Kamis, 20 Oktober 2011

REPRODUKSI DAN PROTEKSI MORAL KEAGAMAAN BERBASIS KELUARGA MENGHADAPI PERGAULAN MASYARAKAT DI ERA TEKNOLOGI INFORMASI

Makalah ini akan disampaikan pada Seminar Internasional  tentang Pendidikan Karakter yang akan dilaksanakan besok tanggal 12 Nopember 2011, di Hotel Grand Mandarin Pekalongan
Abstrak
Keluarga merupakan wadah sosial berada dalam garis terdepan dalam pengembangan moral – termasuk moral agama – bagi tumbuh kembang si anak. Dalam wadah ini, terjadi reproduksi moral agama antar anggota keluarganya. Menghadapi tantangan perkembangan teknologi komunikasi yang semakin canggih, anggota keluarga mau tidak mau mulai membiasakan diri dengan keberadaan teknologi tersebut dalam kehidupan, untuk kemudian melakukan proses adaptasi yang memungkinkan dibentuknya penyesuaian-penyesuaian dan proteksi-proteksi tertentu untuk mempertahankan eksistensi moral agama yang melandasi tata norma keluarga tersebut. Paper ini dimaksudkan untuk melihat permasalahan-permasalahan berkaitan dengan pemahaman nilai-nilai moral dan pola-pola interaksi yang dilakukan dalam keluarga, yang memungkinkan terjadinya proses reproduksi dan proteksi moral keagamaan.
Keyword: keluarga, moral, agama/keagamaan, teknologi informasi.
Pendahuluan
Kelestarian moral keagamaan anggota keluarga, merupakan elemen penting untuk menjaga identitas ideologi masing-masing keluarga. Bagi masyarakat Indonesia, keberadaan agama sangat dijunjung tinggi. Selain menjadi identitas ideologi, agama selalu diyakini sebagai pintu masuk pencapaian kebahagiaan pasca kematian (akhirat). Oleh karena itu tidak mengherankan apabila mobilitas agama di Indonesia relatif sulit ditemui dan konflik sosial yang bernuansa agama pun menggejala.
Sebagai unit dan lembaga sosial pertama (Ramayulis: 1987) dan terkecil (Ahmadi: 1991) dalam masyarakat, keluarga merupakan ruang awal dan amat penting, kritikal, dan paling berpengaruh dalam kehidupan masa depan si anak (Hasan: 1998). Orang tua sebagai guru awal bagi anaknya, khususnya Ibu, di dalam Islam (Hadist) dinilai berperan penting dalam menanamkan moral agama kepada anak sejak usia dini. Proses reproduksi moral dari orang tua kepada anaknya tersebut, akan berkembang ketika si anak menginjak usia dewasa.
Menghadapi tantangan zaman berupa pergaulan masyarakat yang hampir tanpa batas -- karena ditunjang dengan teknologi informasi yang semakin canggih—menuntut keluarga agar mengembangkan upaya reproduksi moral yang lebih bijak, cerdas dan fleksibel sesuai tuntutan zaman. Adanya tuntutan zaman seperti yang diramalkan Alvin Toeffler (1990) tersebut, juga mengancam eksistensi moral masyarakat (termasuk keluarga). Apabila keluarga tidak siap menghadapi tantangan tersebut, bisa dipastikan pihak eksternal/asing akan merubah sendi-sendi moral anggotanya. Melihat kondisi tersebut, penulis menduga bahwa keluarga telah menyiapkan langkah-langkah antisipatif (proteksi) atas moral anggotanya. Dugaan ini, didasari asumsi bahwa lembaga sosial terbesar dan terkuat seperti negara saja, mengeluarkan serangkaian aturan yang mengatur moral keagamaan warganya, apalagi lembaga sosial terkecil seperti keluarga. Oleh karena itu, bagaimana reproduksi moral keagamaan dalam keluarga berlangsung dan bagaimana proteksi moral yang mereka bangun pada era teknologi informasi ini, akan disajikan dalam tulisan ini.
Kerangka Konsep dan Berpikir
Keluarga dan Moral Agama
Keluarga merupakan unit sosial terkecil dan universal dalam masyarakat. Dikatakan terkecil karena merupakan kesatuan antar individu, di mana masing-masing anggota unit mempunyai kohesifitas dalam berinteraksi secara langsung maupun berorientasi kepada unit itu sendiri. Sedangkan universal, dikarenakan unit sosial ini dapat ditemukan di berbagai tempat dan budaya manapun. Pada umumnya unit ini mempunyai hubungan darah atau disatukan oleh faktor genealogis (kesamaan keturunan/nasab).
Pada umumnya keluarga ini terdiri dari orang tua (ayah-ibu) dan anak (Ahmadi: 1991, dan Rahmat: 1994), namun bila kita menilik definis Ramayulis (1987) anggota keluarga meluas, tidak terbatas pada orang tua dan anak, melainkan orang-orang yang secara terus menerus atau sering tinggal bersama si anak, seperti ayah, ibu, kakek, nenek, saudara laki-laki dan saudara perempuan dan bahkan pembantu rumah tangga. Sebab perluasan ini menurut Ramayulis, dikarenakan beberapa faktor di antaranya:
  1. mereka mempunyai tanggung jawab menjaga dan memelihara si anak dan yang menyebabkan si anak terlahir ke dunia,
  2. mereka mempunyai peranan yang sangat penting dan kewajiban yang lebih besar bagi pendidikan si anak.
Dalam pendidikan, terutama pendidikan moral, keberadaan keluarga memegang posisi yang sangat penting, karena keluarga merupakan tempat pertumbuhan anak yang pertama di mana dia mendapatkan pengaruh dari anggota-anggotanya pada masa yang amat penting dan paling kritis dalam pendidikan anak, yaitu tahun-tahun pertama dalam kehidupannya (usia pra­sekolah), sebab pada masa tersebut apa yang ditanamkan pada diri anak akan sangat membekas, sehingga tak mudah hilang atau berubah sesudahnya (Hasan: 1998). Keluarga menurut Vembriarto mempunyai berbagai fungsi bagi anggotanya, yakni fungsi biologis, afektif, sosialisasi, pendidikan, rekreasi, keagamaan, dan fungsi perlindungan. Fungsi tersebut ditambahi oleh Ahmadi, dengan fungsi ekonomi.
Dalam keluarga, orang tua menurut Harahap dan Siregar (2002) merupakan figur dan cermin bagi anak-anaknya, apa yang diperbuat dan dicontohkan orang tua kepada anaknya itulah yang akan ditiru dan diikuti. Di dalamnya orang tua mulai menanamkan nilai-nilai moral keagamaan kepada anaknya. Penanaman nilai tersebut dapat dilakukan melalui keteladanan ataupun perintah, larangan ataupun anjuran kepada anaknya.
Moral Keagamaan, Penanaman dan Reproduksinya
Berbicara mengenai moral, erat kaitannya dengan nilai. Pendidikan tentang moral berarti pendidikan tersebut menempatkan nilai-nilai yang dianur masyarakat sebagai subjek bahasannya. Menurut I Wayan Koyan (2000: 12), nilai adalah sesuatu yang berharga, sedangkan Merill mendefinisikannya sebagai patokan atau standar yang dapat membimbing seseorang atau kelompok ke arah ”satisfication, fulfillment, and meaning”. Sedangkan Moral yang berasal dari kata mores (Inggris) yang artinya adat, kebiasaan yang baik ini, menurut K. Prent (dalam Soenarjati, 1989: 25) diartikan sebagai kebiasaan dalam bertingkah laku yang baik, yang susila. Seorang individu dapat dikatakan baik secara moral apabila bertingkah laku sesuai dengan kaidah-kaidah moral yang ada. Dalam bahasa arab, moral lazim juga disebut dengan  akhlak, yang berarti ìbudi pekerti, perangai,  tingkah laku atau tabiat (Ma’luf, Munjid, tt, 194). Moral keagamaan yang dimaksud dalam makalah ini adalah akhlak agama, atau lebih spesifik lagi akhlak keislaman atau akhlak yang berdasarkan nilai-nilai yang telah diatur dalam syariat. Moral seperti ini menjadikan norma dan etika sebagai acuan sikap dan perilaku individu (Poerbakawatja, 1979: 9). Varian lain dari nilai, moral dan akhlak adalah budi pekerti.
Sementara pendidikan nilai atau pendidikan moral dapat disampaikan dengan metode langsung atau tidak langsung. Metode langsung mulai dengan penentuan perilaku yang dinilai baik sebagai upaya indoktrinasi berbagai ajaran. Caranya dengan memusatkan perhatian secara langsung pada ajaran tersebut melalui mendiskusikan, mengilustrasikan, menghafalkan, dan mengucapkannya. Metode tidak langsung tidak dimulai dengan menentukan perilaku yang diinginkan tetapi dengan menciptakan situasi yang memungkinkan perilaku yang baik dapat dipraktikkan. Keseluruhan pengalaman di sekolah dimanfaatkan untuk mengembangkan perilaku yang baik bagi anak didik (Darmiyati Zuchdi, 2006: 4).
Pendidikan nilai menurut Kirschenbaum (1995: 7), sebetulnya tidak harus dilakukan dengan menggunakan satu pendekatan tunggal saja seperti indoktrinasi tapi harus lebih komprehensif. Keteladanan dianggapnya memiliki kelemahan, di mana pencontoh sulit menemukan hal apa dan siapa yang seharusnya menjadi teladan. 
Sebagai bagian dari nilai, pendidikan moral keagamaan merupakan usaha sadar penanaman/internalisasi nilai-nilai akhlak/moral dalam  sikap dan prilaku manusia peserta didik agar memiliki sikap  dan  prilaku  yang  luhur  (akhlakul  karimah)  dalam  keseharian  baik  dalam berinteraksi  dengan  Tuhan,  dengan  sesama  manusia  dan  dengan  alam lingkungan. Secara konsepsiaonal juga bisa diartikan sebagai  usaha  sadar untuk menyiapkan peserta didik menjadi manusia seutuhnya yang berbudi pekerti luhur  dalam  segenap  peranannya  di masa  yang  akan  datang  atau  pembentukan, pengembangan,  peningkatan,  pemeliharaan  dan  perbaikan  prilaku  peserta  didik agar mampu melaksanakan tugas-tugas hidupnya secara selaras, serasi, seimbang lahir batin, jasmani-rohani, material-spiritual, individu-sosial dan dunia-akhirat. Peserta didik diharapkan dapat mengadopsi nilai-nilai agama dalam kata,  perbuatan,  sikap, pikiran,  perasaan dan hasil karyanya.

Dalam prakteknya penanaman moral keagamaan tersebut dilakukan dengan memperkenalkan  moral baik (akhlaq mahmudah) dan moral buruk (akhlaq sayyi-ah) dan kemudian memberi respon untuk mensikapi nilai moral tersebut.
Di antara moral baik/akhlaq mahmudah yang dicoba diteliti yakni:
a.       Taat dan patuh pada aturan agama
b.      Taat dan patuh pada kiai/ulama
c.       Taat dan patuh kepada Orang Tua
d.      Sopan santun dan menjauhi tindakan asusila
e.       Selalu berpegang pada dalil-dalil agama (Qur'an dan Hadist) dalam memutuskan masalah
f.       Suka mengaji dan memperdalam ilmu agama
g.      Suka beribadah dan mendekatkan diri pada Tuhan
h.      Berbuat adil dan bermanfaat bagi masyarakat banyak
i.        Menepati janji
j.        Bekerja keras
k.      Suka membantu Orang
l.        Menghargai orang lain
m.    Mencegah kemungkaran
Sedangkan yang moral buruk menurut agama (akhlaq sayyi-ah), di antaranya:
a.       Hamil luar nikah atau seks pra-nikah/di luar nikah atau zina
b.      Aborsi (mengugurkan kandungan)
c.       Berpakaian seksi atau mengundang birahi
d.      Menonton film atau gambar porno
e.       Obrolan/tulisan mesum, yang bisa membangkitkan birahi.
f.       Kawin siri
g.      Membunuh
h.      Mencuri
i.        Korupsi-kolusi
j.        Berbuat curang
k.      Pernikahan beda agama
l.        Ajaran sesat
m.    Judi, togel, dsb
n.      Undian, arisan
o.      Katebelece, surat sakti (menggunakan pengaruh pejabat untuk kepentingannya)
p.      Suap-menyuap
q.      Dugem, clubbing, diskotik, karaoke
r.        Mabuk, narkoba
s.       Berboncengan atau berduaan dengan lawan jenis (bukan muhrim)
t.        Kerja keras hingga lupa ibadah.
u.      Bergunjing dan menyebarkan gosip.
v.      Sumpah serapah, menghina orang
w.    Ramalan: feng sui, primbon
x.      Perdukunan, sesaji, nyupang, klenik.
y.      Mujarobat & merapal mantera (membuat orang lain bersikap tidak sesuai dengan kehendaknya, dengan kekuatan magis)
z.       Jadugan, ilmu kebal, ilmu kesaktian.
å.       Tidak taat pada aturan negara
ä.       Tidak taat pada fatwa kiai/ulama
Persepsi dan Sikap
Mempelajari moralitas sangat erat kaitannya dengan persepsi. Seseorang memandang suatu perbuatan kemudian melakukan penilaian akan baik/buruknya perbuatan tersebut, tergantung pada cara pandangnya atau persepsinya.
Zeni Iska (2006: 109) mengartikan persepsi sebagai proses  diterimanya  rangsang,  sampai  rangsang  itu disadari dan dimengerti. dan ada  juga yang mendefinisikan persepsi sebagai The interpretation of experience (penafsiran pengalaman). Adapun Walgito (2002: 69) mendefinisikan sebagai suatu  proses  yang didahului  oleh  proses  pengindraan,  yaitu  proses  diterimanya  stimulus  oleh individu melalui  alat  indra.  Stimulus  yang  diindra  itu  kemudian  oleh  individu diorganisasikan,  dan  diinterpretasikan  sehingga  individu  menyadari,  mengerti tentang apa yang diindra itu. Jadi di sini dapat di simpulkan bahwa persepsi merupakan penafsiran yang dilakukan subjek dengan didasarkan pada pengalaman indrawi dan pengetahuan yang dimilikinya.
Selanjutnya menurut Walgito, ada beberapa faktor yang mempengaruhi persepsi subyek dalam melakukan penilaian, di antaranya: perhatian, set (harapan seseorang  akan  rangsang  yang  akan  timbul), kebutuhan, sistem nilai, ciri kepribadian, dan kejiwaan si subjek
Sedangkan Sikap diartikan sebagai pandangan atau kecendrungan mental. Neni (Op.Cit) mencoba mendefinisikannya sebagai kesiapan/kecendrungan seseorang untuk bertindak  (bereaksi)  secara  tertentu terhadap hal-hal tertentu. Ada juga yang mengartikannya sebagai kesiapan  untuk bereaksi  terhadap  objek  di  lingkungan  tertentu  sebagai  suatu  penghayatan terhadap objek tersebut (Sears, et al, 1994: 137). sikap tersebut bisa berubah-ubah dan dipengaruhi oleh faktor internal dalam dirinya (seperti perubahan motivasi ataupun minat), maupun dipengaruhi faktor eksternal lingkungan (seperti pengaruh budaya asing, tontonan, hiburan, bacaan, surat kabar dsb).
Pada umumnya para psikolog membagi komponen  sikap menjadi  tiga aspek  yaitu  kognitif,  afektif  dan  konatif.  Ketiga  komponen  tersebut  saling berkaitan dan tidak dapat dipisahkan. Mann misalnya (dalam Azwar, 1995: 23-24) komponen kognitif   berisi persepsi, kepercayaan dan stereotipe yang dimiliki individu mengenai sesuatu. Komponen afektif merupakan perasaan  individu terhadap objek sikap dan menyangkut masalah emosi. Aspek emosional inilah yang biasanya berakar paling dalam sebagai komponen sikap dan merupakan aspek yang paling bertahan  terhadap pengaruh-pengaruh yang mungkin akan mengubah  sikap  seseorang.  Komponen  konasi/prilaku  berisi  tendensi  atau kecendrungan untuk bertindak dan bereaksi terhadap sesuatu dengan cara-cara tertentu.
Perkembangan Teknologi Informasi dan tantangannya
Perkembangan teknologi Informasi berdampak luas dalam kehidupan masyarakat, tidak kecuali dalam hal komunikasi dan pergaulan masyarakatnya. Keberadaan radio, diiikti telefon, TV, video, Film, komputer, handphone, hingga internet membawa perubahan yang sangat dramatis dalam pola dan gaya hidup dan sistem kebudayaan masyarakat. Jauhnya jarak dapat dipersingkat, sulitnya komunikasi dapat dipermudah, informasi yang tadinya sulit didapat, dapat ditemukan banyaknya dan diperoleh dengan lebih mudah dan cepat. Di era ini, manusia disatukan dalam lalu lintas informasi baik yang bersifat publik maupun privat. Hampir-hampir batas wilayah dan kekuasaan negara tidak mampu membatasi atau bahkan malah bisa ditembus dengan teknologi informasi ini. Batasan-batasan inipun seakan hilang (borderless), sehingga masing-masing individu dengan bebasnya menjelajah ke berbagai tempat di dunia dan berkomunikasi dengan individu lainnya.
Berbagai kemudahan dari teknologi tersebut tentu mempunyai efek negatif. Dalam hal budaya, budaya asing dapat diadopsi dan diimitasi secara lebih mudah. Pada masa sekarang ini bisa dengan mudah ditemukan keberadaan budaya barat di dunia timur, seperti bangsa eropa yang mengenakan kimono, atau orang jawa yang memakai topi koboi ala Amerika. Perbedaan wilayah bukan lagi menjadi masalah. Orang bebas berekspresi diri dan menggunakan budaya dari manapun. Sementara bangsa yang menderita inferiority budaya (merasa kebudayaan aslinya lebih rendah) seperti lazim di dunia timur dan negara berkembang, mereka cenderung mengadopsi budaya asing, yang dianggap peradabannya lebih tinggi. Sayangnya adopsi budaya yang dilakukan terkadang tanpa memperhatikan nilai budaya atau moralitas yang melatarbelakanginya, hingga melupakan budaya bangsa sendiri dan nilai-nilainya. Walhasil copy-paste atau transplantasi budaya yang ugal-ugalan marak dilakukan, tanpa ada terlebih dahulu dilakukan analisa tentang latar belakang budaya tersebut.
Perkembangan teknologi tersebut secara tidak langsung juga mempengaruhi reproduksi budaya dan moralitas pada masyarakat lokal. Orang tua tidak bisa lagi terlalu mengekang mobilitas perilaku, pemikiran, perasaan dan moralitas anak. Pada masa sekarang, orang tua menemukan gaya hidup yang berubah dan berbeda dari masanya dahulu. Pada masa kecilnya mungkin ia tidak menemukan perangkat teknologi seperti yang ada sekarang. handphone, televisi dan internet mungkin ”barang baru” baginya. Celakanya ”barang baru” tersebut banyak di temukan di lingkungannya. Bukan tidak mungkin bila ia punya anak, si anak dengan rasa ingin tahunya yang tinggi (high curiousity) bisa dengan mudah memakainya dan memanfaatkannya. Perubahan teknologi memang akan membawa kita pada perubahan budaya.
Namun perubahan budaya yang tidak bermoral akan menghancurkan kehidupan manusia. Bisa saja orang menggunakan handphone sebagai trigger yang memicu diledakkannya bom, atau pengguna internet yang menggunakan teknologi tersebut untuk membuka website-website porno, menggunakan jejaring sosial untuk melakukan provokasi kerusuhan dan penyebarluasan kebencian. Demikian juga dalam keluarga. Bila anak tidak dibekali nilai moral keagamaan yang kuat, pengendalian orang tua atas anak akan rapuh. Pengendalian yang dilakukan orang tua hanya sebatas fisik dan financial saja. Selebihnya menjadi sulit untuk dikekang. Perubahan budaya seperti ini menyulitkan orang tua dalam mengendalikan moralitas.
Dalam hal pola komunikasi, juga terdapat banyak perubahan. Jika pada masanya komunikasi orang tua kepada dirinya berlangsung secara monolog, dan dia diharuskan untuk patuh dengan apa yang dikatakan orang tuanya. Perilaku orang tua seperti ini didasari pada asumsi, bahwa orang tua merupakan satu-satunya yang mengerti tentang moralitas dan anak harus menuju ke arah moralitas yang dipahami orang tuanya. Pada jaman sekarang, dengan beredarnya banyak informasi, pengetahuan, ideologi hingga hiburan yang bisa mempengaruhi cara pandang anak, setidak-tidaknya menuntut orang tua untuk lebih arif dan bijaksana dalam memandang anak. Komunikasi dialogis mungkin menjadi pilihan dalam pola interaksi antara anak dengan orang tua dalam keluarga, disamping komunikasi monolog.
pendekatan riset
Penulisan makalah tentang reproduksi dan proteksi moral keagamaan berbasis keluarga ini merupakan penelitian case studi yang berusaha memformulasikan masalah reproduksi dan proteksi moral keagamaan dalam keluarga magasiswa STAIN Pekalongan, khususnya mahasiswa Jurusan Tabiyah Prodi PBA, untuk kemudian mengeksplorasi jawaban mereka, agar didapat deskripsi perilaku dan sikap mahasiswa dan keluarganya atas reproduksi dan proteksi moral keagamaan di era teknologi informasi ini.
Untuk mendapatkan data tulisan ini, penulis menggunakan data yang didapat dari hasil wawancara terstruktur. narasumber dijaring dengan cara penulis mengunggah questionaire berkaitan dengan penelitian ini ke dalam website penulis (http://pakiwandosenstain.blogspot.com). Hampir seluruh narasumber berasal dari mahasiswa STAIN Pekalongan Jurusan Tabiyah Prodi PBA. Pemilihan narasumber tersebut didasari asumsi bahwa seluruh mahasiswa Tarbiyah Prodi PBA STAIN Pekalongan dan keluarganya menganut Islam sebagai ideologi agamanya. Selain itu penelitian terhadap narasumber dengan usia yang nyaris seragam tersebut diharapkan dapat menjadi narasumber yang menjelaskan reproduksi dan proteksi moral dalam keluarga, yang anggota keluarganya menginjak usia remaja. Usia teenager merupakan usia di mana individu mulai bersikap mandiri dalam menerima dan mem-filter ideologi maupun moral keagamaan di sekitarnya. Dengan kedewasaan tersebut ia dianggap cukup umur dan mulai mampu mengembangkan rasio dan hatinya dalam merespon moralitas.
Hasil riset dan Pembahasan
Pendidikan dan Pengetahuan Moral Keagamaan Orang Tua
Berdasarkan penelitian, ditemukan fakta bahwa pada umumnya mahasiswa menganggap orang tua (keluarga) telah mengenalkan moral baik dan moral buruk menurut agama kepada anak, kemudian menyekolahkan atau memberi pendidikan di sekolah agama yang formal dan non-formal, memonitor dan mengawasi moral agama sang anak dan memberi ruang bagi si anak untuk mengembangkan moral agamanya dalam pengawasan orang tua. Hal tersebut terbukti dari penerimaan moral keagamaan narasumber yang diperoleh dari penanaman moral dari orang tua, keluarga, pendidikan formal dan non formal, pengetahuan yang diperoleh secara otodidak, dari lingkungan, hingga berdasarkan pengalaman pribadi.
Dalam hal penanaman moral keagamaan, anggota keluarga yang paling banyak berperan dan berpengaruh dalam penanaman moral agama di keluarga adalah Ibu, diikuti ayah dan saudara.
Meskipun dilihat dari latar belakang pendidikan formal orang tua, pada umumnya lebih rendah (SD dan SMP), demikian juga dengan pendidikan formalnya yang hanya mengaji dan mengikuti majlis taklim, narasumber menilai pendidikan dan pengetahuan keagamaan orang tua dianggap cukup baik. Hal ini ditunjang dengan keteladanan yang diberikan dalam moral keagamaannya. Hal ini menjadi faktor yang mendasari si anak untuk untuk mengikuti petunjuk moral keagamaan yang diberikan orang tua. Selain itu sang anak juga mengembangkan pengetahuan moralitas agamanya melalui pendidikan di sekolah (formal dan non-formal), pemuasan keingintahuannya dengan belajar secara otodidak, belajar dari lingkungannya, maupun melalui pengalaman pribadinya.
Moral Baik dan Moral Buruk menurut Agama
Pada umumnya orang tua dan anak telah mengembangkan dan melakukan sharing pengetahuan keagamaannya berkaitan dengan moral baik (akhlaq mahmudah) dan moral buruk (akhlaq sayyi-ah).
Perbuatan yang merupakan moral baik menurut agama (akhlaq mahmudah) yang diajarkan oleh orang tua dan diikuti si anak, di antaranya sebagai berikut:
  • Taat dan patuh pada aturan agama;
  • Taat dan patuh pada kiai/ulama;
  • Taat dan patuh kepada Orang Tua; 
  • Sopan santun dan menjauhi tindakan asusila;
  • Selalu berpegang pada dalil-dalil agama (Qur'an dan Hadist) dalam memutuskan masalah ;
  • Suka mengaji dan memperdalam ilmu agama ;
  • Suka beribadah dan mendekatkan diri pada Tuhan ;
  • Berbuat adil dan bermanfaat bagi masyarakat banyak ;
  • Menepati janji ;
  • Bekerja keras ;
  • Suka membantu Orang ;
  • Menghargai orang lain ;
  • Mencegah kemungkaran.
Sedang perbuatan yang dikategorikan moral buruk (akhlaq sayyi-ah) yang dikenalkan orang tua dan dipatuhi si anak, yakni:
  • Hamil luar nikah atau seks pra-nikah/di luar nikah atau zina
  • Aborsi (mengugurkan kandungan)
  • Berpakaian seksi atau mengundang birahi
  • Menonton film atau gambar porno
  • Obrolan/tulisan mesum, yang bisa membangkitkan birahi.
  • Kawin siri
  • Membunuh
  • Mencuri
  • Korupsi-kolusi
  • Berbuat curang
  • Pernikahan beda agama
  • Ajaran sesat
  • Judi, togel, dsb
  • Undian, arisan
  • Katebelece, surat sakti (menggunakan pengaruh pejabat untuk kepentingannya)
  • Suap menyuap
  • Dugem, clubbing, diskotik, karaoke
  • Mabuk, narkoba
  • Berboncengan atau berduaan dengan lawan jenis (bukan muhrim)
  • Kerja keras hingga lupa ibadah.
  • Bergunjing dan menyebarkan gosip.
  • Sumpah serapah, menghina orang
  • Ramalan: feng sui, primbon
  • Perdukunan, sesaji, nyupang, klenik.
  • Mujarobat & merapal mantera (membuat orang lain bersikap tidak sesuai dengan kehendaknya, dengan kekuatan magis)
  • Jadugan, ilmu kebal, ilmu kesaktian.
  • Tidak taat pada aturan negara
  • Tidak taat pada fatwa kiai/ulama
Tipologi Komunikasi Keluarga dan Hambatannya
Dalam mengembangkan reproduksi dan proteksi moral keagamaan, keluarga mahasiswa cenderung memakai pola komunikasi yang dialogis. Tipe pola komunikasi dipakai untuk mengatasi kesenjangan antara pendidikan dan pengetahuan agama orang tua dengan pendidikan dan pengetahuan mahasiswa[1]. Sedang keluarga mahasiswa yang memakai pola komunikasi yang monolog (satu arah dari orang tua kepada anak), mahasiswa cenderung hanya menurut saja (menerima dengan sepenuhnya, tidak berani membantah) dan menganggap orang tua tahu apa yang terbaik bagi anaknya.
Meskipun demikian, reproduksi dan proteksi moral keagamaan dalam keluarga narasumber tersebut, terlihat adanya hambatan, di antaranya seperti:
  1. pola reproduksi moral yang cenderung monolog (satu arah, dari orang tua saja, dan narasumber tidak diberi ruang untuk berdialog),
  2. pembatasan pergaulan dari orang tua yang cenderung ketat dan kaku, atau
  3. masalah yang dibicarakan terbentur pada hal-hal yang tabu sehingga sulit untuk didialogkan,
  4. serta kurang adanya trust (kepercayaan) dari orang tua agar anak mengembangkan analisa sekaligus proteksinya.
Proteksi Moral yang Dikembangkan
Menurut mahasiswa, keberadaan pergaulan yang mengusung budaya dengan moralitas agama yang berbeda dan teknologi informasi tidak dapat dicegah perkembangannya. Pengisolasian diri dari keduanya, hanya menyebabkan ketertinggalan dan hilangnya kesempatan untuk berkompetisi dengan pihak luar. Untuk itu, mahasiswa menganggap keduanya mempunyai akibat positif yang bisa diambil. Mereka hanya perlu menyaringnya saja, dengan meminimalisir akibat negatif dari keduanya.
Tindakan pengawasan dan proteksi yang dilakukan orang tua pada umumnya berupa:
  1. Nasehat
  2. Mempercayakan pada suatu lembaga untuk mendidik si anak, seperti pondok pesantren, sekolah agama
  3. Memberikan aturan dan batasan dengan melarang ataupun memerintah, memberlakukan ”jam malam” atau dengan tidak memberi akses (dengan cara mengunci/mem-password akses informasi yang dilarang).
  4. Mengenal jenis pergaulan dan teknologi komunikasi yang pakai anak dan keluarga.
  5. Pemberian sanksi, biasanya sanksi ekonomi dengan tidak memberikan uang saku dan Penyitaan atau pembatasan secara fisik, seperti dikurung atau dihilangkan secara total akses teknologinya, pembatasan pilihan teknologi, atau menon-aktifkan teknologi tersebut untuk sementara waktu.
Tindakan ini dilakukan untuk mengatasi tantangan pergaulan dan akibat negatif dari teknologi informasi yang berkembang dalam masyarakat dan keluarga, seperti TV, film, komputer dan internet. Bagi mahasiswa batasan orang tua masih lumayan ampuh (efektif) untuk memproteksi moral keagamaan sang anak.
Meskipun batasan atau proteksi moral dari orang tua pada umumnya dianggap efektif, tapi menurut mereka proteksi moral tidak cukup hanya dari orang tua atau keluarga saja. Masing-masing pribadi dituntut mengembangkan moralitas keberagamaannya sendiri berikut proteksi moralnya.
Sedangkan proteksi yang dikembangkan mahasiswa terhadap tantangan tersebut, yakni dengan:
  1. Selalu berpegang pada nilai dan norma agama yang diyakininya
  2. Menambah pengetahuan tentang moralitas agama
  3. Menjaga dan menyeleksi pergaulan
  4. Melakukan seleksi atas pilihan tekn
  5. Mengembangkan kemampuan analisa suatu perbuatan dengan nilai moral yang melatarbelakanginya.
Simpulan
Latar belakang pengetahuan dan pendidikan orang tua mahasiswa yang relatif rendah, tidak menghalangi keluarga untuk menjalankan proses reproduksi moral keagamaannya. Orang tua sebagai pemegang peran penting dalam proses tersebut tetap dihormati dan cenderung diikuti oleh anggota keluarga yang lain. Dalam menanamkan moralitas agama, orang tua maupun responden memiliki persepsi yang relatif sama dalam mengkualifikasikan perbuatan mana yang termasuk perbuatan baik menurut agama (akhlaq mahmudah) dan mana yang termasuk akhlaq sayyi-ah (yang buruk).
Keberhasilan proses reproduksi moral tersebut tidak terlepas dari pola komunikasi yang dipakai oleh keluarga mahasiswa yang dialogis. Dalam keluarga yang memakai pola komunikasi monolog, pada umumnya mahasiswa bersikap patuh dan menerima moralitas agama versi pemahaman orang tua.
Selain pola komunikasi keluarga yang cenderung monolog, hambatan yang seringkali ditemui mahasiswa dalam proses tersebut diantaranya: pola komunikasi yang terlalu ketat dan kaku; menyangkut masalah yang tabu, dan kurangnya trust (kepercayaan) dari orang tua.
Menghadapi maraknya budaya dengan moralitas agama yang berbeda dan didukung oleh perkembangan teknologi informasi yang canggih, mahasiswa merasa sangat perlu mengembangkan proteksi moral dalam keluarga – di samping mahasiswa juga mengembangkan proteksi pribadi. Proteksi moral dari orang tua masih dianggap cukup efektif untuk mengatasi masalah-masalah di atas. Proteksi yang dikembangkan orang tua pada umumnya berupa: nasehat, mempercayakan pada lembaga lain (seperti pesantren), memberikan aturan dan batasan, mencoba memonitor dan mengenal pergaulan dan teknologi informasi yang dipakai, hingga pemberian sanksi bagi anggota keluarga yang melanggar. Secara pribadi mahasiswa mengembangkan proteksinya sendiri dengan cara berpegang teguh pada nilai dan norma agama, memperkaya pengetahuan moralnya, menjaga dan menyeleksi pergaulannya dan teknologi yang bermanfaat, mengembangkan kemampuan analisa moral keagamaannya.

Daftar Pustaka:
Ahmadi, Abu, Ilmu Sosial Dasar, Jakarta: Bima Aksara 1998
Al Hasan, Yusuf Muhammad, 1998, Pendidikan Anak Dalam Islam, Jakarta: Darul Haq,
Alvin Toffler, (1980). The Third Wave, Bantam Books
Azwar, Saifuddin, 1995, Sikap Manusia Teori dan Pengukurannya, Yogyakarta:
Kirschenbaum, H.,1995, 100 Ways to Enhance Values and Morality in School and Youth Settings. Des Moines, IA: Longwood Division.
Koyan, I Wayan, 2000, Pendidikan  Moral Pendekatan Lintas Budaya. Jakarta: Depdiknas.
Ma’luf, Luis, 1973, al-Munjid fi al-Lughah wa al-A'lam, Beirut: Dar al-Masyriq.
Poerbakawatja, Soegarda Raden, 1979, Jakarta: Yayasan Idayu, Pustaka Pelajar.
Rakhmat, Jalaluddin, 1994, Keluarga Muslim dalam Masyarakat Moderen, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,
Ramayulis, Pendidikan Islam dalam Rumah Tangga, Jakarta: Kalam Mulia, 1987
Soenarjati dan Cholisin, 1994, Dasar dan Konsep Pendidikan Pancasila. Yogyakarta: Laboratorium PMP dan KN
Syafri Harahap, Sofyan dan Anshori Siregar, 2002, Pedoman Pendidikan Aqidah Remaja, Jakarta: PT. Pustaka Quantum,
Walgito, Bimo, 2002, Pengantar Psikologi Umum, Yogyakarta: Andi Offset.
Zuchdi, Darmiyati, 2008,  Humanisasi Pendidikan: Menemukan Kembali Pendidikan yang Manusiawi. Jakarta: PT. Bumi Aksara.


[1] Pada umumnya pendidikan orang tua hanya lulusan SD dan SMP sederajat, dan mengikuti majlis ta’lim di lingkungan setempat.

1 comments:

  1. KAMI SEKELUARGA MENGUCAPKAN BANYAK TERIMA KASIH ATAS BANTUANNYA MBAH , NOMOR YANG MBAH BERIKAN/ 4D SGP& HK SAYA DAPAT (350) JUTA ALHAMDULILLAH TEMBUS, SELURUH HUTANG2 SAYA SUDAH SAYA LUNAS DAN KAMI BISAH USAHA LAGI. JIKA ANDA INGIN SEPERTI SAYA HUB MBAH_PURO _085_342_734_904_ terima kasih.الالله صلى الله عليه وسلموعليكوتهله صلى الل

    KAMI SEKELUARGA MENGUCAPKAN BANYAK TERIMA KASIH ATAS BANTUANNYA MBAH , NOMOR YANG MBAH BERIKAN/ 4D SGP& HK SAYA DAPAT (350) JUTA ALHAMDULILLAH TEMBUS, SELURUH HUTANG2 SAYA SUDAH SAYA LUNAS DAN KAMI BISAH USAHA LAGI. JIKA ANDA INGIN SEPERTI SAYA HUB MBAH_PURO _085_342_734_904_ terima kasih.الالله صلى الله عليه وسلموعليكوتهله صلى الل


    KAMI SEKELUARGA MENGUCAPKAN BANYAK TERIMA KASIH ATAS BANTUANNYA MBAH , NOMOR YANG MBAH BERIKAN/ 4D SGP& HK SAYA DAPAT (350) JUTA ALHAMDULILLAH TEMBUS, SELURUH HUTANG2 SAYA SUDAH SAYA LUNAS DAN KAMI BISAH USAHA LAGI. JIKA ANDA INGIN SEPERTI SAYA HUB MBAH_PURO _085_342_734_904_ terima kasih.الالله صلى الله عليه وسلموعليكوتهله صلى الل



    KAMI SEKELUARGA MENGUCAPKAN BANYAK TERIMA KASIH ATAS BANTUANNYA MBAH , NOMOR YANG MBAH BERIKAN/ 4D SGP& HK SAYA DAPAT (350) JUTA ALHAMDULILLAH TEMBUS, SELURUH HUTANG2 SAYA SUDAH SAYA LUNAS DAN KAMI BISAH USAHA LAGI. JIKA ANDA INGIN SEPERTI SAYA HUB MBAH_PURO _085_342_734_904_ terima kasih.الالله صلى الله عليه وسلموعليكوتهله صلى الل

    KAMI SEKELUARGA MENGUCAPKAN BANYAK TERIMA KASIH ATAS BANTUANNYA MBAH , NOMOR YANG MBAH BERIKAN/ 4D SGP& HK SAYA DAPAT (350) JUTA ALHAMDULILLAH TEMBUS, SELURUH HUTANG2 SAYA SUDAH SAYA LUNAS DAN KAMI BISAH USAHA LAGI. JIKA ANDA INGIN SEPERTI SAYA HUB MBAH_PURO _085_342_734_904_ terima kasih.الالله صلى الله عليه وسلموعليكوتهله صلى الل


    KAMI SEKELUARGA MENGUCAPKAN BANYAK TERIMA KASIH ATAS BANTUANNYA MBAH , NOMOR YANG MBAH BERIKAN/ 4D SGP& HK SAYA DAPAT (350) JUTA ALHAMDULILLAH TEMBUS, SELURUH HUTANG2 SAYA SUDAH SAYA LUNAS DAN KAMI BISAH USAHA LAGI. JIKA ANDA INGIN SEPERTI SAYA HUB MBAH_PURO _085_342_734_904_ terima kasih.الالله صلى الله عليه وسلموعليكوتهله صلى الل


    BalasHapus