Kamis, 18 Agustus 2011

Penggunaan Data Elektronik sebagai Alat Bukti

Dewasa ini di dalam proses persidangan pengadilan di Indonesia muncul fenomena penggunaan data elektronik sebagai alat bukti. Namun penggunaan data elektronik sebagai alat bukti ini belum biasa digunakan sehingga kemunculannya pun masih menuai pro dan kontra mengenai validitasnya.
Masalah pengakuan data elektronik menjadi isu yang menarik seiring dengan penggunaan teknologi informasi yaitu internet di masyarakat. Beberapa Negara seperti Australia, China, Jepang dan Singapura telah memiliki peraturan hukum yang memberikan pengakuan data elektronik sebagai alat bukti yang sah di Pengadilan.
Dalam praktek bisnis, keberadaan dokumen elektronik ini menjadi satu konsekuensi dengan perkembangan teknologi. Bahkan dalam kegiatan bisnis, dokumen elektronik disamakan kedudukannya dengan tulisan asli. Selain itu dalam praktek bisnis keberadaan dokumen elektronik memang tidak bisa dihindari. Bahkan teransaksi ekspor dan impor antar Negara sudah sejak lama menggunakan EDI (Electronic Data Interchange). Indonesia sendiri sudah menggunakan EDI sejak tahun 1967. Dalam konteks ini Indonesia tidak dapat dikatakan ketinggalan dalam menggunakan data elektronik sebagai bukti transaksi.
Teori Hukum
Sistem hukum dimaksudkan untuk menyelesaikan setiap konflik yang terjadi dalam kehidupan sosial masyarakat. Dengan begitu maka keberadaan masyarakat berkaitan erat dengan sistem hukum dan sistem peradilan yang akan menyelesaikan konflik yang terjadi di dalam masyarakat.[1]
Sedangkan penerapan sistem hukum sendiri mempunyai suatu tujuan yang dikenal dengan tujuan hukum. Untuk mencapai tujuan hukum dalam satu kesatuan diperlukan kerjasama antara unsur-unsur yang terkandung di dalam sistem hukum seperti sistem hukumnya, sistem peradilannya dan sebagainya. [2] Indonesia sendiri menganut sistem hukum Eropa Kontinental yang bersandarkan pada kodifikasi (hukum tertulis).
Berkaitan dengan dinamika kehidupan masyarakat yang sangat pesat di pelbagai bidang kehidupan tentunya akan membawa dampak terhadap keberadaan dan berlakunya hukum. Dampak tersebut dapat menimbulkan pelbagai kemungkinan dalam memenuhi kebutuhan dan rasa keadilan warga masyarakat. Kemungkinan tersebut antara lain hukum dapat menimbulkan masalah baru atau hukum justru bertentangan dengan nilai-nilai sosial yang dianut oleh warga masyarakat. Disinilah peran hukum dan peradilannya dituntut untuk senantiasa menggali nilai-nilai yang hidup.[3]
Pada dasarnya KUHAP dibuat dengan tujuan untuk mendapatkan kebenaran materil. Data elektronik tidak diatur dalam KUHAP karena pembuat Undang-undang pada waktu itu tentunya tidak menyadari adanya revolusi teknologi informasi dan komunikasi yang sedemikian pesat. Sehingga KUHAP pun tidak mampu mengantisipasinya apabila mengacu secara kaku / formal legalistik.
Berdasarkan ketentuan pasal 184 ayat (1) KUHAP alat bukti dikenal berupa  keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa. Apabila dijabarkan ke lima alat bukti tersebut disatu sisi dapat menguntungkan, akan tetapi disisi lain dapat pula merugikan. Dikatakan menguntungkan karena secara limitatif ke lima alat bukti sebagai tolak ukur adanya kepastian hukum untuk dapat membuktikan seseorang bersalah atau tidak. Dikatakan merugikan  dengan adanya limitasi demikian akan membelenggu Hakim dalam mencari kebenaran materiil untuk membuktikan kesalahan terdakwa. Dengan kemajuan zaman dan tekhnologi  maka alat bukti lainnya seperti email, electronic contract, electronic signature dan lain sebagainya relatif kurang diakomodir apabila hanya mengacu pada landasan yuridis formal seperti termaktub dalam peraturan perundang-undangan.
Perkembangan hukum yang relatif pesat tidaklah cukup diatur dalam suatu perundang-undangan. Oleh karena itu terjadi pertentangan antara moral justice dan legal justice. Pada dasarnya keadilan undang-undang bernuansa dan akhirnya bermuara kepada aspek formal legalistik. Titik tertinggi dan keadilan yang formal legalistik ini tentu sepintas membuat para pemegang kebijakan aplikatif sebagai corong undang-undang. Sedangkan dalam konsep moral justice terdapat kebebasan hakim yang teramat besar sehingga timbul kekhawatiran terjadinya ketidakpastian hukum.
Pada hal sebenarnya muara dari penegakan hukum idealnya harus relatif tertuju kepada kebenaran materiil, sehingga aspek yang bersifat administratif, formal dan relatif kurang substansial sebaiknya ditinggalkan. KUHAP sebagai landasan hukum formal saat ini telah berusia 24 tahun dan kurang akomodatif terhadap perkembangan zaman. Oleh karena itu sudah seharusnya KUHAP diamandemen mengingat untuk mencapai tujuan hukum dalam satu kesatuan diperlukan kerjasama antara unsur-unsur yang terkandung di dalam sistem hukum seperti sistem hukumnya, sistem peradilannya. Dalam hal ini penggunaan data elektronik merupakan suatu fenomena yang tidak dapat dihindari dan sudah seharusnya KUHAP sebagai elemen sistem hukum dan Pengadilan juga sebagai elemen sistem hukum dapat mengakui data elektronik sebagai alat bukti yang sah.
Namun apabila KUHAP tidak diamandemen dalam hal alat bukti maka Hakim sebagai pelaksana aturan hukum seharusnya dapat mengambil suatu diskresi mengenai suatu hal yang belum terangkum dalam Undang-undang. Majelis Hakim dengan tolok ukur ketentuan pasal 27 ayat (1) undang-undang No. 14 tahun 1970 yo Undang-undang No. 35 tahun 1999 jo. Undang-undang Nomor 4 tahun 2004 mewajibkan Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan untuk menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup di masyarakat. Dalam menggali, mengikuti, memahami dan mengejar kebenaran materil dalam hukum pidana, maka aspek formal hendaknya dapat diterapkan secara selektif. 
Sedangkan mengenai sistem hukum yang dianut Indonesia sendiri  sebenarnya tidaklah perlu dirisaukan, oleh karena sekarang dunia baik sistem anglo saxon maupun Eropah Kontinental tidak ada yang menganutnya secara murni, begitupun dengan  Belanda, sebagai sumber utama hukum Indonesia telah meninggalkan kemurnian sistem Eropah Kontinental dalam hukum pembuktiannya.

[1] Ade Saptomo, 2007. Budaya Hukum Dalam Perspektif Perbandingan, Jakarta : Univ.Trisaksti, hal.20
[2] Ibid, hal.20
[3] Ibid, hal.22-23

0 comments:

Posting Komentar