Sabtu, 20 Agustus 2011

Revisi Aturan Remisi Koruptor

KORUPSI menjadi masalah banyak negara di dunia. Sejumlah negara menerapkan aturan keras dan tegas terhadap pelaku kejahatan korupsi. China, misalnya, menjatuhkan hukuman tembak mati atau suntikan maut bagi ribuan orang yang terbukti berlaku korup terhadap uang negara. Efek jera terlihat dari menurunnya rangking China dalam hal kasus korupsi dan melejitnya posisi negeri ini sebagai raksasa ekonomi dunia.

Sikap keras itu diambil lantaran ada kesadaran terhadap bahaya korupsi sebagai kejahatan yang sistematis, terorganisasi, bahkan menciptakan jaringan-jaringan persekongkolan. Di Indonesia, alih-alih berlaku keras terhadap koruptor, salah satu tradisi peringatan HUT Kemerdekaan RI berupa pemberian remisi bagi para narapidana juga mencakup remisi terhadap para terpidana perkara-perkara korupsi.

Berdasarkan data Direktur Jendral Pemasyarakatan, pada peringatan HUT ke-66 Kemerdekaan RI sebanyak 419 koruptor mendapat remisi umum. Diantara jumlah tersebut, 21 orang masa hukumannya habis dan dinyatakan bebas melenggang meninggalkan lembaga pemasyarakatan.

Tak kurang dari Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Busyro Muqoddas menyampaikan rasa keberatan terhadap pemberian remisi untuk koruptor. Mantan Ketua Komisi Yudisial itu meminta dilakukan peninjauan kembali soal remisi bagi koruptor. Menurut Busyro, pengurangan masa hukuman koruptor seharusnya dihapuskan dari budaya hukum di Indonesia untuk meningkatkan kesadaran potensi korupsi yang semakin meningkat.

Sebaliknya, Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar menyatakan, pemberian remisi tidak perlu diartikan sebagai upaya memanjakan dan keberpihakan pada narapidana. Patrialis menyatakan narapidana adalah warga negara Indonesia yang tetap memiliki hak-hak yang mesti dihormati dan dipenuhi. Ia tidak setuju jika remisi tak pantas diberikan kepada mereka yang melakukan pidana korupsi.

Patrialis tak salah. Ia memiliki acuan Undang-undang Nomor 12 tahun 1995 tentang pemasyarakatan. Ada pula PP Nomor 32/1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan, dan Kepres No 174/1999 tentang Remisi, yaitu berkelakukan baik, dan menjalani masa hukumannya lebih dari enam bulan.

Masyarakat selama ini menjadi korban dan saksi kasus-kasus korupsi yang membelit berbagai aspek kehidupan di Tanah Air. Di depan hidung rakyat, para pelaku aksi kriminal ini menggerogoti uang negara, mengganggu perekonomian dan menjegal pengentasan kesejahteraan masyarakat.

Penangkapan koruptor dan mengurai kasus korupsi bukan pekerjaan mudah. Lihat saja rumitnya perkara Gayus H Tambunan atau kasus terkini terkait M Nazaruddin. Ironisnya, pelaku kejahatan korupsi sering mendapat hukuman rendah, bahkan bisa berharap mendapat diskon masa tahanan melalui remisi atau sampai grasi dari presiden.

Pemberian remisi dan grasi inilah yang mengusik rasa keadilan masyarakat dalam menilai kesungguhan pemerintah memberantas korupsi sebagai sebuah perilaku kejahatan yang sangat berbeda dampaknya bagi masyarakat dibanding aksi kriminalitas pada umumnya. Sulit membayangkan terciptanya efek jera dalam perkara korupsi jika vonis dan masa hukuman yang dijalani koruptor relatif rendah-rendah saja.

Penegakan secara kaku sebuah aturan tertulis justru bisa membuat goyah kepercayaan masyarakat pada hukum. Sudah saatnya pemerintah merevisi aturan pemberian remisi dan grasi bagi koruptor demi melindungi masyarakat. (*)

Editor : dedypurwadi
Sumber : bangkapos.com


Bangkapos.com - Jumat, 19 Agustus 2011 10:58 WIB

0 comments:

Posting Komentar