akan menjawab bagaimana proses kriminalisasi dilakukan. Secara politik hukum jelas kriminalisasi dilakukan dengan diterbitkannya peraturan perundang-undangan yang mengatur hal itu. Namun apabila kita melihat proses terjadinya suatu hukum (undang-undang), terlihat bahwa sebelum peraturan perundang-undangan diterbitkan, maka terlebih dahulu muncul rancangannya. Jika peratuan perundang-undangan tersebut berupa Undang-Undang (UU), maka UU tersebut muncul pertama kali dalam bentuk RUU (Rancangan Undang-Undang) yang dibentuk dan/atau disetujui oleh Presiden dan DPR (diundangkan/dilegislasikan).
Nikah siri atau nikah di bawah tangan atau -- dalam Rancangan Undang-Undang tentang Hukum Peradilan Agama Bidang Perkawinan (RUU HPABP) --disebut dengan istilah adalah “perkawinan tidak di hadapan pejabat pencatat nikah” rencananya akan dikriminalkan (dikategorikan sebagai tindak pidana), bila RUU tersebut disetujui. Pasal yang rencananya akan pemidanaan nikah siri terlihat pada pasal 143 RUU tersebut, yang menyebutkan bahwa:
Setiap orang yang dengan sengaja melangsungkan perkawinan tidak di hadapan pejabat pencatat nikah, dipidana dengan denda paling banyak Rp. 6 juta atau hukuman kurungan paling lama enam bulan.

Keberadaan draft dalam pasal 143 RUU tersebut membuktikan bahwa terdapat upaya inisiasi dari negara (penguasa) untuk melakukan kriminalisasi atas nikah siri dengan memasukkan RUU tersebut dalam daftar Prolegnas (Program Legislasi Nasional).
Rencana kriminalisasi terhadap praktik nikah siri dalam RUU HPABP tersebut tentu saja menimbulkan pro-kontra dalam masyarakat. Pihak pendukung (pro) pada umumnya berargumen perilaku nikah siri dalam masyarakat sudah sangat meresahkan dan sangat merugikan, khususnya bagi wanita dan anak-anak. Sedangkan pihak yang kontra beralasan, perilaku nikah siri dalam masyarakat sudah menjadi bagian dari budaya, yang apabila dikriminalkan negara diperkirakan tidak sanggup menanganinya.
Pro-kontra kriminalisasi nikah siri dalam RUU HPABP di atas adalah bagian dari upaya yang dilakukan oleh masyarakat dan negara dalam (melalui upaya konseptualisasi RUU-nya) melakukan langkah-langkah jajak pendapat, sosialisasi maupun upaya ‘labelling’ terhadap nikah siri sebagai perbuatan tercela, atau bahkan kriminal. Namun untuk melakukan sebuah upaya kriminalisasi, dibutuhkan studi mendalam dan perencanaan yang matang, mengingat kriminalisasi adalah bagian dari proses pembuatan hukum, agar hasil yang dituju dapat benar-benar melindungi kepentingan dan kesejahteraan warga masyarakat.
Dalam melakukan penelitian ini, peneliti mengawalinya dengan mengobservasi buku-buku tentang nikah siri, kriminalisasi dan pembangunan hukum. Dari hasil studi pustaka yang dilakukan peneliti belum ada satupun buku atau karya tulis yang menggabungkan ketiga hal tersebut, misalnya: Pertama Kurniarini (2001) yang meneliti faktor penyebab nikah siri pada masyarakat pedesaan. Kedua, Garnasih (2003) yang membahas kriminalisasi pada tindak pidana money laundering, dan Ketiga, Buku Bunga Rampai Pembangunan Hukum Indonesia, (Karya Ilmiah Para Pakar Hukum, 1995).
Penelitian ini bukanlah kajian hukum yang an sich membahas preskripsi normatif atas suatu perbuatan menurut aturan hukum, melainkan penelitian ini memakai paradigma kriminologi dan pembangunan hukum. Pemakaian angle pembangunan hukum dalam kajian ini lebih menitikberatkan bagaimana hukum itu dibuat (law making), bukan mengarah pada implementasi hukum atas suatu perbuatan secara de jure. Lebih khusus lagi mengingat penelitian ini bermaksud melihat ada atau tidaknya kriminalisasi terhadap praktik nikah siri dalam masyarakat, maka pendekatan yang dipakai adalah pendekatan kriminologi. Pemakaian pendekatan ini untuk melihat sejauh mana masyarakat merefleksikan pendapatnya terhadap praktik nikah siri. Kemudian dari pendapat masyarakat ini, akan terlihat berbagai perilaku sosial seperti sikap, persepsi, stigma, pencitraan, hingga kategorisasi perilaku (labelling).
Untuk mengeksplor data dari masyarakat secara lebih detail, penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan meng-induksi fenomena nikah siri yang ada dalam masyarakat (pendekatan induktif-fenomenologis) untuk menjelaskan dan menganalisis  pemahaman  sampai pada taraf apa yang ada di balik kepala para masyarakat tentang nikah siri berikut (ada/tidaknya) proses kriminalisasi dalam masyarakat. Untuk mendapatkan data dalam penelitian ini penulis memakai cara indept interview dari narasumber yang dipilih secara snowball untuk mendapatkan data purposive. Instrumen dalam penelitian yang digunakan adalah peneliti sendiri, dengan dibantu panduan wawancara dan alat perekam. Dalam menguji validitas data, peneliti melakukan triangulasi metode pengumpulan data dan sumber data. Dalam menyajikan hasil penelitian, data-data tersebut dianalisis dengan menggunakan analisis deskriptif.  
Penelitian yang bersifat menguji “calon” legislasi (RUU) ini dilakukan di Kota dan Kabupaten Pekalongan, mengingat di daerah tersebut menurut penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti sebelumnya. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Hasan Bisyri (2006) misalkan, ditemukan beberapa kasus kawin siri di di daerah tersebut, sehingga daerah tersebut layak digunakan sebagai locus penelitian. Sementara itu, penelitian lain yang mendukung penelitian ini adalah penelitian yang dilakukan oleh Simuh dkk (2000) yang menyimpulkan bahwa faktor fanatisme masyarakat Pekalongan terhadap kyai sebagai faktor penyebab resistensi masyarakat terhadap perubahan. Begitu juga dalam penelitian Iwan Zaenul Fuad dkk (2009) mengenai ketaatan masyarakat Pekalongan yang cenderung absolut kepada sosok kyai (ulama). Faktor kuatnya ketaatan terhadap kyai ini seringkali menjadi faktor kriminogen yang melestarikan budaya nikah siri di kalangan masyarakat Pekalongan.

Pendekatan Interaksionisme Simbolik dan Teori Labelling
Pendekatan interaksionisme simbolik dalam kriminologi lazim digunakan untuk mengungkap pertanyaan mengapa suatu perbuatan atau pelaku perbuatan didefinisikan sebagai perbuatan kriminal oleh masyarakat tertentu. Pemikiran dalam pendekatan interaksionisme simbolik ini berasal dari pemikiran filosofis Mead yang menyatakan bahwa manusia merupakan pencipta dan sekaligus sebagai produk dari lingkungannya (dikutip oleh Soekanto, 1986: 9-10). Sedang menurut hemat Blumer, interaksionisme simbolik bertumpu pada tiga premis, yaitu: Pertama, manusia bertindak terhadap sesuatu berdasarkan makna-makna yang ada pada sesuatu itu bagi mereka. Kedua, makna tersebut berasal dari interaksi sosial seseorang dengan orang lain, dan ketiga, makna-makna tersebut disempurnakan di saat proses interaksi sosial berlangsung (Blumer, 1969).
Atmasasmita mengkaitkan teori interaksionisme simbolik dengan kejahatan (kriminologi) berlandaskan pada pemikiran-pemikiran berikut: (1) Kejahatan adalah merupakan kualitas daripada reaksi/tanggapan terhadap tingkah laku, bukan merupakan kualitas dari sesuatu tingkah laku; (2) Tingkah laku yang relatif tersebut telah memberikan cap sebagai penjahat; (3) Tingkah laku seseorang yang dicap jahat juga diberi atau diperlakukan sebagai penjahat; (4) Seseorang diberi cap atau diperlakukan sebagai penjahat melalui suatu proses interaksi; (5) Terhadap suatu kecenderungan di mana seseorang yang dicap sebagai penjahat akan bertingkah laku sebagaimana perlakuan atau cap itu diberikan (Atmasasmita, 1984: 102).
Selanjutnya, teori labelling yang berdiri di atas landasan teori interasionisme simbolik berusaha mengeksplorasi lebih jauh bagaimana dan mengapa suatu perbuatan atau perilaku tertentu didefinisikan sebagai penjahat atau penyimpang dan mengapa perilaku lain tidak didefinisikan demikian. Mereka mempertanyakan bagaimana dan mengapa orang tertentu kemudian didefinisikan sebagai penjahat atau penyimpang. Beberapa teoritisi labelling berpandangan bahwa penjahat bukan orang yang jahat atau salah perilakunya tetapi sebagai individu yang oleh sistem peradilan pidana dan sebagian besar masyarakat ditempatkan sebagai orang yang mempunyai status jahat sebagaimana diungkapkan oleh Seekers (1963: 225):
Deviance is not a quality of the act the person commits, but rather a consequence of the application by others of rules and sanctions to an offender. The deviant is one to whom that label has successfully been applied; deviant behavior is behavior that people so label.

Fokus teori labelling pada reaksi orang lain dan berikutnya efek reaksi dari perbuatan yang dilakukan oleh penyimpang (deviance). Ketika reaksi itu menjadi pengetahuan bahwa seseorang telah melakukan perbuatan menyimpang, si penyimpang kemudian dipisahkan dari masyarakat dan diberi label sebagai pelacur, pencuri, penyiksa, penghianat, pemadat, pecandu dan sejenisnya. Becker mencatat proses pemisahan ini dinamakan outsiders, yang diusir atau diasingkan dari masyarakat. Orang-orang yang disebut outsiders itu kemudian mulai membentuk asosiasi atau perkumpulan dengan orang lain yang juga menjadi orang yang diusir/buangan.
Partisipasi Masyarakat dalam Pembuatan Hukum
Mikkelsen (1999: 64) menginventarisasi adanya enam tafsiran dan makna yang berbeda tentang partisipasi. Pertama, partisipasi adalah konstribusi sukarela dari masyarakat kepada proyek, tanpa ikut serta dalam pengambilan keputusan. Kedua, partisipasi adalah usaha membuat masyarakat semakin peka dalam meningkatkan kemauan menerima dan kemampuan menanggapi proyek-proyek pembangunan. Ketiga, partisipasi adalah proses aktif, yang mengandung arti bahwa orang atau kelompok terkait mengambil inisiatif dan penggunaan kebebasannya untuk melakukan hal itu. Keempat, partisipasi adalah pemantapan dialog antara masyarakat setempat dengan para staf dalam melakukan persiapan, pelaksanaan dan monitoring proyek, agar memperoleh informasi mengenai konteks lokal dan dampak-dampak sosial. Kelima, berpartisipasi adalah keterlibatan sukarela oleh masyarakat dalam perubahan yang ditentukannya sendiri. Keenam, partisipasi adalah keterlibatan masyarakat di dalam pembangunan diri, kehidupan, dan lingkungan mereka.
Apabila pembuatan hukum dilihat dalam kerangka perencanaan pembangunan, menurut Rahardjo (1991: 178) pembicaraannya juga harus dimulai sejak perencanaan pembuatannya. Selanjutnya Rahardjo membagi pembuatan hukum ke dalam tiga tahapan besar, yakni tahap inisiasi, tahap sosio-politis dan tahap yuridis. Pada tahap sosio-politis inilah partisipasi masyarakat diperlukan.
Menyadari akan pentingnya partisipasi masyarakat dalam pembangunan hukum, maka Seidman (1978: 75) tidak segan-segan menempatkan partisipasi masyarakat sebagai salah satu komponen utama dalam proses bekerjanya hukum (proses pembuatan maupun penerapannya). Peran serta masyarakat yang sangat menentukan itu disebut sebagai pemegang peran (role ocupant). Selain sebagai sasaran dari pengaturan itu (termasuk di dalamnya sasaran penerapan sanksi), masyarakat juga berperan serta dalam memberikan umpan balik kepada proses pembuatan hukum maupun kepada birokrasi penegakannya.
Pertama, umpan balik yang diberikan oleh masyarakat kepada proses pembuatan hukum dapat berupa pola pikir dan perilaku nyata untuk mendukung dan memperkuat substansi hukum yang sudah ada, atau kritik-saran demi penyempurnaan substansi hukum maupun demi penghapusan (pencabutan) hukum yang sedang berlaku. Kedua, umpan balik yang diberikan oleh masyarakat kepada birokrasi, penegakan hukum dapat berupa masukan-masukan untuk memperbaiki, substansi dan struktur penegakan hukum agar dapat mewujudkan rasa keadilan masyarakat, dan lebih jauh dari itu untuk mewujudkan kebahagiaan bagi masyarakat (Seidman, 1978 : 75). Pemikiran Seidman ini memberikan sebuah isyarat, bahwa suatu perencanaan pembuatan hukum dan penegakannya yang bertujuan untuk kepentingan rakyat (masyarakat) tetapi tidak melibatkan masyarakat maka akan sangat sulit dipastikan bahwa rumusannya akan berpihak pada rakyat.
Beberapa Pandangan tentang Nikah Siri
Nikah Siri menurut Ramulyo (2000), nikah siri adalah suatu pernikahan yang dilakukan oleh orang-orang Islam Indonesia dengan memenuhi rukun nikah dan syaratnya, tetapi tidak didaftarkan oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Berbeda dengan definisi Ramulyo di atas yang sangat normatif, Syam menggali definisi nikah siri dari berbagai kalangan. Selanjutnya ia menerangkan bahwa (http://nursyam.sunan-ampel.ac.id/?p=890, diakses tanggal 24 Agustus 2010):
…. terdapat kerancauan pemahaman di kalangan masyarakat mengenai pengertian nikah siri. Di kalangan Ulama ada yang menyatakan bahwa nikah siri itu bukan nikah yang disembunyikan, akan tetapi nikah yang dilaksanakan secara terang-terangan dan sesuai dengan kaidah perkawinan, hanya saja belum dicatatkan dalam administrasi perkawinan. Sementara yang lain beranggapan bahwa nikah siri itu nikah yang disembunyikan dari pengetahuan masyarakat dan memang tidak perlu dicatatkan

Mengenai penggalian historis dalam pendefinisian nikah siri, Djubaedah (Wawancara Majalah “Femina” dengan Neng Djubaedah, dimuat dalam Majalah “Femina” Edisi Kamis, 11/2010) mengungkapkan telah terjadi pergeseran makna nikah siri dalam penjelasannya sebagai berikut:
“… istilah nikah siri mengalami pergeseran makna. Nikah siri pada awalnya adalah sebutan untuk perkawinan yang tidak memenuhi rukun nikah. Rukun nikah dianggap sah jika ada 2 saksi pria, mempelai, dan wali nikah mempelai wanita. Jika tidak dipenuhi salah satunya, maka perkawinan itu tidak sah”.

Selanjutnya ia menyatakan sebagai berikut:
“Didorong oleh kalangan tertentu, sekarang ini pernikahan yang tidak tercatat dimaknai sebagai nikah siri. Dalam Islam, tidak ada konsep nikah yang disembunyikan. Makanya, dianjurkan ada acara walimah (semacam resepsi),”

Hasil dan Pembahasan
Sebelum mengulas tentang bagaimana terjadinya proses kriminalisasi terhadap praktik nikah siri dalam masyarakat, penulis merasa perlu untuk meneliti bagaimana praktik nikah siri ini terjadi dalam masyarakat. Hal tersebut dirasa penting mengingat subjek penelitian dalam penelitian ini adalah masyarakat (Kota dan Kabupaten) Pekalongan. Sangat tidak fair apabila kriminalisasi sosiologis dilakukan tanpa melihat konteks atau latar belakang praktik yang dipermasalahkan (dikriminalkan) dalam kehidupan sosial narasumber. Jika hal itu dilakukan, maka penelitian ini akan kehilangan konteks latar belakang berlakunya, atau dengan kata lain akan tercerabut dari akar pembentuk hukumnya.
Untuk itu dalam menyajikan penelitian ini, penulis membeberkan praktik nikah siri yang terjadi dalam masyarakat, untuk kemudian diulas proses kriminalisasinya berdasarkan persepsi masyarakat mengenai praktik yang terjadi di linkungan mereka. Bahasan praktik nikah siri mencakup bagaimana pemaknaan masyarakat terhadap lembaga nikah siri, proses pelaksanaannya, intensitas terjadinya, pelakunya, dan faktor-faktor penyebab terjadinya nikah siri.
Dari sisi pemaknaan nikah siri, pada umumnya masyarakat Pekalongan sudah mafhum dan mengerti bahwa secara hukum istilah tersebut digunakan untuk perkawinan yang hanya memenuhi syarat dan rukun perkawinan saja namun tidak tercatat dan/atau tidak di hadapan petugas/pejabat pencatat perkawinan. Di sisi lain timbul juga pengertian yang lazim di kalangan masyarakat, yakni pernikahan yang disembunyikan dari pengetahuan khalayak. Timbulnya pengertian ini karena pada praktiknya terdapat dua jenis cara pelaksanaan nikah siri, yakni: pertama, nikah yang tidak tercatat secara hukum dan disembunyikan dari pengetahuan masyarakat, dan kedua pernikahan yang hanya tidak tercatat secara hukum, namun diketahui masyarakat. Dapat dipastikan bahwa di dalam masyarakat Pekalongan lebih banyak pelaku yang masuk dalam kategori pertama (nikah siri yang benar-benar hidden). Hal tersebut berdasarkan pengakuan narasumber (wawancara pada Bulan Oktober 2010) yang pada umumnya menduga bahwa kecenderungan masyarakat untuk melakukan nikah siri secara tersembunyi atau terselubung (hidden) sangat besar. Hal tersebut menyulitkan bagi meneliti untuk menguak berapa jumlah kasus nikah siri yang terjadi dalam masyarakat Pekalongan. Sedangkan mengenai tipikal sosial pelaku nikah siri dalam masyarakat Pekalongan, mempunyai ciri-ciri umum yang dapat dibagi menurut jenis kelaminnya sebagai berikut:
Pada laki-laki, terdapat ciri seperti: masih terikat dengan tali perkawinan atau dilakukan dengan poligami; atau mempunyai kemapanan sosial dan ekonomi. Sedangkan pada wanita, ciri-ciri umum pelaku dapat dikenali dari status sosialnya yakni janda, mempunyai daya tarik dan strata sosial-ekonominya lebih rendah dari “mempelai” pria.
Sedang mengenai motif perilaku nikah siri pada umumnya sama dengan motif poligami, mengingat praktik nikah siri tersebut dilakukan dalam rangka melakukan poligami. Nikah siri yang dibarengi dengan poligami, pada umumnya mengandung motif: pemenuhan kebutuhan biologis; ekonomi; menjaga keharmonisan rumah tangga dan menyelamatkan perkawinan yang sah; menjaga ketaatan pada aturan agama (lebih baik menikah dari pada berzina); legitimasi agama terhadap praktik kawin siri; status sosial (status “menikah” dipandang lebih baik dari pada status janda); ingin mendapatkan keturunan; karir; dan ringannya tanggung jawab.
Dalam meneliti praktik Nikah Siri di kalangan masyarakat Pekalongan, peneliti juga meneliti faktor-faktor penyebab terjadinya nikah siri. Faktor-faktor penyebab ini dalam kriminologi lazim disebut sebagai faktor kriminogen. Faktor kriminogen nikah siri dalam masyarakat Pekalongan dapat disimpulkan sebagai berikut: (a) Faktor ekonomi. Berdasarkan data di atas faktor ini dapat diasumsikan bahwa semakin tinggi status sosial dan kesejahteraan ekonomi masyarakat Pekalongan, akan memicu banyaknya praktik nikah siri terjadi. Faktor ekonomi bagi masyarakat pekalongan menurut hemat peneliti sangat unik, apabila di daerah lain yang menyebutkan bahwa rendahnya tingkat kesejahteraan ekonomi menjadi faktor kriminogen terjadinya praktik nikah siri, maka di Pekalongan adalah kebalikannya. (b) Faktor sosio kultural. Dalam masyarakat Pekalongan muncul legitimasi yang didasarkan pada pemahaman keagamaan masyarakat Pekalongan yang membolehkan atau menghalalkan praktik nikah siri untuk dilakukan. Pemahaman seperti ini masih banyak dianut oleh masyarakat Pekalongan. (c) Faktor hukum (Peraturan Perundang-undangan). Tidak adanya peraturan perundang-undangan yang melarang nikah siri dan memberikan sanksi pidana terhadap pelakunya, menjadi faktor yang cukup mendukung maraknya praktik nikah siri. Hal tersebut ditambah dengan keberadaan UU No. 1 Tahun 1970 tentang Perkawinan yang berasaskan monogami, yang mempersulit pelaku untuk berpoligami secara legal. Biasanya pelaku memilih nikah siri sebagai alternatif cara dalam berpoligami. Faktor hukum ini juga dipandang sebagai faktor kriminogen yang penting yang ikut melanggengkan budaya nikah siri dalam masyarakat.

Kriminalisasi Sosiologis Nikah Siri
Pendekatan interaksionisme simbolik dan teori labelling digunakan dalam menganalisa terjadinya kriminalisasi nikah siri secara sosiologis. Hal tersebut didasarkan pada landasan berikut: Pertama, unsur anggapan menyimpang (deviasi) atau kriminal atas praktik nikah siri adalah hasil dari konstruksi sosial masyarakat. Kedua, adanya anggapan atas nikah siri sebagai perilaku menyimpang (deviation) atau kriminal ini dituangkan dalam peraturan yang dibentuk masyarakat; dan Ketiga, orang atau pelaku perbuatan menyimpang atau kriminal ini diberi label (cap) jahat, menyimpang atau tercela oleh masyarakat.
Tiga hal tersebut di atas senada dengan pendapat Becker (1963: 9) yang menyatakan:
“Kelompok masyarakat menciptakan penyimpangan dengan membuat peraturan, dan menggunakan peraturan tersebut terhadap sekelompok orang dan melabelkan mereka sebagai “outsiders”. Dari sudut pandang ini, penyimpangan bukanlah kualitas dari tindakan yang dilakukan, tapi lebih kepada konsekuensi dari penggunaan hukum dan sanksi oleh suatu pihak kepada “pelanggar”. Deviant (penyimpang) adalah orang yang diberi label dan perilaku penyimpang adalah perilaku yang dilabelkan masyarakat.

Sedangkan Schrag mengelaborasi lebih jauh mengenai asumsi dasar teori labelling ini, dengan mengemukakan bahwa: (1) tidak ada satu perbuatan yang terjadi dengan sendirinya bersifat kriminal; (2) rumusan atau batasan tentang kejahatan dan penjahat dipaksakan sesuai dengan kepentingan mereka yang memiliki kekuasaan; (3) seseorang menjadi penjahat bukan karena ia melanggar undang-undang, melainkan karena ia ditetapkan demikian oleh penguasa; (4) sehubungan dengan kenyataan di mana setiap orang dapat berbuat baik dan tidak baik, tidak berarti bahwa mereka dapat dikelompokkan menjadi dua bagian: kelompok kriminal dan non kriminal; (5) tindakan penangkapan merupakan awal dari proses labelling; (6) penangkapan dan pengambilan keputusan dalam sistem peradilan pidana adalah fungsi dari pelaku atau penjahat sebagai lawan dari karakteristik pelanggarnya; (7) usia, tingkatan sosial-ekonomi, dan ras merupakan karakteristik umum pelaku kejahatan yang menimbulkan perbedaan pengambilan keputusan dalam sistem peradilan pidana; (8) sistem peradilan pidana dibentuk berdasarkan perspektif kehendak bebas yang memperkenankan penilaian dan penolakan terhadap mereka yang dipandang sebagai penjahat; dan (9) labelling merupakan suatu proses yang akan melahirkan identifikasi dengan citra sebagai deviant dan sub kultur serta menghasilkan rejection of the rejector (dikutip oleh Atmasasmita, 1984: 39-40).
Mengikuti alur pendekatan interaksionisme simbolik dengan menggunakan teori labelling, kriminalisasi masyarakat terhadap praktik nikah siri dapat diimplementasikan dalam dua pertanyaan, yakni (1) bagaimana penilaian masyarakat Pekalongan mempersepsikan nikah siri dan (2) apa yang menjadi latar belakang persepsi masyarakat tersebut?
Jawaban atas pertanyaan pertama berguna untuk mengidentifikasi berbagai macam pengertian, sikap, tanggapan (termasuk stigma, pencitraan, hingga labelling) masyarakat atas praktik nikah siri sehingga membentuk konfigurasi proses kriminalisasi atas suatu perbuatan. Sedang jawaban atas pertanyaan kedua, berupaya untuk menguak faktor yang tersembunyi di balik persepsi masyarakat atas praktik nikah siri.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa persepsi masyarakat Pekalongan mengenai praktik nikah siri terbagi menjadi dua, tergantung pada jenis nikah siri yang dilakukan:
Pertama, pada jenis nikah siri yang tertutup dari pengetahuan masyarakat (hidden), masyarakat Pekalongan pada umumnya menolaknya. Sikap ini dibarengi oleh pencitraan dan persepsi “negatif” terhadap perilaku nikah siri dalam masyarakat. Citra negatif ini muncul dalam masyarakat, karena ada kecurigaan bahwa nikah siri hanya dijadikan kedok oleh pelaku dalam melakukan perbuatan yang diduga asusila. Muncul stigma-stigma “miring” yang ditolak oleh masyarakat berkaitan dengan nikah siri yang berjenis “terselubung” tersebut, dengan ungkapan seperti: “istri simpanan”. Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat cenderung menjauhi atau menyisihkan pelaku dalam kehidupan sosial masyarakat, seperti tidak diikutkan dalam rapat-rapat RT, jamaah pengajian, PKK, kerja bakti ataupun ronda. Bahkan peneliti menemukan kasus, ada masyarakat sebuah perumahan di Kabupaten Pekalongan mengusir pelaku dari kampungnya (wawancara dengan para narasumber pada Bulan Oktober 2010).
Kedua, jenis nikah siri yang terbuka dari pengetahuan masyarakat. Terhadap jenis nikah siri seperti ini, masyarakat Pekalongan cenderung menerimanya. Pelaku diperlakukan sebagaimana anggota masyarakat lainnya, tidak dijauhi atau dihindari masyarakat dalam pergaulan sehari-harinya. Dengan sikap pelaku yang terbuka tersebut, masyarakat bersikap “welcome”, bahkan melindungi pelaku dari hal-hal yang berpotensi menimbulkan kesulitan hidup bagi si pelaku. Bentuk perlindungannya dapat berupa: ikut menyembunyikan status perkawinannya dari pengetahuan masyarakat lain. Upaya tersebut dilakukan, diantaranya untuk menjaga tali perkawinan yang sah (pada kasus poligami) atau menyelamatkan karir si pelaku (PNS).
Berdasarkan uraian sikap dan persepsi masyarakat terhadap praktik nikah siri, terlihat upaya kriminalisasi masyarakat terhadap nikah siri yang berjenis “hidden”. Upaya kriminalisasi tersebut terlihat dalam tiga hal berikut: Pertama, konstruksi sosial. Masyarakat Pekalongan mengkonstruksikan perbuatan nikah siri yang dilakukan secara “hidden” sebagai perilaku yang tercela. Indikasinya adalah munculnya sikap, persepsi, stigma “negatif” dalam masyarakat bahwa perbuatan tersebut (nikah siri) adalah perbuatan yang menyimpang (deviation). Kedua, munculnya peraturan yang memberi sanksi atas perilaku menyimpang. Melihat konteks penelitian ini yang bersifat sosiologis, maka peraturan yang dimaksud tidak terbatas pada hukum tertulis sebagaimana yang dipahami oleh kaum positivistik yang memahami hukum secara yuridis formal. Pada umumnya peraturan masyarakat yang memberi sanksi terhadap pelaku nikah siri adalah peraturan tidak tertulis. Peraturan ini adalah hasil dari reaksi simultan masyarakat terhadap nikah siri yang berjenis “hidden”, seperti menjauhi atau menyingkirkan pelaku dalam kehidupan sosial masyarakat. Reaksi simultan masyarakat ini karena terjadi secara berulang-ulang, akhirnya membentuk kebiasaan yang merupakan “hukum tak tertulis” bahwa pelaku nikah siri yang berjenis “hidden”, akan memperoleh sanksi sosial berupa dijauhi oleh masyarakat. Munculnya “hukum tak tertulis” tersebut merupakan hasil konstruksi masyarakat yang berupaya menganggap bahwa nikah siri yang berjenis “hidden” adalah perbuatan tercela. Ketiga, labelling. Hasil temuan di atas menunjukkan adanya upaya labelling dari masyarakat bahwa perbuatan nikah siri yang dilakukan secara “hidden” adalah perbuatan tercela atau menyimpang. Indikasi dari labelling ini adanya proses judgment (penghakiman), yakni berupa pemberian sanksi sosiologis, seperti mengasingkan si pelaku, disisihkan dari pergaulan atau bahkan pengusiran.
Meskipun kriminalisasi sosiologis pada umumnya dialamatkan pada praktik nikah siri yang dilakukan secara hidden, namun sebagian narasumber dalam penelitian ini ternyata juga mengkriminalkan praktik nikah siri secara keseluruhan (baik hidden ataupun terbuka). Upaya kriminalisasi terhadap praktik nikah siri "terbuka” relatif dianggap lemah, mengingat indikasi labelling-nya tidak memuat sanksi sosial yang jelas bahkan malah dilindungi oleh masyarakat, meski tidak dilindungi oleh bagian masyarakat lain.
Upaya kriminalisasi sosiologis di atas, pada umumnya dilatarbelakangi oleh berbagai motif. Pertama, motif agama dan etika. Dalam motif agama, terdapat dua sub-motif yang berbeda, yakni: perintah agama yang memerintahkan agar supaya perkawinan itu diiklankan (dikabarkan) kepada masyarakat; dan terhadap praktik nikah siri yang cenderung “tertutup”, menimbulkan kecurigaan sebagai kedok atas perbuatan asusila, seperti kumpul kebo atau perzinaan. Kedua, motif pencegahan dampak sosial. Narasumber yang mempunyai motif pencegahan dampak sosial dalam meng-“kriminal”-kan nikah siri, menurut hemat peneliti sangat “well-informed” terhadap studi-studi sosial dan hukum mengenai dampak nikah siri. Pemahaman yang demikian layak dibangun dalam upaya menimbulkan kesadaran hukum masyarakat akan akibat ataupun dampak yang ditimbulkan dari praktik nikah siri. Ketiga, motif penolakan hukum selain hukum negara. Bagaimanapun secara positivistik, lembaga perkawinan yang diakui oleh negara adalah perkawinan yang dilakukan di hadapan atau dicatat oleh pejabat pencatat perkawinan. Terhadap bentuk perkawinan di luar itu (tidak tercatat) dianggap sebagai perkawinan yang ilegal (tidak mempunyai dasar hukum yang sah).

Simpulan
Persepsi masyarakat tentang nikah siri dapat terbaca dari perbedaan pemahaman masyarakat dalam mendefinisikan praktik nikah siri yang ada di sekitarnya. Selain unregistered marital (nikah tak tercatat), oleh masyarakat nikah siri juga diartikan sebagai hidden marital (tersembunyi dari pengetahuan masyarakat). Praktik nikah siri tersebut dapat dielaborasi lebih jauh dari sisi pemaknaan, jenis, intensitas, karakteristik pelaku, motif pelaku, hingga faktor kriminogennya yang akan berguna dalam studi lebih lanjut mengenai upaya-upaya pencegahan secara holistik atas praktik nikah siri yang terjadi dalam masyarakat, khususnya masyarakat Pekalongan.
Dalam menganalisa kriminalisasi sosiologis atas nikah siri peneliti menggunakan pendekatan interaksionisme simbolik dan teori labelling sebagai alatnya. Hasil analisa menunjukkan ada upaya konstruksi sosiologis yang me-“label”-kan nikah siri sebagai bagian dari kejahatan. Labelling jahat atas nikah siri, utamanya ditujukan pada tipe hidden marital. Kriminalisasi atas nikah siri ini dilatarbelakangi motif agama, etika, pencegahan dampak sosial, dan motif penolakan hukum selain hukum negara.
Implikasi dari temuan akan adanya kriminalisasi sosiologis atas nikah siri di atas, memperlihatkan bahwa kriminalisasi politis yang diusung dalam pembentukan RUU HPABP ternyata sesuai dengan kebutuhan dan keinginan masyarakat untuk mengkriminalisasikan nikah siri. Dalam pembangunan hukum (peraturan yang bersifat legal formal) kesesuaian antara tahapan politis dengan tahapan sosiologis sangat diperlukan, demikian juga dengan penelitian terhadapnya. Hal tersebut sangat penting agar dalam penerapannya, suatu peraturan dapat berlaku secara efektif di masyarakat.
Temuan di atas juga membuktikan adanya kesesuaian antara kriminalisasi sosiologis dengan praktik perbuatan yang dikriminalkan di lingkungan masyarakat. Platform seperti ini sebaiknya menjadi acuan dalam penelitian atau studi mengenai krimininalisasi, agar output yang dihasilkan tidak keluar dari konteks sosial yang melingkupinya. Studi sosiologis mengenai kriminalisasi nikah siri secara sosiologis di atas diharapkan menjadi modal dalam melakukan studi dan pembuatan kebijakan mengenai penanggulangan kejahatan dalam Kebijakan Hukum Pidana, khususnya tentang nikah siri.




DAFTAR Pustaka

Buku:
Atmasasmita, Romli, 1984, Bunga Rampai Krimonologi, Rajawali Press, Jakarta.
Becker, Howard, 1963, Outsiders, Studies in the Sociology of Deviance, The Free Press, New York.
Bertens, K. , 2002, Filasafat Barat Inggris-Jerman, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Blumer, Herbert, 1969, Symbolic Interactionism: Perspective and Method.
Danim, Sudarwan, 2002,  Menjadi Peneliti Kualitatif, Pustaka Setia, Bandung,
Doyle, Paul Johnson, 1986, Teari Teori Sosiologi Klasik dan Modern, Gramedia, Jakarta.
Hakim, Rahmat, 2000, Hukum Perkawinan Islam, Pustaka Setia, Bandung.
Lisdiyono, Edy, 2007, Hukum dan Dinamika Sosial, Penerbit Pustaka Magister, Semarang.
Ma’shum, Ali & Munawwir, Zainal Abidin, Kamus Al-munawwir Arab-Indonesia Terlengkap.
Maleong, Lexy J., 2004, Metodologi Penelitian Kualitatif, PT Remaja Rosdakarya, Bandung.
Mikkelsen, Britha, Metode Penelitian Partisipatoris dan Upaya-upaya Pemberdayaan, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1999.
Nasution, S., 1996, Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif, Tarsito, Bandung.
Poloma, Margaret M., 1994, Sosiologi Kontemporer, PT. Raja Grafindo Persada Jakarta - Yayasan Solidaritas Gadjah Mada Yogyakarta.
Rahardjo, Satjipto, 1991, Ilmu Hukum, Penerbit Alumni, Bandung.
Sahetapy, J.E., 1983, Kejahatan Kekerasan Suatu Pendekatan Interdisipliner, cetakan Pertama, Sinar jaya, Surabaya.
Saleh, Wantjik, 1992, Hukum Perkawinan Indonesia. Ghalia Indonesia. Jakarta.
Sanipah, Faisal 1990, Penelitian Kualitatif Dasar-Dasar dan Aplikasi, Yayasan Asih Asah Asuh, Malang.
Soekanto, Soerjono, Liklikuwata, Hengki dan Kusuma, Mulyana W., 1986, Kriminologi: Suatu Pengantar, Ghalia Indonesia, Jakarta.
Soetomo, 2000, Strategi-strategi Pembangunan Masyarakat, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Susanto, I.S., 1995, Kriminologi, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang.
Syahrani, Riduan, 1997, Seluk-Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata, Alumni, Bandung.
Uwaidah, Syaikh Kamil Muhammad, 1998, Fiqih Wanita, Al-Kautsar, Jakarta.
Walgito, Bimo, 1984, Bimbingan dan Konseling Perkawinan, Yayasan Penerbit Fakultas, Psikologi UGM, Yogyakarta.
Williams III, Frank P. and McShane, Marilyn D., 1988, Criminological Theory, Englewood Cliffs, New Jersey, Prentice Hall.

Buku Jurnal:
Profil, Potensi, Peluang Investasi dan Kebijakan Pembangunan Kabupaten Pekalongan Tahun 2007.
Kabupaten Pekalongan dalam Angka, Tahun 2007, Kantor Statistik Kabupaten Pekalongan. 
Kota Pekalongan dalam Angka, Tahun 2005, Kantor Statistik Kota Pekalongan. 

Koran:
Evarisan, 2010, Tak Sekedar Sah Secara Agama, dalam Suara Merdeka, Tanggal 24 Februari 2010

Majalah:
Neng Djubaedah, dalam Majalah “Femina” Edisi Kamis, 11/2010.
Ramulyo, M. Idris, 2000, Suatu Perbandingan antara Ajaran Sjafi’i Hazairin dan Wasiat Wajib di Mesir Tentang Pembagian Harta Warisan untuk Cucu Menurut Islam, Majalah Hukum dan Pembangunan. Nomor 2 Tahun XII.

Website:
KPAI dukung Sanksi Pernikahan Siri, http://bataviase.co.id, tanggal

Nur Syam, Kriminalisasi Pelaku Nikah Siri: Solusi atau Problem Baru (artikel), dalam dilihat dalam http://nursyam.sunan-ampel.ac.id/?p=890

Penulis (tanpa nama), Nikah Siri, pada situs  http://www.kampusislam.com/index.php?pilih=news&mod=yes&aksi=lihat&id=595, tanggal 11 April 2009.

Peraturan Perundang-undangan:
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata/KUH Perdata (Burgerlijk Wetbook).
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Rancangan Undang-Undang Hukum Peradilan Agama Bidang Perkawinan (RUU HPABP)

0 comments:

Posting Komentar